Selasa, 31 Maret 2015

Cerpen Bahasa Indoneia

Seragam Loreng
Aku tak tahu kemana hari esok aku akan melangkah, sementara malam ini terasa sangat gelap tiada celah tuk temukan secercah cahaya. Terpuruk dalam dua pilihan yang benar-benar membuat jiwaku tergoncang seperti berada di tebing yang sangat curam dan tiada tepi untuk ku berpegangan. Badai kehidupan telah mengusik ketentraman dan ketenangan hatiku. Lulus dengan peringkat terbaik membuatku sulit tuk menentukan pilihan.  Banyak faktor yang harus kupikirkan untuk memutuskan kemana aku akan melanjutkan studyku. Aku meminta pertimbangan dari ayah dan ibuku. Ayahku berharap aku bersekolah di sekolah “Bidik Simisi” sehingga dapat meringakan beban beliau, begitu pula dengan Ibuku yang setuju dengan pertimbangan yang diajukaan ayah, meskipun tak rela anak perempuan satu-satunya jauh dari sanak saudara. Namun aku tidak memiliki keinginan untuk bersekolah jauh dari kampung, terlebih untuk meninggalkan keluarga dan sanak saudaraku.
Pertentangan hebat pun terjadi, hatiku berkecambuk menentang setiap ide yang muncul hingga memerlukan proses yang lama tuk temukan titik terang dalam diriku sendiri. Hingga fajar menyingsing pun aku tak menemukan ujung dari gejolak ini. Tak sampai disini saja, aku juga mengalami pertentangan sesama sahabatku demi menemukan solusi dari masalahku ini. Hingga dengan sangat berat hati aku mengabaikan harapan Ayahku dan kuambil keputusan hasil dari pertimbangan yang telah kupikirkan matang-matang. Kuputuskan untuk melepas “Bidik Simisi” dan memilih salah satu sekolah yang dekat dengan rumahku. Aku tahu keputusan ini mengukir kekecewaan yang begitu besar dalam benak keluargaku terutama orang tuaku. Awalnya tak ada yang menerima keputusanku, tak ada yang mempercayai impianku termasuk keluarga, teman maupun sahabat-sahabatku. Aku melangkah sendirian tanpa restu dan dukungan siapapun. Semua orang yang melihat mengacuhkanku, memandang sebelah mata apa yang aku lakukan. Mereka berpikir bagaimana mungkin seseorang yang bersekolah di SMK mampu menembus Angkatan Seragam Loreng, bukankah lebih baik apabila bersekolah di sekolah yang pembelanjarannya masih secara umum. Sempat ku putus asa dan melemahkan keputusanku, tersirat dibenakku betapa hinanya aku dihadapan mereka, hingga pada suatu hari aku bertemu dengan seseorang yang berjiwa besar. Aku mengenalnya dari forum kepemudaan daerah, namanya Ratam seorang pemuda yang bergelut di bidang kesenian. Ia adalah seorang pemuda yang sangat mencintai gamelan.
            Ratam berhasil membangkitkan semangatku dan ia membantuku untuk mempercayai impianku. Dengan sepenuh hati dia membimbing dan menasehatiku. Hal itu ia lakukan karena ia juga pernah merasakan hal yang sama denganku. Ketika ia lulus SMA dan masuk Institut Kesenian tak ada yang mendukung keputusannya. Ia memotivasi dirinya sendiri dan berjuang untuk membuktikan bahwa pilihannya tidak salah. Ia membuktikan bahwa Kerawitan bisa membawa ia dalam kesuksesan. Ia adalah sosok yang tegar dan kuat, meskipun di tengah-tengah ketidakharmonisan ia mampu maju dan berkembang melalui hobbynya tersebut. Satu kalimat yang membuat ku tercengang dan selalu menelusup sanubariku yang selalu bisa hapuskan kebimbanganku “Bahwa masa depanmu bersamamu, keyakinan dan doamu adalah kekuatan tuk capai semua citamu disamping restu orang tuamu”.
Dari cerita Ratam lah aku menjadi terinspirasi dan memiliki tekad yang kuat untuk membuktikan kepada orang-orang yang selama ini meremehkan pilihanku. Aku mulai menyusun inisiatif untuk menunjukkan bahwa pilihanku benar dan aku bisa berhasil dengan bersekolah di Sekolah Menengah Kejuruan. Semangat dan motivasi terus muncul dalam diriku, Ratam tersenyum melihat hal itu. Ia juga menyarankan agar aku meyankinkan orang tuaku tentang impianku ini. Dengan semangat yang menggebu-gebu dan jiwa yang menggelora aku berbicara dan meyakinkan orang tuaku bahwa pilihanku benar dan tidak ada yang mustahil didunia ini. Akhirnya ayah dan ibuku luluh dan mulai sepenuh hati mempercayai cita-citaku ini. Langkahku semakin mantap tuk melalui pendidikan di SMK kemudian wujudkan cita-citaku berbekal restu dari keluarga terutama ayah dan ibuku begitu pula semangat dan motivasi dari pemuda Kerawitan tersebut. Tak perduli lagi apa kata orang diluar sana tentang impianku, yang jelas ini adalah pilihanku dan aku yang menentukan kemana aku akan melangkah. Aku yakin aku akan selamat walaupun aku berjalan tak searus dengan mereka. Ku ikuti semua kegiatan di sekolah dengan seksama dan penuh semangat. Semester demi semester kulalui dengan hasil yang sangat memuaskan bagiku. Di samping itu aku juga mengikuti kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dalam persiapan untuk mewujudkan cita-citaku. Perlahan namun pasti persiapanku sedikit demi sedikit semakin matang. Tak lupa ku mengucap syukur atas anugrah Tuhan ini, dan selalu mohon tuntunan dan perlindungan Beliau.

Tiga tahun hampir berlalu, aku semakin dekat dengan tujuanku. Tiba waktunya aku mengikuti seleksi. Dengan penuh semangat aku menyongsong hari yang aku nanti-nanti. Aku mengikuti tes dengan percaya diri, tak ada keraguan untukku mengikuti seleksi tersebut hingga seleksi tuntas aku lewati satu persatu. Kini tinggal menunggu hasil tes, aku berdoa dan dengan harap-harap cemas menunggu hasil tes tersebut keluar. Ketika pengumuman kelulusan, betapa senangnya hatiku, aku lulus Angkatan seragam Loreng ini dengan peringkat terbaik. Aku sangat bangga dengan pencapaianku ini, hal ini juga membuktikan bahwa impian dan keputusanku tiga tahun yang lalu bukanlah keputusan yang mustahil. Aku bisa mengenakan “Seragam Loreng TNI” perisai Negara Indonesia dengan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan. Semua ini bisa kuraih berkat keyakinan dan tekad yang kuat disamping motivator ku yang paling berjasa “Ratam”. Dan yang tak kalah penting perannya adalah doa dan restu dari orang tuaku. 

ILMU DAN FILSAFAT DARSANA AGAMA HINDU

ILMU DAN FILSAFAT

     I.            PENGERTIAN ILMU
1.        Menurut M. IZUDDIN TAUFIQ
Ilmu adalah penelusuran data atau informasi melalui pengamatan, pengkajian dan eksperimen, dengan tujuan menetapkan hakikat, landasan dasar ataupun asal usulnya.
2.       Menurut THOMAS KUHN
Ilmu adalah himpunan aktivitas yang menghasilkan banyak penemuan, bail dalam bentuk penolakan maupun pengembangannya.
3.       Dr. MAURICE BUCAILLE
Ilmu adalah kunci untuk mengungkapkan segala hal, baik dalam jangka waktu yang lama maupun sebentar.
4.       NS. ASMADI
Ilmu merupakan sekumpulan pengetahuan yang padat dan proses mengetahui melalui penyelidikan yang sistematis dan terkendali (metode ilmiah).
5.       POESPOPRODJO
Ilmu adalah proses perbaikan diri secara bersinambungan yang meliputi perkembangan teori dan uji empiris.
Kesimpulan:
Ilmu adalah suatu sarana yang menjadikan manusia sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman dari berbagai segi kenyataan dalam alam ini dan segala sesuatu yang ada dalam dunia ini agar manusia menjadi tahu dan mendapatkan pengetahuan lebih luas

  II.            PENGERTIAN FILSAFAT
1.           Plato ( 428 -348 SM ) : Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada.
2.         Aristoteles ( (384 – 322 SM) : Bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu.
3.         Cicero ( (106 – 43 SM ) :  Filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni “( the mother of all the arts“ ia juga mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae (seni kehidupan )
4.         Johann Gotlich Fickte (1762-1814 ) : Filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu dari ilmu-ilmu , yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan sesuatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat memperkatakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu mencari kebenaran dari seluruh kenyataan.
5.         Paul Nartorp (1854 – 1924 ) : Filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar hendak menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan menunjukan dasar akhir yang sama, yang memikul sekaliannya .
6.         Imanuel Kant ( 1724 – 1804 ) : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yange menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang didalamnya tercakup empat persoalan.
Apakah yang dapat kita kerjakan ?(jawabannya metafisika )
Apakah yang seharusnya kita kerjakan (jawabannya Etika )
Sampai dimanakah harapan kita ?(jawabannya Agama )
Apakah yang dinamakan manusia ? (jawabannya Antropologi )
7.          Notonegoro : Filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut intinya yang mutlak, yang tetap tidak berubah , yang disebut hakekat.
8.          Driyakarya : Filsafat sebagai perenungan yang sedalam-dalamnya tentang sebab-sebabnya ada dan berbuat, perenungan tentang kenyataan yang sedalam-dalamnya sampai “mengapa yang penghabisan “.
9.         Sidi Gazalba :  Berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran , tentang segala sesuatu yang di masalahkan, dengan berfikir radikal, sistematik dan universal.
10.      Harold H. Titus (1979 ) : (1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepecayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi; (2) Filsafat adalah suatu usaha untuk memperoleh suatu pandangan keseluruhan; (3) Filsafat adalah analisis logis dari bahasa dan penjelasan tentang arti kata dan pengertian ( konsep ); Filsafat adalah kumpulan masalah yang mendapat perhatian manusia dan yang dicirikan jawabannya oleh para ahli filsafat.
11.        Hasbullah Bakry : Ilmu Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai Ke-Tuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana sikap manusia itu sebenarnya setelah mencapai pengetahuan itu.
Kesimpulan:
Filsafat  adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang  mengenai kehidupan yang bersikap sadar dan dewasa dalam segala sesuatu secara mendalam dan keinginan untuk melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan dalam kehidupan. 

III.    KAITAN FILSAFAT DAN ILMU
Hubungan Ilmu dengan Filsafat pada mulanya ilmu yang pertama kali muncul adalah filsafat dan ilmu-ilmu khusus menjadi bagian dari filsafat. Dan filsafat merupakan induk dari segala ilmu karena berbicara tentang abstraksi/sebuah yang ideal.
Filsafat tidak terbatas, sedangkan ilmu terbatas sehingga ilmu menarik bagian filsafat agar bisa dimengerti oleh manusia.
Filsafat berusaha untuk mengatur hasil-hasil dari berbagai ilmu-ilmu khusus ke dalam suatu pandangan hidup dan pandangan dunia yang terstu padukan, komprehensip (tidak ada sesuatu bidang yang berada di luar bidang filsafat) dan konsisten 9uraian kefilsafatan tidak menyusun pendapat-pendapat yang saling berkontardiksi).
Pada hakikatnya filsafat dan ilmu saling terkait satu sama lain, keduanya tumbuh dari sikap refleksi, ingin tahu, dan dilandasi kecintaan pada kebenaran. Filsafat dengan metodenya mampu mempertanyakan keabsahan dan kebenaran ilmu, sedangkan ilmu tidak mampu mempertanyakan asumsi, kebenaran, metode, dan keabsahannya sendiri.
Ilmu merupakan masalah yang hidup bagi filsafat dan membekali filsafat dengan bahan-bahan deskriptif dan faktual yang sangat perlu untuk membangun filsafat. Filsafat dapat memperlancarr integrasi antara ilmu-ilmu yang dibutuhkan. Filsafat adalah meta ilmu, refleksinya mendorong peninjauan kembali ide-ide dan interpretasi baik dari ilmu maupun bidang-bidang lain.
Ilmu merupakan konkritisasi dari filsafat. Filsafat dapat dilihat dan dikaji sebagai suatu ilmu, yaitu ilmu filsafat. Sebagai ilmu, filsafat memiliki objek dan metode yang khas dan bahkan dapat dirumuskan secara sistematis. Ilmu filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji seluruh fenomena yang dihadapi manusia secara kritis refleksi, integral, radikal, logis, sistematis, dan universal (kesemestaan).
Sebagai fenomena ilmu filsafat dapat dilihat dari tema besarnya, yaitu, ontologi (Definisi, pengertian, konsep, mengkaji keberadaan sesuatu, membahas tentang ada, yang dapat dipahami baik secara konkret, faktual, transendental, atau pun metafisis), epistemologi (Substansi, membahas pengetahuan yang akan dimiliki manusia apabila manusia itu membutuhkannya), dan aksiologi (manfaat,  membahas kaidah norma dan nilai yang ada pada manusia).
Untuk melihat hubungan antara filsafat dan ilmu, ada baiknya kita lihat pada perbandingan antara ilmu dengan filsafat dalam bagan di bawah ini, (disarikan dari Drs. Agraha Suhandi, 1992)
Ilmu
Filsafat
Segi-segi yang dipelajari dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti
Mencoba merumuskan pertanyaan atas jawaban. Mencari prinsip-prinsip umum, tidak membatasi segi pandangannya bahkan cenderung memandang segala sesuatu secara umum dan keseluruhan
Obyek penelitian yang terbatas
Keseluruhan yang ada
Tidak menilai obyek dari suatu sistem nilai tertentu.
Menilai obyek renungan dengan suatu makna, misalkan: religi, kesusilaan, keadilan dsb.
Bertugas memberikan jawaban
Bertugas mengintegrasikan ilmu-ilmu



KAITAN FILSAFAT DAN ILMU-ILMU LAIN
1. Hubungan Filsafat dengan Ilmu Administrasi
          Ilmu administrasi negara disebut juga ilmu administrasi publik yaitu ilmu yang mempelajari seluruh aspek-aspek yang berjalan dalam setiap kegiatan birokrasi di negara ini. Hubungannya dengan filsafat adalah dalam menjalankan kegiatan negara diperlukan nilai-nilai pengambilan keputusan publik yang realistis (filsafat) yaitu menurut kenyataan, kebenaran dan  sesuatu yang pasti sehingga dapat mencapai tujuan yang di inginkan.
2. Hubungan Filsafat dengan Ilmu Sosial
          Hubungan ilmu filsafat dengan ilmu sosial sangat erat kaitannya karena ilmu sosial menelaah atau mempelajari masalah-masalah sosial yang timbul dan berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu, Dalam menelaah masalah-masalah tersebut kita harus mempunyai pengetahuan tentang segala yang ada dan merupakan kebenaran yang asli (Plato).
         3. Hubungan Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan Alam
          Hubungan ilmu filsafat dengan Ilmu Pengetahuan Alam yaitu saling melengkapi karena sama-sama merupakan ilmu pengetahuan yaitu sama-sama melakukan penyelidikan dalam rangka mencari penjelasan (realitas) tentang gejala-gejala alam melalui ilmu pengetahuan. Ilmu Pengetahuan Alam mengisi filsafat dengan sejumlah besar materi yang aktual (benar-benar terjadi/ada) dan deskriptif  yang sangat perlu dalam pembinaan suatu filsafat. Dalam melakukan penyelidikan harus ada kebenaran yang didalamnya terkandung ilmu metafisika, logika, retorika, etika dan estetika (Aristoteles). Dengan kata lain fungsi filsafat dalam Ilmu Pengetahuan Alam adalah mengembangkan pengertian tentang strategi dan taktik Ilmu Pengetahuan Alam.
Persamaan Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Agama
1.     Baik ilmu, filsafat dan agama bertujuan sekurang-kurangnya berusaha berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran.
2.    Ketiganya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki obyek selengkap-lengkapnya sampai ke-akar-akarnya.
3.    Ketiganya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-akibatnya.
4.    Ketiganya hendak memberikan sistesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan.
5.    Ketiganya mempunyai metode dan sistem.
6.    Ketiganya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia (obyektivitas), akan pengetahuan yang lebih mendasar.
Berikut beberapa titik persamaan dari filsafat, ilmu pengetahuan dan agama :
a.         Filsafat dan Imu Pengetahuan
1.      Didasarkan pada rasio, maksudnya sama-sama berdasarkan akal budi
2.      Mempunyai metode, menempuh suatu jalan untuk mencapai kebenaran
3.      Bersifat sistematis, memberikan suatu uraian atau penjelasan yang menyeluruh dan bagian-bagian yang saling berhubungan.
b.      Filsafat dan Agama
1.      Filsafat dan Agama adalah sama-sama mengandung suatu pemandangan yang luas.

Perbedaan Filsafat, Ilmu Pengtahuan dan Agama
1.      Gambaran umum
a.       Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan (mengembarakan atau mengelanakan ) akal budi secara radikal (mengakar) dan integral, serta universal (mengalam), tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri yang bernama logika.
b.      Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset, research), pengalaman (empiri), dan percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian.
c.       Manusia mencari dan menemukan kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan mempertanyakan (mencari jawaban tentang) berbagai masalah asasi dari atau kepada kitab suci, kodifikasi firman ilahi untuk manusia
2.      Obyek material (lapangan)
a.       Filsafat itu bersifat universal (umum), yaitu segala sesuatu yang ada realita).
b.      Ilmu (pengetahuan ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris juga bersifat eksperimental. Artinya, ilmu hanya terfokus pada disiplin bidang masing-masing secara kaku dan terkotak-kotak, sedangkan kajian filsafat tidak terkotak-kotak dalam disiplin tertentu.
c.       Agama dipraktekkan oleh orang yang beriman
3.      Obyek formal (sudut pandangan)
a.       Filsafat itu bersifat non fragmentaris, karena mencari pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mendasar.
b.      Ilmu  pengetahuan bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif. Di samping itu, obyek formal itu bersifat teknik, yang berarti bahwa cara ide-ide manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita.
c.       Agama memberikan kejelasan tentang fenomena yang terjadi
4.      Cara mendapatkan sesuatu
a.       Filsafat dilaksanakan dalam suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi, kritis, dan pengawasan, kegunaan filsafat timbul dari nilainnya
b.      Ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan trial and error. Oleh karena itu, nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis.
c.       Agama dilakukan dengan melihat sumber-sumber hukum agama yang terkait yang sudah dipastikan kebenarannya karena bersumber dari Tuhan.  
5.      Isi yang dimuat
a.       Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada pengalaman realitas sehari-hari,
b.      Ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan secara logis, yang dimulai dari tidak tahu menjadi tahu.
c.       Agama, memperjelas tentang semua yang terjadi di alam ini bahwa semua itu adalah kehendak Tuhan yang sudah digariskan oleh Tuhan
6.      Hal yang ditunjukan
a.       Filsafat memberikan penjelasan yang terakhir, yang mutlak, dan mendalam sampai mendasar (primary cause)
b.      Ilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu mendalam, yang lebih dekat, yang sekunder (secondary cause).
c.       Agama memberikan kejelasan tentang semua yang terjadi
7.      Sumber
a.       Filsafat bersumber pada kekuatan akal,
b.      Ilmu bersumber pada kekuatan akal
c.       Agama bersumber pada wahyu.
8.      Sebab terjadinya
a.       Filsafat didahului oleh keraguan,
b.      Ilmu didahului oleh keingintahuan,
c.       Agama diawali oleh keyakinan dan keimanan
9.      Hal yang diungkap
a.       Filsafat mengungkapkan makna dan kebenaran hidup
b.      Ilmu pengetahuan mengungkapkan kebenaran hidup
10.  Metode Pencapaian Kebenaran
a.       Filsafat dengan wataknya sendiri yang menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun tentang manusia (yang belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu, karena diluar atau di atas batas jangkauannya), ataupun tentang tuhan.
b.      Ilmu pengetahuan dengan metodenya sendiri mencari kebenaran tentang alam dan manusia.
c.       Agama dengan karakteristiknya memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia ataupun tentang tuhan.

  IV.    MANFAAT MEMPELAJARI FILSAFAT
Filsafat menggiring manusia kepengertian yang terang dan pemahaman yang jelas. Kemudian, filsafat itu juga menuntun manusia ketindakan dan perbuatan yang konkret berdasarkan pengertian yang terang dan pemahaman yang jelas.
Secara umum manfaat filsafat :
a.       Filsafat membantu kita memahami bahwa sesuatu tidak selalu tampak seperti apa adanya.
b.       Filsafat membantu kita mengerti tentang diri kita sendiri dan dunia kita, karena
filsafat mengajarkan bagaimana kita bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar.
c.       Filsafat membuat kita lebih kritis. Filsafat mengajarkan pada kita bahwa apa yang mungkin kita terima begitu saja ternyata salah atau menyesatkan atau hanya merupakan sebagian dari kebenaran.
d.      Filsafat mengembangkan kemampuan kita dalam:
Ø   menalar secara jelas
Ø   membedakan argumen yang baik dan yang buruk.
Ø   menyampaikan pendapat (lisan dan tertulis) secara jelas
Ø   melihat sesuatu melalui kacamata yang lebih luas.
Ø   melihat dan mempertimbangkan pendapat dan pandangan yang berbeda.
.     Secara khusus manfaat filsafat ilmu :
a.       Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
b.       Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
c.       Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
d.       Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan.
e.       Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Menurut Agraha Suhandi (1989).
f.        Filsafat ilmu bermanfaat untuk menjelaskan keberadaan manusia di dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan alat untuk membuat hidup menjadi lebih baik.
g.      Filsafat ilmu bermanfaat untuk membangun diri kita sendiri dengan berpikir secara radikal (berpikir sampai ke akar-akarnya), kita mengalami dan menyadari keberadaan kita.
h.       Filsafat ilmu memberikan kebiasaan dan kebijaksanaan untuk memandang dan memecahkan persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang hidup secara dangkal saja, tidak mudah melihat persoalan-persoalan, apalagi melihat pemecahannya.
i.        Filsafat ilmu memberikan pandangan yang luas, sehingga dapat membendung egoisme dan ego-sentrisme (dalam segala hal hanya melihat dan mementingkan kepentingan dan kesenangan diri sendiri).
j.        Filsafat ilmu mengajak untuk berpikir secara radikal, holistik dan sistematis, hingga kita tidak hanya ikut-ikutan saja, mengikuti pada pandangan umum, percaya akan setiap semboyan dalam surat-surat kabar, tetapi secara kritis menyelidiki apa yang dikemukakan orang, mempunyai pendapat sendiri, dengan cita-cita mencari kebenaran.
k.       Filsafat ilmu memberikan dasar-dasar, baik untuk hidup kita sendiri (terutama dalam etika) maupun untuk ilmu-ilmu pengetahuan dan lainnya, seperti sosiologi, ilmu jiwa, ilmu mendidik, dan sebagainya.

Sejalan dengan definisi filsafat di atas, adapun ciri-ciri dari unsur di dalamnya yaitu:
1.     Filsafat sebagai ilmu, yaitu bahwa filsafat berusaha untuk mencari hakekat atau inti dari suatu hal. Hakekat ini sifatnya sangat dalam dan hanya dapat dimengerti oleh akal.
2.   Filsafat sebagai cara berpikir, yaitu cara berpikir yang sangat mendalam (radikal) sehingga akan sampai pada hakekat sesuatu.
3.   Filsafat sebagai pandangan hidup, yaitu bahwa filsafat pada hakekatnya bersumber pada hakekat kodrat diri manusia, yang berperan sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk Tuhan.
Dengan mempelajari filsafat, ada tiga hal yang dapat diperoleh yaitu:
1.     Filsafat telah mengajarkan kita untuk mengenal diri sendiri secara totalitas, sehingga dengan pemahaman tersebut dapat dicapai hakkat manusia itu sendiri dan bagaimana sikap manusia itu sebenarnya.
2.   Filsafat mengajarkan tentang hakekat alam semesta. Pada dasarnya berpikir filsafat ialah bersedia menyusun suatu sistem pengetahuan yang rasional dalam rangka memahami segala sesuatu, termasuk diri manusia itu sendiri.
3.   Filsafat mengajarkan tentang hakekat Tuhan. Studi tentang filsafat seyogyanya dapat membantu manusia untuk membangun keyakinan keagamaan atas dasar yang matang secara intelektual. (Bakhtiar, 2004:20).
Penggolongan lapangan-lapangan filsafat menurut Kattsoff menjadi cabang-cabang filsafat sebagai berikut :
1.    Logika, adalah ilmu yang mempelajari teknik-teknik untuk memperoleh kesimpulan dari suatu perangkat bahan tertentu.
2.  Metodologi, ialah sebagaimana yang ditunjukkan oleh pernyataan, yakni ilmu pengetahuan atau mata pelajaran tentang metode dan khususnya metode ilmiah.
3.  Metafisika, yaitu hal-hal yang terdapat sesudah fisika, hal-hal yang terdapat di balik yang tampak.
      4.  Ontologi dan kosmologi, ontologi membicarakan azas-azas rasional dari yang ada, sedangkan kosmologi membicarakan azas-azas rasional dari yang ada yang teratur.
5.  Epistemologi, yaitu cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan.
      6.   Biologi kefilsafatan, membicarakan mengenai persoalan-persoalan biologi.
7.  Psikologi kefilsafatan, memberikan pernyataan-pernyataan psikologi yang meliputi apakah itu jiwa, ide, ego, akal, perasaan dan kehendak.
8.  Sosiologi kefilsafatan, mengemukakan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat masyarakat dan hakekat negara.
      9.     Antropologi kefilsafatan, mengemukakan pertanyaan-pertanyaan tentang manusia.
      10. Etika, adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang baik dan buruk.
      11. Estetika, adalah cabang filsafat yang membicarakan definisi, susunan dan peranan seni.
12. Filsafat agama adalah cabang-cabang filsafat yang membicarakan jenis-jenis pertanyaan yang berbeda mengenai agama.
Ruang lingkup kajian filsafat meliputi bidang-bidang sebagai berikut:
      1.     Kosmologi yaitu suatu pemikiran dalam permasalahan yang berhubungan dengan alam semesta, ruang dan waktu, kenyataan hidup manusia sebagai ciptaan Tuhan.
           2.     Ontologi yaitu suatu pemikiran tentang asal-usul kejadian alam semesta.
3.     Phylosophy of mind yaitu pemikiran tentang jiwa dan bagimana hubungannya dengan jasmani dan kebiasaan kehendak manusia.
4.     Efistemologi yaitu pemikiran tentang apa dan bagaimana sumber pengetahuan manusia diperoleh.
           5.     Aksiologi, yaitu suatu pemikiran tentang masalah-masalah nilai.  (Bakhtiar, 2004:24).
Pengertian istilah filsafat secara etimologis tentunya belum cukup untuk mewakili pengertian filsafat, namun pemahaman secara etimologi merupakan pondasi dasar untuk memahami kata filsafat. Dalam proses perkembangannya, filsafat banyak mendapat isi dan sekaligus pengertian-pengertian baru, antara lain:
1.     Filsafat sebagai suatu sikap: filsafat sebagai suatu sikap terhadap kehidupan dan alam semesta.
2.   Filsafat sebagai suatu metode: filsafat sebagai cara berpikir secara reflektif (mendalam), penyelidikan yang menggunakan alasan, berpikir secara hati-hati dan teliti.
3.   Filsafat sebagai kelompok persoalan: berarti banyak persoalan atau permasalahan-permasalahan abadi dan para filsuf berusaha untuk mencari jawabannya, antara lain: apakah kebenaran itu?, mengapa manusia ada di dunia ? apa makna kehadiran manusia di dunia?, apakah manusia mempunyai kehendak bebas untuk menentukan nasib di dunia, atau sudah ditentukan oleh Tuhan ?.
4.     Filsafat sebagai sekelompok teori atau sistem pemikiran: sejarah filsafat ditandai dengan pemunculan teori-teori dan sistem-sistem pemikiran yang terlekat pada nama-nama filsuf besar.
5.     Filsafat sebagai analisis logis tentang bahasa dan penjelasan makna istilah: kebanyakan para filsuf menggunakan analisis untuk menjelaskan suatu istilah dan pemakaian bahasa. Menganalisis berarti menetapkan arti secara tepat dan memahami saling hubungan diantara arti-arti tersebut.
6.     Filsafat sebagai usaha untuk memperoleh pandangan yang menyeluruh: filsafat sebagai ilmu yang mencoba menggabungkan kesimpulan-kesimpulan dari berbagai ilmu dan pengalaman manusia.
               Persoalan filsafat tentunya sangat berbeda dengan permasalahan non filsafat,
perbedaan yang mendasar terletak pada materi dan ruang lingkupnya. Adapun ciri-ciri permasalahan filsafat antara lain:
1.     Bersifat sangat umum: objek kefilsafatan tidak menyangkut objek-objek khusus, dalam artian masalah kefilsafatan berkaitan dengan idea-idea besar
2.     Bersifat spekulatif: persoalan yang dihadapi melampaui batas-batas pengetahuan ilmiah (empiris)
3.     Bersangkutan dengan nilai-nilai (values): persoalan kefilsafatan bertalian dengan keputusan tentang pernilaian moral, estetis, agama, dan sosial.
4.     Bersifat kritis: filsafat merupakan analisis secara kritis terhadap konsep-konsep dan arti-arti yang biasanya diterima dengan begitu saja oleh ilmuwan tanpa pemeriksaan secara kritis.
5.     Bersifat sinoptik : pandangan sinoptik berarti meninjau hal-hal atau benda-benda secara menyeluruh.
6.   Bersifat implikatif : apabila persoalan kefilsafatan sudah dijawab, maka dari jawaban tersebut muncul permasalahan baru yang saling berhubungan.


FILSAFAT DARSANA

Pertumbuhan filsafat dimulai Sejak zaman Upanisad yang bibitnya sudah ada pada zaman Weda, maka dari itu dalam perkembangannya tidak lepas dari Weda sebagai induknya. Perkembangan filsafat dimulai pada tahun 2000 SM sampai tahun 1000 M (Sumawa, 1996:11). dari zaman yang sangat panjang tersebut dibagi menjadi empat zaman yaitu zaman Weda, Zaman Wiracarita, Zaman Sutra dan Zaman Skholastik diantaranya yaitu:
a.       Zaman Weda
Zaman Weda diperkirakan berlangsung tahun 1500 SM sampai dengan 600 SM, pada zaman ini tumbuhlah sumber-sumber keagamaan dari kitab-kitab yang isinya diwahyukan yaitu diantaranya kitab Weda Samhita, Kitab Brahmana dan Kitab Upanisad dinantaranya yang pertama yaitu zaman Weda Samhita yang pada intinya terpusat pada pemujaan kepada para dewa-dewa yang jumlahnya cukup banyak. Para Dewa dipandang sebagai kekuatan-kekuatan yang nyata dan berpribadi, maka dipuja dengan sesajen yang dilakukan dengan cara berpariasi baik sehari-hari maupun sewaktu-waktu tertentu yang disertai dengan mantra-mantra pujian. (Sumawa, 1996:12). 
b.      Zaman Wiracarita
Zaman ini penuh dengan kejadian-kejadian penting yang mengoyangkan pemikiran orang India karena krisis politik.  Pada zaman ini adanya kitab Ramayana dan Mahabharata di mana aliran filsafat bersifat atheistis yaitu carwaka, jaina dan budha. Carwaka dinamakan Lokayatika tidak mengakui adanya Tuhan, Atman, Karma, Punarbawa dan moksa dan tujuan tertingginya adalah terpenuhnya kepuasan indriyanya tetapi aliran ini mengakui adanya kehidupan di akhirat. Ajaran filsafat Jaina menekankan pada ahimsa dan karma yang mengajurkan pengikutnya bila berjalan menutup mulut dan membawa sapu, sedangkan kelompok Budha yang menekankan pada ahimsa dan karma.
c.       Zaman Sutra
Setelah zaman Wiracarita muncul zaman Sutra yang ditandai dengan adanya susunan kitab-kitab Sutra sekitar tahun 500 SM sampai dengan 500 M. Kitab-kitab Sutra pada umumnya berisi uraian prosa yang disusun secara singkat dengan maksud agar mudah dihapal dan mudah dipergunakan sebagai buku pegangan. Kitab Sutra inilah yang menjadi sumber sistem-sistem filsafat yang tinggal pada masa ini, seperti Brama Sutra oleh Badarayana, Yogasutra oleh Patanjali, Samkhya Sutra oleh Kapila, Nyayasutra oleh Gautama, Waisasikasutra oleh Kanda dan Mimamsasutra oleh Jaimini.
d.      Zaman Skholastik
Zaman ini sekitar tahun 200 M yang disebut zaman kemajuan dengan munculnya tokoh-tokoh besar seperti Sankaracarya, Ramanuja dan Madhwa. Zaman ini  tidak dapat dipisahkan dengan zaman Sutra karena tokoh-tokoh besar yang berhasil menyusun kembali ajaran-ajaran kuna berhasil memberi angin baru dalam perkembangan pemikiran India.

I.            Pengertian Filsafat Darsana
               Filsafat Darsana merupakan suatu pandangan tentang kebenaran yang di dalamnya terdiri dari berbagai pandangan yang setiap pandangan memiliki definisi dan pembenarannya masing-masing. Di sini, jika seorang tidak memahami arti dari sebuah pandangan maka akan timbul keraguan dan kebingungan dalam memberikan pemahaman dan pengetahuan kepada dirinya sendiri dan orang lain. Keraguan-keraguan seperti ini tentunya juga akan terjadi pada setiap umat Hindu yang mengetahui dan membaca ajaran agama Hindu. Setiap aliran filsafat Darsana di atas yang termasuk dalam kelompok Astika maupun Nastika memiliki tokoh-tokoh pendiri dan penekanan ajaran yang berbeda, lebih jelasnya dipaparkan berikut ini:
A.      BAGIAN ASTIKA
1.        Nyaya, pendirinya adalah Gotama dan penekanan ajarannya pada aspek logika.
2.       Vaisasika, pendirinya adalah Kanada dan penekanannya ajarannya pada pengetahuan yang dapat menuntun seseorang untuk merealisasikan sang diri.
3.       Samkhya, menurut tradisi pendirinya adalah Kapila dan penekanan ajarannya tentang proses perkembangan dan terjadinya alam semesta.
4.       Yoga, pendirinya adalah Patanjali dan penekanan ajarannya adalah pada pengendalian jasmani dan pikiran untuk mencapai samadhi.
5.       Mimamsa, pendirinya adalah Jaimini dengan penekanan ajarannya pada pelaksanaan ritual dan susila menurut konsep Weda.
6.       Vedanta, kata ini berarti akhir Weda. Vedanta merupakan puncak dari filsafat India. Pendirinya adalah Sankara, Ramanuja dan madhawa, penekanan ajarannya yaitu pada hubungan Atman dengan Brahman dan tentang kelepasan.
B.   BAGIAN NASTIKA
1.     Carwaka, pendirinya ialah Bhagawan Wrhaspati dengan penekanan ajarannya pada aspek material sebagai tujuan hidup tertinggi dan tidak percaya terhadap kehidupan akhirat.
2.    Jaina, pendirinya adalah Mahawira, penekanan ajarannya aialah pada aspek ahimsa dan karma.
3.    Budha, pendirinya ialah Sidharta Gautama dengan penekanan ajarannya  pada ahimsa dan ketidakterikatan. (Sumawa, 1996:5-6).

II.   Tujuan Mempelajari Filsafat Darsana
       Pada garis besarnya pengertahuan filsafat Darsana dapat memberikan keterangan yang seluas-luasnya terhadap hal-hal yang bersifat keduniawian dan kerohanian yang menjadi tujuan hidup manusia, sehingga akan terwujud kebijaksanaan dan cara berpikir. Inti filsafat Darsana yaitu berusaha untuk mengungkapkan berbagai gejala-gejala duniwai sampai pada kesimpulan yaitu tercapainya kebenaran dan tercapai juga kebahagiaan, karena manusia dihadapkan pada dualisme yang berbeda yang dapat membingungkan dan menyesatkan, yaitu tepatnya tercapainya tujuan hidup tentang Dharma, artha, kama dan moksa. Filsafat Darsana akan mencoba memahami secara lebih umum tentang dirinya sendiri, alam semesta, tentang Tuhan yang tertuang dalam filsafat Darsana. Jika dilihat dari Weda maka Filsafat Darsana termasuk dalam kitab Sruti yang sama artinya dengan wahyu yang mana filsafat Darsana mengandung  hal-hal penting menjadi tujuan pembelajarannya  yaitu:
1.        Ajaran yang mencakup aspek filsafati atau keilmuan yang menjelaskan hakekat mengenai ketuhanan, Atman, Karma, Punarbawa dan moksa atau kelepasan.
2.       Ajarannya mencakup aspek ritual atau yajna yang dibahas secara luas, mengadung ajaran etika atau susila.
3.       Untuk menemukan kebenaran tentang hakekat Tuhan, manusia dan alam semesta.
4.       Untuk mengembangkan kebijaksanaan pada diri sediri pribadi dan persepsi seorang terhadap berbagai masalah yang sedang dan yang akan dihadapi.
5.       Untuk memberikan atau memudahkan jalan bagi setiap orang dalam usaha mereka mencapai kesempurnaan hidup sesuai dengan konsep ajaran Agama Hindu.
Filsafat India yaitu filsafat Darsana dapat dibagi dua golongan besar, yaitu (1) astika yang berpaham ortodoks; dan (2) nastika yang berpaham heterodoks. Disebut astika, golongan ini secara langsung maupun tidak langsung mengakui otoritas Veda sebagai sumber ajarannya yang terdiri dari enam filsafat yaitu: Nyaya, Vaisesika, Samkhya, Yoga, Mimamsa dan Vedanta. Disebut juga Nastika, golongan ini tidak mengakui otoritas Veda sebagai sumber ajaranya terdiri dari Carwaka, Buddha dan Jaina.
III.    PEMBAHASAN BAGIAN-BAGIAN FILSAFAT DARSANA
A.        ASTIKA
Sad darsana artinya enam pemikiran filsafat yang diterima dan diakui sebagai bagian yang tidak dapat dilepaskan dari system kepercayaan agama hindu. Bagian-bagian Astika adalah sebagai berikut :
1.      Filsafat samkhya

Pengertian Samkhya
Samkhya adalah salah satu system filsafat India, yang mengakui Veda sebagai otoritas tertinggi. Oleh sebab itu Samkhya dikelompokkan kedalam Astika (ortodok). Jika dilihat dari bentuk katanya, Samkhya berasal dari dua urat kata yaitu “sam” dan “Khya”. Sam diartikan sebagai bersama-sama dan Khya diartikan sebagai bilangan, jadi secara harfiah Samkhya berarti bilangan bersama-sama. Kata Samkhya digunakan dalam Sruti dan Smerti, dimana masing-masing digunakan dalam pengertian pengetahuan dan tindakan, sehingga kata Samkhya ini juga memiliki arti pengetahuan yang benar. Dalam Sarva Darsana Samgraha, yaitu suatu system filsafat Hindu mengatakan kata Samkhya (sankhya) itu artinya adalah jumlah. Dan system ini memberikan 25 prinsip terjadinya alam semesta setelah dua asas yaitu purusa dan prakerti sehingga berkembanglah sebagai penyusun alam semesta dan tubuh manusia itu sendiri. Kadangkala system ajaran Samkhya dikatakan sebagai ajaran yang bersifat atheistic atau Nir Iswara Sankhya (Samkhya tanpa Tuhan), yaitu suatu ajaran yang tidak mempercayai adanya Tuhan, karena dalam ajaran Samkhya ini sama sekali tidak menyebut-nyebut nama Tuhan, dengan alasan Tuhan itu sangat sulit untuk bias dibuktikan keberadaannya. Tapi ajaran Samkhya jika dilihat dari pengakuannya terhadap otoritas Veda, nyatanya system ini termasuk ke dalam kelompok Astika yang mengakui Veda sebagai sumber ajaran kebenaran Hindu. System Samkhya ini tidak menentang Tuhan, hanya saja Samkhya menunjukkan bahwa Purusa dan Prakrti sudah cukup untuk menjelaskan alam semesta ini, jadi tidak ada alas an untuk merumuskan hipotesa tentang keberadaan Tuhan.
a.    Pendiri/Penemu/Pencetus Ajaran Samkhya
System ajaran Samkhya ini dicetuska oleh Maha Rsi Kapila. Rsi Kapila ini lahir dari ibu yang bernama Devahuti dan ayahnya adalah Kardama. Dari ibunyalah Rsi Kapila ini mendapatkan ajaran-ajaran filsafat, dan apa yang menjadi konsep system ini ditulis dalam sebuah buku Samkhya Sutra. Rsi Kapila sering dipanggil dengan sebutan Rsi Kapila Muni, dikatakan sebagai Putra Brahma dan Avatara Visnu.
b.    Sumber/Kitab Ajaran Samkhya
Meskipun Samkhya kadangkala dikatakan sebagai ajaran yang bersifat atheistic namun Samkhya menggunakan Veda sebagai otoritas tertingginya. Samkhya menggunakan Veda sebagai dasar pengembangan kebenaran Hindu. Selain Veda, Samkhya juga menggunakan Chandogya Upanisad, Prashna Upanisad, Katha Upanisad, dan Svetasvatara Upanisad. Dan yang tidak kalah penting dalam ajaran Samkhya adalah Mahabharata yang termuat dalam kitab Bhagawadgita.
c.      Isi Pokok dan Pandangan Samkhya Terhadap Makrocosmos dan Mikrocosmos
Samkhya merupakan suatu kelompok filsafat yang tergolong Astika,dalam ajarannya secara metafisis mengemukakan pokok-pokok ajaran prakerti, purusa,tri guna,penciptaan alam semesta dan atheistic.
Ø  Prakerti
Samkhya dalam ajarannya menerima 2 ultimasi,yakni Purusa (spirit) dan Prakerti (Matter), sebagai 2 asas rohani dan kebendaan, dari 2 asas inilah terciptanya alam semesta. Prakerti adalah sebab terakhir dari alam semesta sebab prakerti merupakan awal dari semua yang ada dalam alam semesta ini, maka prakerti harus bersifat kekal dan abadi. Karena tidak mungkin yang tidak kekal menjadi sebab pertama dari semua yang ada pada alam semesta ini. Dalam bahasa sansekerta prakerti berasal dari urat kata “pra” yang berarti sebelum atau pertama dan akar kata “kr” yang artinya membuat atau menghasilkan. Jadi Prakerti diartikan sebagai yang ada sebelum segala sesuatunya dihasilkan / disebabkan, sumber pertama dari semua benda, bahan asal darimana semua benda menyebar dan ke dalam mana  semua benda pada akhirnya akan kembali.
Ø  Purusa
Purusa merupakan jenis kesadaran tertinggi. Samkhya menyebut purusa sama dengan roh /jiwa. Purusa ini bersifat tak terikat yang meresapi segala yang abadi. Teori Samkhya menyatakan bahwa roh itu ada karena ia menjelma, ketidakadaan roh tidak dapat dinyatakan dengan apapun juga. Roh itu berbeda dengan indria, pikiran, dan akal.roh bersifat langgeng, tanpa sebab menyusupi segala namun bebas dari segala ikatan dan pengaruh dunia.
Ø  Tri Guna
Agama Hindu mengajarkan adanya Tri Guna yang terdiri atas Sattvam, Rajas, dan Tamas. Sattvam bersal dari kata “sat” yang berarti benar dan “tva” yang berarti mempunyai sifat. Jadi Sattva berarti sifat yang benar, yang dimaksudkandalam pernyataan ini adalah sifat ringan bagi benda, dan baik bagi makhlik hidup(manusia). Sattva adalah hakekat segala sesuatu yang memiliki sifat-sifat terang yang menerangi. Rajas merupakan aktivitas yang dinyatakan sebagai raga-dvesa yakni suka atau tidak suka, cinta atau benci, menarik atau memuakkan. Rajas adalah unsure yang menggerakkan guna sattva dan guna tamas. Tamas berasal dari kata “tam” yang berarti susah atau gelap. Dalam hal ini, tamas berarti sifat yang menyebabkan semua makhluk berdiam dalam kegelapan atau kemalasan.
Ø  Penciptaan alam semesta.
Sebagai suatu pandangan dan istilah umum, darsana dipergunakan untuk menunjuk system filsafat india, yang terbagi atas 2 kelompok yaitu: Astika dan Nastika. Secara metafisis, prakerti hanya bergantung pada aktifitas dari unsure pokok gunanya sendiri. Ia terbentuk dari 3 guna yang tidak pernah terpisah, saling menunjang satu sama lain, dan saling bercampur. Prakerti mengalami perkembangan apabila berhubungan dengan purusa. Melalui perhubungan ini, prakerti dipengaruhi oleh purusa seperti halnya anggota badan kita dapat bergerak karena hadirnya pikiran. Evolusi alam semesta tidak akan terjadi hanya karena purusa juga tidak terjadi hanya karena prakerti, tapi pertemuan kedua unsur tersebutlah yang menyebabkan alam semesta beserta isinya dapat terjadi. Dari hubungan purusa dan prakerti timbulah mahat atau budhi,yang nantinya menimbulkan ahamkara, yaitu asas individual, yaitu asas yang menimbulkan induvidu-individu. Dengan ahamkara diri akan merasa dirinya yang bertindak yang berkeinginan, dan yang memiliki. Setelah ahamkara berkembang, prakerti menuju 2 jurusan yaitu, jurusan yang bersifat kejiwaan dan jurusan jasmani. Perkembangan kejiwaan yang kedua adalah panca jnani indria yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba. Sedangkan perkembangan kejiwaan yang ketiga adalah panca karmendria yaitu indria untuk berbuat yang terdiri dari daya berbicara, daya untuk memegang, daya untuk berjalan, daya untuk membuang kotoran dan daya untuk mengeluarkan sperma. Perkembangan jasmani atau fisik menghasilkan asas dunia yang ada diluar manusia, yang disebut panca tan mantra( sari-sari benih suara, sentuhan, warna, rasa, dan bau ).dari benih suara timbullah akasa (ether)dari gabungan benih sentuhan dan suara terjadilah udara, dari gabungan benih warna, suara, dan sentuhan terjadilah cahaya atau api, dari benih suara,sentuhan, dan warna terjadilah air dan dari benih baud an empar tan mantra yang lain terjadilah bumi (pertiwi). Dari anasir kasar itu berkembanglah alam semesta beserta isinya, namun perkembangan ini tidak menimbulkan asas-asas baru lagi seperti perkembangan mahat. Terbentukjnya alam semesta tidaklah sempurna sampai disitu sebab ia memerlukan satu asas lagi yaitu roh. Perkembangan prakerti menjadi alam semesta merupakan perkembangan yang terakhir.
Ø  Atheistik
Masalah ketuhanan menurut pandangan samkya sangat bertentangan dengan tradisi yang ada dalam masyarakat india. Filosof berpandangan bahwa samkhya menganut theisme atau atheism. Samkya menjadi atheistic karena pengaruh materialisme, jainisme dan budhisme. System ini tidak membangun ketidakadaan tuhan ia hanya menunjukkan bahwa purusa dan prakerti sudah cukup untuk menjelaskan alam semesta tanpa harus merumuskam hipotesa tentang keberadaan tuhan.
d.    Tujuan Akhir Ajaran Samkhya
Tujuan akhir dari Ajaran Samkhya adalah kelepasan. Kelepasan dapat dicapai oleh seseorang bila orang tersebut menyadari bahwa purusa tidak sama dengan alam pikiran, perasaan, dan badan jasmani. Bila seseoarng belum menyadari hal itu, maka ia tidak akan dapat mencapai kelepasan, akibatnya ia mengalami kelahiran yang berulang-ulang. Jalan untuk mencapai kelaepasan adalah melalui pengetahuan yang benar, latihan kerohanian yang terus menerus,merealisasikan perbedaan purusa dan prakerti serta cinta kasih terhadap semua makhluk. Dengan demikian samkhya menekankan pada jalan jnanadalam wujud wiweka dan kebijaksanaan untuk melepaskan purusa dari jebakan prakerti.

2. Filsafat Mimamsa

a.                Pendiri dan Sumber Ajarannya
            Sembah sujud kepada Sri Jaimini, pendiri sistem filsafat Purwa Mimamsa, murid dari Bhagawan Sri Wyasa. Purwa Wiwamsa atau Karma Mimamsa adalah penyelidikan ke dalam bagian yang lebih awal dari kitab suci Weda. Suatu pencarian ke dalam ritual-ritual Weda atau bagian weda yang hanya berurusan dengan masalah mantra dan Brahmana saja. Purwa wimamsa disebut demikian karena ia lebih awal (purwa) dari pada Uttara Mimamsa, dalam pengertian logika, yang tidak demikian banyak dalam pengertian kronologis. Filsafat Mimamsa yang akan dibahas adalah Purwa Mimamsa Yang umum disebut dengan Mimamsa saja. Kata Mimamsa, berarti penyelidikan yang sistematis terhadap Veda. Purwa Mimamsa secara khusus mengkaji bagian Veda, yakni kitab-kitab Brahmana dan Kalpasutra, sedang bagian yang lain(Aranyaka dan Upanisad) dibahas oleh uttara Mimamsa yang dikenal pula dengan nama yang popular yaitu Vedanta. Purwa Mimamsa sering disebut Karma Mimamsa sedangkan Uttara Mimamsa sering disebut dengan Jnana Mimamsa. Sumber utama adalah keyakinan akan kebenaran dan kemutlakan upacara d dalam kitab Veda (Brahmana dan Kalpasutra). Sumber ajaran tertulis dalam jaiminisutra, karya Maharesi Jaimini. Kitab ini terdiri dari 12 Adhyaya (bab) terbagi kedalam 60 'pada' atau bagian. Isinya adalah aturan atau tata cara dalam Weda ( menurut Weda ). Komentar tertua terhadap kitab Jaimisutra dikemukakan oleh Sabara Swanin, selanjutnya oleh dua orangtokoh yang berbeda pandangan, yakni Kumarila Bhatta dan Prabhakara, yang mengembangkannya kemudian.
b.      Sifat dan Pokok – Pokok Ajaran Mimamsa
       Ajaran ( Purwa ) Mimamsa disebut bersifat pluralistis dan realistis. Pluralis karena mengakui adanya banyak Jiwa dan penggandaan asas badani yang membenahi alam semesta, sedang realistis karena mengakui bahwa obyek-obyek pangamatan adalah nyata. Bagi Mimamsa alat pengetahuan yang terpenting adalah kesaksian (kebenaran) Veda. Mimamsa mengajarkan bahwa tujuan terakhir umat manusia adalah Moksa, jalan untuk mencapai adalah dengan melaksanakan upacara keagamaan seperti tersebut dalam Veda. Sebagai telah disebutkan diatas sumber pokok ajaran Mimamsa adalah Veda terutama bagian Brahmana dan Kalpasutra. Baginya kitab Veda adalah Dharma. Tata cara serta perintah-perintah tentang upacara yang terdapat didalam Veda hendaknya dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Serta tidak mengharapkan hasil karena melaksanakannya semuanya itu sebagai suatu kewajiban. Kebebasan dalam filsafat ini adalah kebebasan yang terhingga yang terkenal dengan sebutan sorga. Salah satu aliran dalam filsafat Mimamsa yang dipimpin oleh Maharesi Prabhakara yang mengemukakan adanya 5 sumber pengetahuan (Pramana) antara lain :
       1) Pratyaksa, yaitu pengamatan atau penglihatan secara langsung.
       2) Anumana, yaitu menarik suatu kesimpulan.
       3) Upamana, yaitu mengadakan suatu perbandingan.
       4) Sabda, yaitu melakukan pembuktian melalui sumber yang dipercaya.
       5) Arthapatti, yaitu perumpamaan.
       Satu sampai dengan empat adalah sama dengan Pramana pada filsafat Nyaya, hanya ada tambahan terutama didalam Upamana. Dalam filsafat Mimamsa dijelaskan hal ini sebagai berikut : seseorang yang ingin melihat harimau pergi ke hutan, dan dalam hal inii dijelaskan dijelaskan bahwa kucing sebagai perbandingan. Ketika yang bersagkutan tiba dihutan melihat seekor harimau, maka ia seketika itu membandingkannya dengan seekor kucing,kesimpulan ini disebut Upamana. Berbeda dengan pengetahuan yang ditarik dengan / melalui Arthapatti. Dalam Arthapatti penjelasannya bertentangan. Misalnya bila kita melihat seekor ular tidur saja pada siang hari, tidak pernah makan pada waktu siang hari, tetapi ular itu tetap hidup, kesimpulan Arthapati adalah pasti ular tersebut makan pada malam hari. Aliran Mimamsa yang lain diajarkan oleh Maharsi Kumarila Bhatta dengan teori pengethuannya diperoleh melalui 6 pramana. Lima Pramananya sama seperti tersebut diatas (spt.Prabhakara), dengan menambahkan yang ke-6 Anuphalabhi pramana, yakni tidak dapat diamati, karena memang bendanya tidak ada. Cotohnya : Di kamar tidur tidak ada jam tembok, ketiadaan jam tembok itu didalam kamar itu memang tidak dapat diamati. Inilah yang disebut Anupalabhi. Filsafat Mimamsa lebih jauh menjelaskan bila setiap orang melakukan sedikit saja upacara agama, maka jiwa yang bersangkutan, akan diangkat oleh sesuatu kekuatan yang bernama Apurwa, yang dikemudian hari akan menghasilkan buah yang baik. Perhitungan dari Apurwa Mimamsa ini secara menyeluruh terhadap jiwa hendaknya dilakukan dengan bentuk Upacara yadnya, yang nantinya akan memberikan hasil yang sangat memuaskan. Jadi Apurwa mewujudkan suatu jembatan yang menghubungkan waktu antara sebuah upacara yadnya dengan buahnya. Mula-mula Mimamsa mengajarkan bahwa tujuan hidup adat Sorga, tetapi kemudian menyesuaikan dengan sistem filsafat yang lain, yaitu Moksa atau kalepasan.
c.        Mimamsa Sebagai Suatu Sistem Penafsiran Weda
       Mimamsa bukanlah cabang dari suatu sistem filsafat. Ia lebih tepatnya merupakan satu sistem penafsiran Weda, di situ diskusi filosofinya sama dengan semacam komentar kritis pada Brahmana atau bagian ritual dari Weda, yang menafsirkan kitab weda dalam pengertian berdasarkan arti sebenarnya masalah utama dari Purwa Mimamsa adalah ritual. Jaimini telah mensistematiskan aturan-aturan dari mimamsa dan menetapkan keabsahannya dalam karyanya itu. Aturan-aturan dari mimamsa sangat penting guna menafsirkan hukum-hukum hindu. Jaimini menerima 3 pramana tentang pengamatan (pratyaksa), penyimpulan (anumana), dan otoritas pembuktian (sabda atau weda). Jaimini menganggap bahwa satu hubungan yang abadi antara satu kata dengan artinya dan bahwa suara tersebut adalah abadi.
d.      Keabadian Weda Yang Ada Dengan Sendirinya
Jaimini adalah seorang lawan dari rasionalisme dan theisme. Baginya kitab suci weda secara praktis hanyalah tuhan semata. Weda yang abadi tidak memerlukan dasar apapun untuk sandarannya. Tak ada pewahyu tuhan, karena weda itu sendiri merupakan otoritasnya yang merupakan satu-satunya sumber pengetauan dharma kita. Tuhan tidak diperlukan dalam sistem mereka. Ia mengatakan bahwa weda itu sendiri merupakan otoritasnya. Dharma itu sendiri memberikan ganjaran. Tujuan purwa mimamsa adalah untuk meneyelidiki ke dalam sifat dari dharma. Purwa mimamsa memiliki sejumlah dewata. Persembahan mungkin diperuntukan baginya. Pelaksaan dharma weda tidak memerlukan suatu keberadaan tertinggi atau Tuhan. Agama weda tidak mencari bantuan Tuhan. Weda abadi yang ada dengan sendirinya, melayani segala keperluan atau Jaimini beserta para pengikut filsafat purwa mimamsa. Jaimini tidak begitu mengingkari adanya tuhan seperti tak menghiraukannya.
e.       Pelaksaan Dharma Weda sebagai Kunci Menuju Kebahagiaan
       Dharma yang di perintahkan oleh kitab suci weda, dikenal sebagai Sruti yang pelaksaanya membawa pada kebahagiaan. Bila kitab smrti tidak setuju dengan sruti, maka yang pertama smrti dapat diabaikan. Pelaksaan oleh orang-orang saleh atau kebiasaan-kebiasaan, muncullah belakangan di dalam smrti. Seorang hindu hendaknya menjalani kehidupannya sesuai dengan aturan-aturan kitab suci weda. Ia harus melaksanakan nitya karma. Ini merupakan kewajiban tanpa syarat, bila ia lalai dalam melakukan hal ini , ia terkena dosa kelalalian (pratyawaya dosa). Ia melaksanakan kamya karma untuk mencapai akhir yang istimewa. Bila ia menghindari perbuatan yang dilarang ( nisiddha karma), ia akan terhindar dari neraka. Bila ia melaksanakan kewajiban tanpa syarat ia mencapai kelepasan. Beberapa orang pengikut filsafat mimamsa yang kemudian menetapkan bahwa semua pekerjaan seharusnya dilaksanakan sebagai suatu persembahan kepaa tuhan atau mahluk tertinggi. Lalu mereka menjadi penyebab atau cara pembebasan. Bila pekerjaan atau upacara kurban dilakukan dalam suatu cara mekanis tanpa perasaan, sraddha (keyakinan) dan kepatuhan, mereka tak dapat membantu seseorang untuk mencapai kelepasan. Seseorang boleh saja melaksakan sejumlah upacara kurban, namun mungkin tak ada suatu perubahan dalam hati, bila ia dilaksanakan tanpa moral yang benar atau prilaku yang benar serta kemauan yang benar, apa yang sesungguhnya dikehendaki bukanlah upacar kurban, tetapi pengorbanan kepentingan diri sendiri, keakuan dan raga dwesa (suka-benci).
f.        Ajaran Dari Apurwa
       Hasil atau ganjaran dari upacara kurban tidak ditentukan oleh suatu kemanfaatkan Tuhan. Apurwa memberi ganjaran pada si pelaksana kurban. Apurwa merupakan mata rantai atau hubungan yang diperlukan antara kerja dengan hasil atau buahnya. Apurwa adalah adrsta yang merupakan kekuatan yang tak terlihat yang sifatnya positif yang di ciptakan oleh kegiatan yang membawa pencapain buah perbuatan. Inilah pandangan dari Rsi Jaimini. Para penulis lainnya mengkritik sama sekali bahwa apurwa tanpa kesadaran atau tanpa kecerdasan tak dapat memberikan ganjaran. Sistem filsafat mimamsa tak dapat memuaskan orang-orang bijak dan orang-orang yang cerdas. Karena itu para pengikut filsafat mimamsa yang belakangan secara perlahan-lahan memasukkan masalah tuhan. Mereka menyatakan bahwa bila upacara kurban dilaksanakan untuk menghormati keberadaan tertinggi, ia akan membawa pada pencapaian kebiasaan tertinggi. Apurwa tak dapat berbuat kecuali ira digerakkan oleh tuhan atau keberadaan tertinggi. Yang membuat apurwa  berfungsi adalah Tuhan.
g.      Sang Diri Dan Ciri – Ciri-Nya
       Sang diri berbeda dengan badan, indriya dan intelek. Sang diri merupakan si penikmat atau yang mengalami. Badan merupakan tempat untuk mengalami. Indriya-indriya adalah peralatan-peralatan untuk mengalami. Sang diri merasakan bila ia menyatu dengan pikiran ia mengalami kesenangan dan penderitaan di bagian dalam dan mengalami obyek-obyek luar seperti pepohonan, sungai-sungai, tanam-tanaman dsb. Sang diri bukanlah indriya-indriya, karena ia tetap ada walaupun indriya dihancurkan atau dilukai. Badan tersebut dari materi. Yang meresahkan, berbeda dengan badan dan justru sang diri mengarahkan badan. Badan merupakan pelayan dari sang diri ada beberapa keberadaan yang menirukan berbagai data-data indriya. Keberadaan atau kesatuan tersebut adalah sang diri, yang meresapi segalanya dan tak dapat dihancurkan serta jumlahnya tak terhingga.
h.      Para Pengikut Filsafat Mimamsa Berikutnya, Prabhakara dan Kumarila
       Rsi Jaimini menunjukkan cara untuk mencapai kebahagian di swarga atau surga. Tetapi ia tidak mengatakan apapun tentang masalah pembebasan akhir. Para penulis yang belakangan seperti Prabhakara dan Kumarila, bagaimanapun juga tak dapat menghindari masalah pembebasan akhir ini, karena ia menarik perhatian para pemikir alairan filsafat lainnya. Manusia membuang kegiatan dan perbuatan yang dilarang yang membawanya kepada kebahagiaan di surga. Ia melakukan penebusan dosa yang diperlukan guna melepaskan timbunan karma masa lalunya. Ia melaksakan pengetahuan diri dan mendisiplinkan diri dan mengembangkan sifat-sifat kebajikan. Ia membebaskan dirinya dari kelahiran kembali dengan pengetahuan yang sesungguhnya tentang sang diri. Seseorang tak dapat mencapai kelepasan hanya dengan pengetahuan semata. Pelepasan/pembuangan karma hanya dapat menghasilkan pelepasan. Pengetahuan menghalangi kelanjutan timbunan dari kebajikan dan kejahatan. Dengan karma itu sendiri tak dapat untuk mencapai pembebasan akhir. Pandangan Kumarila mendekati pandangan dari Adwaita Wedanti yang menetapkan bahwa weda disusun oleh tuhan dan merupakan brahman dalam wujud suara. Moksa adalah suatu keadaan yang positif baginya, yang merupakan realisasi dari atman.
i.         Filsafat Jaimini Dalam Sebuah Kulit Kacang
       Menurut Jaimini, pelaksanaan kegiatan yang di larang dalam kitab suci weda. Merupakan sadhana atau cara pencapain surga. Karma kanda merupakan bagian pokok dari weda. Penyebab belenggu adalah pelaksanaan dari nisiddha krma atau kegiatan yang dilarang. Sang diri adalah jada-cetana gabungan dari tanpa perasaan dan kecerdasan. Roh jumlahnya tak terhingga dan merupakan sipelaku dan si penikmat. Ia meresapi segalanya. Jaimini tidak percaya akan penciptaan alam dunia ini. Ia percaya akan derajat kebahagiaan di surga dan pada sadacara atau perilaku yang benar.
j.         Kritik Terhadap Filsafat Jaimini
       Sistem filsafat Mimamsa dikatakan menjadi tak memuaskan dan tak sempurna karena ia tidak memperlakukan masalah-masalah realitas akhir dan hubungannya dengan roh serta materi. Tak ada pandangan filosofis tentang dunia ini . Gambaran utamanya adalah pelaksanaan upacara kurban. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat mendasar dan utama ‘’laksanakan upacara kurban dan nikmati hasilnya di surga’’ ini merupakan kesimpulan dan isi pokok-pokok dari ajaran Jaimini. Inilah moksanya atau tujuan akhir. Hal ini tidak memberikan kepuasan terhadap para pemikir yang mengetahui bahwa kenikmatan di surga bersifat sementara tidak sempura dan duniawi.

3. Filsafat Yoga

a.    Pengertian Yoga
Secara etimologi, kata yoga diturunkan dari kata yuj ( sansekerta), yoke (Inggris), yang berarti ‘penyatuan’ (union). Yoga berarti penyatuan kesadaran manusia dengan sesuatu yang lebih luhur, trasenden, lebih kekal dan ilahi. Menurut Panini, yoga diturunkan dari akar sansekerta yuj yang memiliki tiga arti yang berbeda, yakni: penyerapan, samadhi (yujyate) menghubungkan (yunakti), dan pengendalian (yojyanti). Namun makna kunci yang  biasa dipakai adalah ‘meditasi’ (dhyana) dan penyatuan (yukti).
b.   Tokoh Yoga
Pendiri dari sistem Yoga adalah Hiranyagarbha dan Yoga yang didirikan oleh Maharsi Patanjali merupakan cabang atau tambahan dari filsafat Samkhya, yang memiliki daya tarik tersendiri bagi para murid yang memiliki temperamen mistis dan perenungan. Tulisan pertama tentang ajaran Yoga karya Maharsi Patanjali adalah kitab Yoga Sutra, walaupun unsur-unsur ajarannya sudah ada jauh sebelum itu. Ajaran yoga sebenarnya sudah terdapat di dalam kitab Smrti, demikian pula dalam Itihasa dan Purana. Setelah buku-buku Yoga Sutra muncullah kitab-kitab Bhasya yang merupakan komentar terhadap karya patanjali, diantaranya Bhasya Nitti oleh Bhojaraja dan lain-lain. Komentar-komentar ini menguraikan ajaran Yoga karya Patanjali yang berbentuk Sutra berupa kalimat pendek yang padat isinya. Sistem filsafat yang dipakai untuk mendasari Yoga ini terang diambil dari ajaran Samkhya, karena memang filsafat Yoga ini berhubungan erat sekali dengan Samkhya. Di dalam buku Filsafat Hindu yang di susun oleh I Wayan Maswinara dikatakan bahwa Yoga bersifat lebih Orthodox dari pada filsafat Shamkhya, karena Yoga secara langsung mengakui keadaan Isvara, sehingga sistem filsafat Patanjali ini merupakan Sa-Isvara. Samkhya, karena adanya Isvara atau Purusa istimewa (khusus) didalamnya, yang tak tersentuh oleh kemalangan, penderitaan, kerja keinginan dan sebagainya. Patanjali mendirikan sistem filsafat ini dengan latar belakang metafisika dan Samkhya menerima 25 prinsip atau Tattva dari Samkhya. Yoga menerima pandangan metafisika dari prinsip  Samkhya, tetapai lebih menekankan pada sisi praktisnya guna realisasi dari penyatuan mutlak Purusa atau sang Diri. Kata Yoga artinya ialah hubungan. Hubungan antara roh yang berpribadi dengan roh yang Universal yang tidak berpribadi. Tetapi patanjali mengartikan Yoga sebagai cittawrtti nirodha yaitu menghentikan geraknya fikiran. Roh  pribadi dalam sistem Yoga memiliki kemerdekaan yang lebih besar dan dapat mencapai pembebasan dengan bantuan Tuhan. Kalau sistem samkhya menetapkan bahwa pengetahuan merupakan cara untuk mencapai pembebasan, maka dalam sistem Yoga menganggap bahwa konsentrasi, meditasi, dan Samadhi akan membawa kepada Kaivalya atau terkandung dalam kesan-kesan dari keanekaragaman fungsi mental dan konsentrasi dari energi mental pada Purusa yang mencerai dirinya. Menurut Patanjali, Tuhan merupakan Purusa istimewa atau Roh khusus yang tak terpengaruh oleh kemalangan, karma, hasil yang diperoleh dan cara memperolehnya, pada-Nya merupakan batas tertinggi dari benih ke-Maha Tahuan. Yang tak terkondisikan oleh waktu, yang selamanya bebas dan merupakan Guru bagi para bijak jaman dulu.
c.    Yoga Sutra
Seluruh kitab Yoga  Sutra karya Patanjali terdiri atas 4 bagian yang terdiri diri 194 Sutra. Yaitu:
a.      Samadhipada. Samadhipada isinya memuat penjelasan tentang sifat dan tujuan melaksanakan Samadhi juga menerangkan tentang perubahan-perubahan pikiran dan pelaksanaan ajaran Yoga.
b.      Sadhanapada. Sadhanapada isinya memuat tentang cara pelaksanaan yoga seperti cara mencapai Samadhi, tentang kedudukan, tentang karma phala dan sebagainya. 
c.        Virbutipada. Virbutipada isinya memberikan uraian tentang daya-daya supra alami atau Siddhi yang adapat dicapai melalui pelaksanaan Yoga.
d.      Kaivalyadapa. Kaivalyapada isinya melukiskan tentang alam kelepasan dan kenyataan rokh yang mengatasi alam duniawi atau menggambarkan sifat dari pembebasan.
Ajaran filsafat Yoga yang terpenting adalah citta (pikiran) citta dipandang sebagai hasil pertama dari prakrti yang juga meliputi Ahamkara dan Manas. Didalam citta ini Purusa dipantulkan dengan penerimaan pantulan Purusa Citta ini menjadi sadar dan berfungsi. Tiap citta berhubungan dengan satu tubuh sehingga dengan demikian Purusa dibebaskan dari belenggu badan dalam kehidupan sehari-hari citta disamakan dengan wrtti, yaitu bentuk-bentuk perubahan citta dalam penyesuaian diri dengan objek pengamatan. Melalui aktifitas citta ini, purusa tampak bertindak, bergirang atau menderita.
Prubahan citta dapat diklasifikasikan kedalam lima macam, yaitu:
a.    Pramana, alat pengenalan yang meluputi pengamatan, penyimpulan, dan kesaksian yang benar.
b.    Wiparyaya, pengetahuan yang palsu, yang didasarkan atas gambaran yang keliru atas hal yang diamati, yang slalu tampak sebagai Awidya.
c.     Wikalpa, pengetahuan yang berdasarkan sabda, bukan berdasarkan kenyataan. Sehingga juga mewujudkan pengetahuan yang tidak nyata.
d.     Nidra, tidur dan mimpi
e.    Smerti, ingatan atau kenangan yang keduanya bekerja tanpa bahan-bahan baru.
Pengamatan yang benar hanya melalui Tripramana aktifitas citta menimbulkan kecendrungan yang terpendam, yang selanjutnya menimbulkan kecendrungan yang lain. Demikianlah Samsara berputar, manusia ditaklukan oleh klesa yang terdiri dari:
a.      Awidya, yaitu pengetahuan yang salah seperti menganggap yang tidak kekal, yang bukan rokh sebagai rokh, yang tidak suci sebagai yang suci, dan sebagainya.
b.      Asmita (keakuan), aitu pandangan yang salah yang memandang Rokh itu sama dengan buddhi atau manah.
c.        Raga (keterikatan), raga atau nafsu keinginan dan alat-alat pemuasnya.
d.      Dwesa (dendam), dwesa ialah kebencian atau dendam.
e.       Abhiniwesa (takut terhadap kematian), yaitu rasa takut pada kematian semua makhluk.
Untuk dapat terlepasnya Purusa dari ikatan Prakirti, seorang harus dapat melepaskan writti yaitu dengan melepaskan klesa, sebab klesa merupakan dasar tebentuknya karma yang menimbulkan awidya. Jadi dalam hidup manusia terdapat satu rangkaian yang tiada putusnya, yaitu perputaran writti dan klesa. Lepasnya ikatan dapat tercapai melalui pengendalian diri (wairagya), sehingga dapat membedakan yang pribadi dan yang bukan pribadi.
d.   Raja Yoga dan Hatha Yoga
Yoganya Maharsi Patanjali merupakan astaga Yoga atau Yoga dengan delapan anggota, yang mengandung disiplin pikiran dan tenaga fisik. Hatha Yoga membahas tentang cara-cara mengendalikan badan dan pengaturan pernafasan, yang memuncak pada Raja-Yoga, melalui sadhana yang progresif dalam Hatha Yoga sehingga hatha Yoga merupakan tangga untuk mendaki menuju tahapan Raja-yoga. Bila gerakan nafas dihentikan dengan cara Kumbhaka, pikiran menjadi tak tertopang dan pemurnian badan melalui say-karma (6 kegiatan pemurnian badan) yaitu Dhauti (pembersihan perut), Basti (bentuk alami pembersihan usus), Neti (pembersihan lubang hidung) Trataka (penatapan tanpa kedip terhadap sesuatu objek), Nauli (pengadukan isi perut) dan kapalabhati (pelepasan lendir melalui semacam pranayama tertentu), serta pengendalian pernafasan merupakantujuan langsung dari Hatha-yoga. Badan akan diberikan kesehatan, kemudahan, kekuatan dan kemantapan melaksanakan Asana, bandha dan Mudra.
e.    Tujuan Yoga
Tujuan utama Yoga ialah membebaskan manusia dari ketiga jenis penderitaan, yaitu:
a.      Yang timbul dari kelemahan, kesalahan tingkah laku dan penyakitnya.
b.    Yang timbul dari perhubungannya dengan makhluk-makhluk lain, seperti Harimau, pencuri dan sebagainya.
c.     Yang timbul dari perhubungannya dengan Alam diluar, seperti elemen-elemen dan daya-daya abstrak, halus dan sukar diketahui.
d.    Hal tersebut bisa dicapai dengan cara berikut:
·      Dengan jalan tanpa pelekatan serta tidak terikat pada dunia, tapi tidak berarti harus mengisolasikan dirinya.
·      Dengan jalan mengendalikan fikiran serta kreasi-kreasinya, agar dengan demikian sekaligus membersihkan kesadaran yang nyata.
·      Berusaha mencapai penggabungan roh individu dengan roh univeral secara positif dan mutlak. Kondisi ini dikenal sebagai samadhi dan merupakan tujuan sejati dari Yoga.
Yogi (pengikut Yoga) berusaha mencapai keadaan bebas seluruhnya dari roda hidup dan mati. Ia memandang Alam sebagai suatu daya kekuatan yang bekerja dalam dua jurusan. Dari dalamnya ia berjuang untuk memisahkan, dari dalamnya ia berjuang untuk menggabungkan kembali. Kekuatan dalam disebut Hidup, kekuatan luar disebut mati. Tujuan Yoga adalah menggabungkan kedua kekuatan tersebebut.

4. Filsafat Nyaya
A. Pengertian Nyaya
Nyaya darsana merupakan merupakan dasar dan pengantar dari seluruh pengajaran filsafat Hindu. Nyaya Sutra yang digunakan sebagai sumber dari filsafat Nyaya ditulis oleh Rsi Gautama atau sering pula dikenal dengan nama Aksapada atau Dirghatapas kurang lebih pada abad ke-4 SM. Nyaya berarti ‘argumentasi’, sehingga sering pula disebut sebagai Tarka vada atau diskusi tentang suatu darsana atau pandangan filsafat. Didalam Nyaya darsana sendiri terkandung ilmu perdebatan (Tarka vidya) dan ilmu diskusi (vada vidya) yang berarti bersifat analitik dan logis. Dari konsep ini maka dapat diketahui bahwasannya Nyaya menekankan pada aspek logika dan nalar dengan pendekatan ilmiah dan realisme. Nyaya merupakan alat utama untuk meyakini sesuatu dengan penyimpulan yang tak terbantahkan, yang dilalui dengan pengujian dengan berbagai argumentasi dan melewati berbagai perbantahan sehingga membentuk suatu keyakinan yang penuh. Selanjutnya sistem Nyaya mengemukakan ada 16 pokok pembicaraan (padartha) yang perlu diamati dengan teliti, yaitu : pramana, prameya, samsaya, prayojana, drstanta, siddhanta, awayaya, tarka, nirnaya, wada, jalpa, witanda, hetwabhawa, chala, jati, dan nigrahastana. Penjelasan singkat dari setiap padartha ini adalah sebagai berikut :
a.      Pramana adalah suatu jalan untuk mengetahui sesuatu secara benar.
b.      Prameya adalah sesuatu yang berhubungan dengan pengetahuan yang benar atau obyek dari pengetahuan yang benar, yaitu kenyataan.
c.        Samsaya atau keragu-raguan terhadap suatu pernyataan yang tidak pasti. Keragu-raguan ini terjadi karena pandangan yang berbeda terhadap suatu obyek, sehingga pikiran tidak dapat memutuskan tentang wujud obyek itu dengan jelas.
d.      Prayojana yaitu akhir penglihatan seseorang terhadap suatu benda yang menyebabkan kegagalan aktivitasnya untuk mendapatkan benda tersebut.
e.       Drstanta atau suatu contoh yang berasal dari fakta yang berbeda sebagai gambaran yang umum. Hal ini biasa digunakan dan diperlukan dalam suatu diskusi untuk mendapatkan kesamaan pandangan.
f.        Siddhanta atau cara mengajarkan sesuatu melalui satu sistem pengetahuan yang benar. Sistem pengetahuan yang benar adalah sistem Nyaya yang mengajarkan bahwa Atman atau jiwa itu adalah substansi yang memiliki kesadaran yang berbeda dengan hal-hal yang bersifat keduniawian.
g.       Awaya atau berfikir yang sistematis melalui metode-metode ilmu pengetahuan. Berfikir yang sistematis akan melahirkan suatu kesimpulan yang dapat diterima oleh rasio dan mendekati kenyataan.
h.       Tarka atau alasan yang dikemukakan berdasarkan suatu hipotesa untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang benar. Ini adalah suatu perkiraan, sehingga kadang kala kesimpulan yang diperoleh bertentangan atau mendekati kenyataan yang sebenarnya.
i.         Nirnaya adalah pengetahuan yang pasti tentang sesuatu yang diperoleh melalui metode ilmiah pengetahuan yang sah.
j.         Wada adalah suatu diskusi yang didasari oleh perilaku yang baik dan garis pemikiran yang rasio untuk mendapatkan suatu kebenaran.
k.      Jalpa adalah suatu diskusi yang dilakukan oleh suatu kelompok yang hanya untuk mencapai kemenangan atas yang lain, tetapi tidak mencoba untuk mencari kebenaran.
l.         Witanda adalah sejenis perdebatan dimana lawan berdebat itu tidak mempertahankan posisi tetapi hanya melakukan penyangkalan atas apa yang dikatakan oleh lawan debatnya itu.
m.    Hetwabhasa adalah suatu alasan yang kelihatannya masuk akal tetapi sebenarnya tidak atau dapat diartikan sebagai suatu kesimpulan yang salah.
n.       Chala adalah suatu penjelasan yang tidak adil dalam suatu usaha untuk mempertentangkan suatu pernyataan antara maksud dan tujuan,jadi sesuatu yang perlu dipertanyakan.
o.       Jati adalah suatu jawaban yang tidak adil yang didasarkan pada analogi yang salah.
p.      Nigrahasthana adalah sesuatu kekalahan dalam berdebat.
Nyaya darsana yang bertindak pada garis ilmu pengetahuan, menghubungkan Vaisesika pada tahapan dimana materi-materi spiritual (adhyatmika) seperti: jiwa (roh pribadi), jagat (alam semesta), Isvara (Tuhan), dan Moksa (pembebasan), yang disbut Apawarga oleh Vaisesika. Nyaya dan Vaisesika mempercayai Tuhan yang berpribadi, kejamakan dari roh dan alam semesta yang berupa atom-atom. Nyaya Darsana mendiskusikan kebenaran mendasar melalui bantuan 4 cara pengamatan (Catur Pramana) :
a.         Pratyaksa pramana
Pratyaksa pramana atau pengamatan secara langsung melalui panca indriya dengan obyek yang diamati, sehingga memberi pengetahuan tentang obyek-obyek, sesuai dengan keadaannya.Pratyaksa pramana terdiri dari 2 tingkat pengamatan, yaitu :
a)     Nirwikalpa pratyaksa (pengamatan yang tidak menentukan) pengamatan terhadap suatu obyek tanpa penilaian, tanpa asosiasi dengan suatu subyek.
b)     Savikalpa pratyaksa (pengamatan yang menentukan) pengamatan terhadap suatu obyek dibarengi dengan pengenalan cirri-ciri, sifat-sifat dan juga subyeknya.
b.        Anumana pramana
Anumana pramana merupakan hasil yang diperoleh dengan adanya suatu perantara diantara subyek dan obyek, dimana pengamatan langsung dengan indra tidak dapat menyimpulkan hasil dari pengamatan. Perantara merupakan suatu yang sangat berkaitan dengan sifat dari obyek.Proses penyimpulan melalui beberapa tahapan, yaitu :
a)     Pratijna : memperkenalkan obyek permasalahan tentang kebenaran pengamatan.
b)     Hetu : alasan penyimpulan
c)      Udaharana : menghubungkan dengan aturan umum itu dengan suatu masalah.
d)     Upanaya : pemakaian aturan umum pada kenyataan yang dilihat.
e)     Nigamana : penyimpulan yang benar dan pasti dari seluruh proses sebelumnya.
c.          Upamana pramana
Upamana pramana  merupakan cara pengamatan dengan membandingkan kesamaan-kesamaan yang munkin terjadi atau terdapat dalam suatu obyek yang di amati dengan obyek yang sudah ada atau pernah diketahui.
d.        Sabda pramana
Sabda pramana merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui kesaksian dari orang-orang yang dipercaya kata-katanya, ataupun dari naskah-naskah yang diakui kebenarannya. Kesaksian terdiri dari 2 jenis :
a)     Laukika sabda : kesaksian yang didapat dari orang-orang terpercaya dan kesaksiannya dapat diterima akal sehat,
b)     Vaidika sabda : kesaksian yang didasarkan pada naskah-naskah suci Veda sruti.
Tuhan, Jiwa dan Alam Semesta
Dalam konsep Nyaya, seluruh perbuatan manusia di dunia menghasilkan buah dari perbuatan yaituadrsta. Adrsta berada dibawah pengawasan langsung dari Tuhan, dan sekaligus berperan pada nasib setiap individu. Tuhan merupakan kepribadian yang terbebas dari pengetahuan palsu (mithya jnana), kesalahan (adharma), kelalaian (pramada). Beliau adalah esa memiliki pengetahuan abadi (nitya jnana), kehendak kegiatan (iccha kriya), beliau pula bersifat meresapi segala (wibhu). Jiwa merupakan keberadaan nyata yang keseluruhan dan kesatuannya abadi. Sifat-sifat jiwa adalah keengganan, kemauan, kesenangan, derita, kecerdasan, dan intuisi. Obyek yang menyatakan ‘aku’ adalah jiwa, dan ia bersifat abadi walau badannya telah hancur. Alam semesta merupakan gabungan atom-atom yang abadi (paramanu), yang terdiri dari unsur-unsur fisik, yaitu : tanah (prthiwi), air (apah), api (tejas), dan udara (vayu). Didalam usahanya untuk mengetahui dunia ini, pikiran dibantu oleh indriya. Karena pendiriannya yang demikian, maka sistem Nyaya disebut sistem yang realistis. Menurut Nyaya tujuan hidup tertinggi adalah kelepasan yang akan dicapai melalui pengetahuan yang benar. Apakah pengetahuan itu benar atau tidak hal itu tergantung dari alat-alat yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan tadi.
B. Metafisika Nyaya
Dalam metafisika Nyaya membicarakan tentang terjadinya alam semesta dan ketuhanan dalam ajaran Nyaya. Alam semesta menurut Nyaya terjadi dari gabungan atom-atom catur bhuta yaitu tanah, air, udara, dan api serta ditambah dengan akasa, waktu dan ruang yang merupakan substansi yang abstrak. Tuhanlah yang menciptakan alam semesta beserta isinya dengan menggabungkan atom-atom catur bhuta dengan substansi yang abstrak itu. Tuhan bukan saja sebagai pencipta tetapi juga sebagai pemelihara dan pelabur alam semesta. Tujuan diciptakan alam semesta ini menurut Nyaya adalah untuk tempat sang jiwa menikmati karmawasananya yang berupa kedukaan dan kesenangan. Keberadaan Tuhan oleh Naiyayikas disebutkan bahwa Tuhan bersifat pribadi atau imanen dalam artian wujud Tuhan dapat ditangkap oleh pikiran, perasaan dan dapat diberi atribut. Dengan adanya Tuhan sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur semua ini termasuk sifat Tuhan yang berpribadi (Personal God). Untuk meykinkan tentang keberadaan Tuhan itu Nyaya menunjuk beberapa bukti tentang hal tersebut yaitu; adanya sebab dan akibat, adanya adrsta, dan adanya pernyataan dari kitab suci Weda. Semua yang ada didunia ini merupakan akibat yang sebabnya adalah Tuhan. Adanya perbedaan nasib seseorang di dunia ini disebabkan oleh pahala perbuatan dari suatu kehidupan ke kehidupan yang lain yang mesti mereka nikmati, semua ini merupakan adrsta, pernyataan kitab suci Weda yang dipandang sebagai wahyu Tuhan adalah sangat meyakinkan bahwa Tuhan itu benar-benar ada, walupun dajam wujud yang sangat rahasia. Semua yang ada di alam semesta ini dan sesudahnya tidaklah dapat dilepaskan dari Tuhan sebagai yang maha tahu, maha kuasa dan maha mulia.
C. Epistemologi Nyaya
Dalam sistem Nyaya ada empat alat untuk mendapatkan pengetahuan yang benar yaitu, pratyaksa, anumana, upamana dan sabda. Pratyaksa atau pengamatan memberi pengetahuan kepada kita tentang sasaran yang diamati menurut ketentuan dari sasaran itu masing-masing. Umpamanya, pohon itu tinggi, bola itu bulat dan sebagainya. Pengetahuan semacam itu ada karena adanya hubungan indriya dengan sasaran yang diamati. Pengamatan dapat pula terjadi tanpa pertolongan indria, hal semacam ini disebut pengamatan yang bersifat transenden. Pengamatan transenden hanya dimiliki oleh yogi yang sempurna yoganya, dengan demikian ia memiliki kekuatan gaib yang memungkinkan ia dapat berhadapan dengan sasaran yang membatasi indriya. Pengamatan ada dua macam yaitu nirwikalpa dan sawikalpa. Nirwikalpa ialah pengamatan yang hanya sebagai sasaran tanpa penilaian, sedangkan sawikalpa ialah pengamatan yang disertai dengan penilaian. Sesuatu yang diamati bukan saja sifat-sifatnya, jenisnya, bahkan juga hal yang tidak berada (abhawa). Anumana adalah pengetahuan yang diperoleh dengan penyimpulan. Pengetahuan yang diperoleh melalui anumana memerlukan sesuatu yang berada diantara yang mengamati dan sasaran yang diamati. Dengan kata lain pengetahuan dari anumana memerlukan bantuan pengetahuan lain, tanpa itu tidak mungkin ia dapat mengenukakan suatu kebenaran. Tujuan dari kesimpulan yang diambil adalah untuk meyakinkan orang lain atau diri sendiri. Upamana adalah alat pengetahuan yang menyebabkan seseorang tahu adanya kesamaan antara dua hal. Perbandingan menghasilkan pengetahuan tentang adanya hubungan nama dengan sasaran yang diberi nama itu. Sabda atau kesaksian merupakan pramana keempat dari Nyaya. Kesaksian ada dua macam yaitu kesaksian manusia atau laukika dan kesaksian waidika atau Weda. Diantara kedua kesaksian ini, kesaksian Weda dipandang sebagai yang paling sempurna dan tidak dapat salah. Disamping pramana ada pula yang disebut dengan apramana yaitu, smrti(ingatan), samsaya(keragu-raguan), bhrama atau wiparyaya (kesalahan), dan tarka (hipotesa). Yang menjadi obyek dari pengetahuan yang benar itu adalah jiwa atau Atman, badan, indriya, budhi, pikiran (manas), perasaan, dosa (perbuatan yang tidak baik), pratyabhawa (kelahiran kembali), phala (buah perbuatan), dukha (penderitaan) dan apawarga (bebas dari penderitaan).
D.  Relevansi Etika Nyaya Dalam Kehidupan
Dalam etikanya Nyaya mengajarkan agar seseorang berbuat baik dalam hidupnya sehingga dengan demikian akan terwujud hidup yang harmonis. Mengenai ajaran ini telah diwujudkan melalui pelaksanaan Tri Hita Karana yang pembagiannya adalah parhyangan, pawongan dan palemahan. Parhyangan merupakan hubungan yang harmonis dengan Tuhan. Hal ini diwujudkan dengan dibangunnya tempat suci untuk melakukan pemujaan terhadap Tuhan yang maha esa / Ida Sang hyang Widhi Wasa yang disebut dengan Pura. Hubungan yang harmonis juga dilakukan dengan pemujaan melalui upacara yang dilaksanakan. Pawongan merupakan hubungan harmonis yang dilakukan antara manusia dengan manusia. Wujudnya adalah dengan pembentukan organisasi Desa Pekraman, Sekaa Teruna dan sekaa-sekaa yang lainnya yang merupakan wadah untuk melakukan interaksi antar manusia di Bali. Hal lain yang dilakukan sebagai wujud dari pawongan adalah adanya tradisi suka-dukha. Palemahan merupakan hubungan harmonis yang dilakukan oleh manusia dengan lingkungan/alam. Wujudnya adalah dengan adanya penyelenggaraan tumpek wariga, dimana tumpek ini merupakan hari untuk melaksanakan upacara penghormatan terhadap tumbuh-tumbuhan. Nyaya mengakui adanya Atman atau jiwa perorangan yang jamak,dan suci, tetapi setelah mereka berhubungan dengan tubuh dan dunia ini maka terjadilah karma wasana. Karmawasana ini akan dinikmati dalam hidup di dunia ini yang berupa kesengsaraan dan kesenangan. Maka atas dasar itulah dunia ini diciptakan dengan tujuan agar jiwa perorangan dapat menikmati pahala dari karma yang baik dan buruk sesuai dengan perbuatannya masing-masing. Tujuan tertinggi dari ajaran Nyaya adalah untuk mencapai kebebasan atau kelepasan. Jalan yang ditempuh untuk sampai kepada hal tersebut adalah melalui upacara keagamaan yang sesuai dengan petunjuk kitab suci Weda, perilaku yang baik dan meditasi kepada Tuhan. Kebebasan dapat pula dicapai semasih manusia hidup di dunia yang disebut dengan mukti, tetapi kebebasan yang mutlak akan dicapai setelah Atman atau jiwa meninggalkan badan jasmani. Hanya dengan perilaku yang baik, melakukan upacara keagamaan dan meditasi seseorang akan melepaskan diri dari Mithya jnana yaitu kebodohan terhadap kebenaran, raga, dvesa, dan moha yang muncul dari pikiran. Maka dari itu pikiran harus selalu diawasi dan disucikan. Upacara keagamaan ini sangat relevan di Bali. Hal ini dapat dilihat dari cara-cara masyarakat Bali yang beragama Hindu dalam mendekatkan diri dengan Tuhan adalah melalui upacara yadnya. Upacara yadnya yang dilaksanakan di Bali terbagi atas lima macam yadnya yang disebut dengan panca yadnya. Pembagian dari panca yadnya ini yaitu ; Dewa yadnya, yaitu korban suci secara tulus iklas kehadapan Tuhan ; Pitra yadnya, yaitu korban suci secara tulus iklas kepada para leluhur ;Rsi yadnya, yaitu korban suci secara tulus iklas yang ditujukan kepada guru spiritual ;manusa yadnya, yaitu korban suci secara tulus iklas yang ditujukan kepada sesama manusia ;Bhuta yadnya,yaitu korban suci secara tulus iklas kepada para bhuta ( kekuatan alam, dan mahluk yang derajatnya dibawah manusia).

5. Filsafat Vaisesika
Waisesika muncul pada abad ke-4 SM, System ajaran filsafat ini dipelopori oleh Maharsi Kanada. Adapun sebagai sumber ajarannya adalah waisesikasutra karangan Maharsi Kanada Sendiri yang merupakan sumber dari dengan Nyaya, sehingga banyak para filosof  menyebutnya Nyaya-Waisesika. Tujuan pokok filsafat waisesika bersifat metafisis. Isi pokok ajarannya menjelaskan tentang dharma yaitu apa yang memberikan kesejahteraan didunia ini dan yang memberikan kelepasan yang menentukan. Waisesika mengambil pengertian dasar filsafat tradisional tentang ruang, waktu, sebab, materi, pikiran, jiwa dan pengetahuan, mengeksplorasi arti bagi pengalaman dan menyusun hasilnya menjadi sebuah teori tentang alam semesta. sistem waisesika memiliki tujuan untuk menganalisis pengalaman. Sistem  filsafat vaisesika mengambil nama dari  kata Visesa yang artinya  kekhususan,  yang merupakan ciri-ciri pembeda dari benda-benda. Jadi pokok permasalahan yang diuraikan didalamnya dalah  kekhususan  Padartha.
Vaisesika merupakan salah satu aliran filsafat India yang agaknya lebih tua dibandingkan dengan filasafat Nyaya-Vaisesika, fiolasafat ini muncul pada abad ke 4 SM, denagn tokohnya ialah Kananda (ulaka). Buah karyanya adalah Vaisesika Sutra yang merupakan sumber dari ajaran Vaisesika. Secara umum Vaisesika membicarakan soal dharma yaitu apa yang memberikan kesejahteraan di dunia ini dan dapat emmberikan kelepasan. Ajarannya yang terpenting ialah tentang kategori (unsur) yang menjadikan segala sesuatu yang ada di alam ini. Vaisesika menyatakan ada tujuh unsur (kategori) yang menjadikan alam ini yaitu:
a)      Subtansi (drawya)
Subtansi adalah zat yang ada dengan sendirinya dan bebas dari pengaruh unsur-unsur lain. Namun unsur lain tidak dapat ada tanpa subtansi. Subtansi (drawiya) dapat menjadi sebab yang melekat pada apa yang dijadikannya. Atau drawiya dapat menjadi tidak ada pada apa yang dihasilkannya.
Contoh: tanah sebagai subtansi telah terdapat pada periuk yang terjadi dari tanah. Jadi, tanah itu selalu dan telah ada pada apa yang dihasilkannya, sedangkan periuk itu tidak dapat terjadi tanpa subtansi (tanah). Hal ini berlaku pada semua subtansi. Ada Sembilan subtansi yang dinyataklan oleh Vaisesika yaitu[1][10]:
·         Bumi (tanah)                               
·         Api (panas)
·         Air (zat cair)
·         Udara (hawa)
·         Akasa (ether)
·         Waktu (kala)
·          Ruang (tempat)
·          Akal (manas)
·         Pribadi (jiwa(atma)
Semua subtansi tersebut diatas, riil, tetap, dan kekal, namun hanya hawa, waktu, dan akasa bersifat tak terbatas. Kombinasi dari sembilan subtansi itulah membentuk alam semesta beserta isinya menjadikan hukum-hukumnya yang berlaku terhadap semua yang ada di ala mini baik bersifat physic maupun yang bersifat rohaniah. Pandangan Vaisesika terhadap jiwa jiwa adalah riil dan pluralis yaitu jiwa itu benar-benar ada dan tak terbatas jumlahnya. Pandangan terhadap dunia Vaisesika menyatakan bahwa dunia dengan segala isinya terjadi dari kumpulan atom-atom yang riil dan tetap.
b)      Kwalitas (guna)
Guna ialah keadaan atau sifat dari suatu subtansi. Guna sesungguhnya nyata dan terpisah dari benda (subtansi) namun tidak dapat dipisahkan secara mutlak dari subtansi yang diberi sifat. Pada subtansi terdapat lima kwalitas kebendaan yaitu: bau, rasa, warna, raba, dan rasa. Sedangkan kwalitas rohaniah terdiri dari duapuluh empat kwalitas yakni:
1.      Kesenangan         7.  Rasa            13.  Perbedaan                      19. Kepekatan
2.      Kesediha             8.  Bau              14.  Hubungan                      20. Pengetahuan
3.      Keinginan           9.  Sentulan       15.  Kejauhan                       21. Perjuangan
4.      Dharma             10.  Bunyi           16.  Kedekatan/ pertemuan  22. Kecenderungan
5.      Adharma           11.  Bilangan       17.  Tak berhubungan          23. Kesegaran
6.      Warna               12.  Besar             18.  Kecairan                       24. Kebahagiaan
Hubungan kwalitas dengan subtansi sangat erat dan tidak mungkin dipisahkan karena keduanya senantiasa mewujudkan satu kesatuan.
c)       Aktivitas (karma)
Vaisesika meyakini bahwa Tuhan secara anumana. Diyakini bahwa Tuhan adalah maha tahu, menjadi sumber kesadaran tertinggi dan Vaisesika meyakini bahwa Tuhan menciptakan alam ini dengan jalan mengatur komposisi atom-atom yang ada. Karena Tuhan sebagai sumber gerakan alam ini maka Tuhan Maha mengetahui segala gerak dan perilaku benda-benda di ala ini termasuk mengetahui benar perilaku (karma) manusia.
d)      Sifat umum (samanya)
Sifat umum (samaya) ialah sifat terdapat pada sekelompok atom yang sudah tentu berbeda-beda dengan sifat atom lain, seperti sifat kelompok atom air akan berbeda dengan sifat kelompok atom bumi maupun dengan sifat kelompok atom manas. Samaya menyebabkan adanya kelompok-kelompok subtansi yang berbeda-beda di alam ini. Namun disamping sifat umum, maka setiap benda termasuk atom-atom memiliki sifat perorangan yang kekal, yang membedakan satu atom dengan atom lain.
e)      Sifat Perorangan (wisesa)
Sifat perorangan ada banyak dan beraneka ragam karena setiap benda atau orang memiliki sifat tersendiri dan berbeda antara yang satu dengan yang lain. Karena setiap subtansi memiliki wisesa maka, wisesa ini bersifat kekal, oleh karena ala mini terjadi dari subtansiyang kekal.
f)        Pelekatan (samawaya)
Pelekatan juga bersifat kekal dan hanya ada satu yang disebut Samawaya. Pelekatan dikatakan kekal karena pelekatan itu trjadi pada benda-benda yakni pelekatan antara benda (zat) dengan kwalitasnya seperti: api-panas, kapur-putih, tinta-hitam, dan sebagainya. Sifat kelekatan itu hanyalah satu walaupun terdapat pada bermacam-macam subtansi.
g)      Ketidak adaan (abhawa)
Abhawa dikatakan katagori yang bersifat negatif karena abhawa menyatakan ketidak-adaan dari sesuatu. Jadi, abhawa menyebabkan terjadinya sesuatu yakni ketidak-adaan. Abhawa dibedakan atas dua yaitu:
a.       Samsargabhawa adalah ketidak adaan suatu benda karena memang belum pernah dibuat.
b.      Anyonyabhawa adalah ketidak adaan dari suatu benda karena rusak (hancur).

6. Filsafat Wedanta
a.    Pengertian Wedanta
 Wedanta berasal dari kata weda-anta,artinya bagian terakhir dari weda. Kitap Upanishad juga disebut dengan Wedanta, karena kitab-kitab ini mewujudkan bagian akhir dari Weda yang bersifat mengumpulkan. Disamping itu ada tiga faktor yang menyebabkan Upanishad disebut dengan Wedanta yaitu:
a)      Upanishad adalah hasil karya terakhir dari jaman Weda.
b)      Pada jaman Weda program pelajaran yang disampaikan oleh para Resi kepada sisyanya, Upainishad juga merupakan pelajaran yang terakhir. Para Brahmacari pada mulanya diberikan pelajaran shamhita yakni koleksi syair-syair dari zaman weda. Kemudian dilanjutkan dengan pelajaran Brahmana yakni tata cara untuk melaksanakan upacara keagamaan, dan terakhir barulah sampai pada filsafat dari Upanisad.
c)      Upainishad adalah merupakan kumpulan syair-syair yang terakhir dari pada jaman Weda.
Jadi pengertian Wedanta erat sekali hubungannya dengan Upanishad hanya saja kitab-kitab Upanishad tidak memuat uraian-uraian yang sistimatis. Usaha pertama untuk menyusun ajaran Upanishad secara sistimatis diusahakan oleh Badrayana, kira-kira 400 SM. Hasil karyanya disebut dengan Wedanta-Sutra.   
Sebelum Badrayana telah ada orangg-orang yang berusaha menyusun ajaran Upanishad, akan tetapi paling terkenal adalah Badrayana, dalam Bhadgawadgita hasil karya beliau disebut Brahma Sutra.
 Kitab Brahma Sutra/Wedanta Sutra, Upanishad dan Bhagawadgita, ketiga buku tersebut menjadi dasar filsafat Wedanta.
b.    Pokok- Pokok Ajaran Wedanta
Wedanta mengajarkan bahwa nirvana dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini,tak perlu menunggu setelah mati untuk mencapainya.nirvana adalah kesadaran terhadap diri sejati.dan  sekali mengetahui hal itu,walau sekejap,maka seseorang tak akan pernah lagi dapat di perdaya oleh  kabut individualitas.terdapat dua tahap pembedaan dalam kehidupan, yaitu: yang pertama, bahwa orang yang mengetahui diri sejatinya tak akan di pengaruhi oleh hal apapun. Yang kedua bahwa hanya dia sendirilah yang dapat melakukan kebaikan pada dunia
Seperti yang telah disebutkan tadi bahwa filsafat Wedanta bersumber dari Upanishad. Brahma Sutra/Wedanta  Sutra dan Bhadgawadgita. Masing-masing buku tersebut memberikan ulasan isi filsafat itu berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh sudut pandangannya yang berbeda. Walaupun obyeknya sama, tentu hasilnya akan berbeda. Sama halnya dengan orang buta yang merabah gajah dari sudut yangg berbeda, tentu hasilnya akan ber beda pula. Demikian pula halnya dengan filsafat  tentang dunia ini, ada yang memberikan ulasan bahwa dunia ini maya (bayangan saja), dilain pihak menyebutkan dunia ini betul-betul ada, bukan palsu sebab diciptakan oleh Tuhan dari diriNya sendiri. Karena perbedaan pendapat ini dengan sendirinya menimbulkan suatu teka-teki,apakah dunia ini benar-benar ada ataukah dunia ini betul-betul maya.
Hal ini menyebabkan timbulnya penafsiran yangg bermacam-macam pula. Akibat dari penapsiran tersebut menghasilkan aliran-aliran filsafat Wedanta. Secara umum aliran filsafat Wedanta ada tiga ya ng terkenal yakni: aliran Adwaita oleh Sankara, Wasistadwaita oleh Ramanuja dan aliran Dwaita oleh Madhwa.
Pokok dari agama Weda seperti yang tampak pada kitab-kitab Weda itu tetap besar pengaruhnya didalam perkembangan agama Hindu. Tetapi walaupun kitab-kitab Weda itu masih tetap menjadi kitab-kitab tersuci orang-orang Hindu, kitab-kitab itu sudah tidak mempunyai arti yang besar lagi bagi praktek agama. Bahkan di jawa nampaknya kitab-kitab Weda itu tidak pernah dikenal. Bahasa yang digunakan didalam weda-weda itu tak lama kemudian tidak terbaca lagi oleh kebanyakan orang. Oleh karena itu tidak berselang lama sudah ditulis orang berbagai tafsiran(komentar) tentang Weda-Weda itu. Komentar-komentar ini dimulai pada apa yang disebut “Brahmana “.[2][2]
c.      Aliran Filsafat Wedanta
Filsafat ini sangatlah kuno;yang berasal dari kkumpulan literatur bangsa Arya yang dikenal dengan nama Veda. Vedanta ini merupakan bunga diantara semua spekulasi, pengalaman dan analisa yang terbentuk dalam demikian banyak literatur yang dikumpulkan dan dipilih selama berabad-abad. Filsafat vedanta ini memiliki kekhususan. Yang pertama, ia sama sekali impersonal, ia bukan dari seseorang atau Nabi.[3][3]
Sistem filsafat wedanta juga disebut uttara Mimamsa kata”wedanta” berarti”akhir dari weda. Sumber ajarannya adalah kitab upainishad. Maharsi V yasa menyusun kitab yang bernama Wedantasutra. Kitab ini dalam Bhagavad Gita disebut Brahmasutra. Oleh karna kitab Wedanta bersumber pada kitab-kitab Upanishad, Brahmasutra dan Bhagavad Gita, maka sifat ajarannya adalah absolutisme dan teisme. Absolutisme maksudnya adalah aliran yang meyakini bahwa Tuhan yang Maha Esa  adalah mutlak dan tidak berpribadi (impersonal God), sedangkan teisme mengajarkan Truhan yang berpribadi (personal God).
1.      Adwaita
Adwaita artinya “tidak dualisme” maksudnya Adwaita menyangkal bahwa kenyataan ini lebih dari satu (Brahman), walaupun demikian sistim ini bukan bersifat monistis yang mengajarkan bahwa segala sesuatu dialirkan dari satu asas saja, melainkan disamping dari Brahman masih ada Atman yang merupakan sumber kekuatan. Tokoh aliran ini adalah Sankara (788 - 820 M). sankara ragu-ragu akan ketentuan dari Upanisad yang menyatakan bahwa dunia ini menciptakan oleh Brahman, akan tetapi tidak percaya akan keaneragaman di alam ini sebagai yang dianjurkan oleh Ramanuya. Sankara menyatakan ada secara nyata (sat) adalah kekal. Hanya Brahmanlah yang disebut Sat, artinya hanya Brahmanlah yang kekal. Di luar Brahman keadaan adalah a-Sat, artinya di luar Brahman tidak ada sesuatu apapun. Akan tetapi dunia ini Nampak beraneka ragam. Jadi dunia bukanlah sat, dunia ini bukan Brahman. Sankara juga menyatakan bahwa dunia ini bukan a-sat, tidak ada sama sekali. Sebab dunia ini Nampak benar-benar ada, dapat kita amati. Oleh karena itu harus dikatakan bahwa dunia adalah betul-betul ada dan maya, karena tidak kekal. Menurut Sankara bahwa Brahman, disatu pihak sama dengan jiwa perorangan dan dengan dunia, akan tetapi dilain pihak dibedakannya.  
2.      Wasistadwaita
Tokoh filsafat ini ialah Ramanuya (1050-1137), ia menulis buku berjudul Sri Bhasya dan menulis komentar tentang Bhagawadgita. Alirannya disebut Wasistadwaita. Wasistadwaita berasal dari kata wasis dan dwaita, wasis berarti yang diterangkan atau yang ditentukan yaitu oleh sifat-sifatnya. Jadi Brahman yang satu itu diberi keterangan oleh sifat-sifatnya. Menurut Ramanuya adalah bahwa Brahman Jiwadan dunia memang berbeda, tetapi tidak dapat dipisah-pisahka, sekalian ketiga-tiganya adalah kekal.
3.      Dwaita
Tokoh aliran ini adalah Madva (1199-1278), menurut dwaita pokok-pokok ajaran dwaita adalah perbedaan (bheda). Sistim ini disebut juga realistis karena mengakui bahwa dunia ini adalah nyata bukan maya. Akhirnya sistim ini juga bersifat theistis, karena menerima adanya Tuhan yang berdiri sendiri (swatantra) dengan kata lain Madva mengakui/ percaya dengan adanya manifestasi dari Tuhan yang beraneka ragam. Dasar ajaran Madva adalah mengakui adanya kenyataan yang beraneka ragam di dunia ini, semuanya mempunyai ciri dan sifat tersendiri, sehingga menimbulkan perbedaan-perbedaan. Pada prinsipnya perbedaan itu adalah segala sesuatu adalah mempunyai wujud tersendiri. Menurut Madva dunia ini ada lima macam perbedaan, yaitu:
a.       Perbedaan tentang Tuhan dengan Jiwa manusia,
b.      Perbedaan antara Jiwa dengan Jiwa lainnya,
c.       Perbedaan antara Tuhan dengan benda,
d.      Perbedaan antara Jiwa dengan benda,
e.       Perbedaan antara benda yang satu dengan benda yang lainnya.
Tuhan, Jiwa dan benda ketiganya sama-sama kekal adanya, sekalipun demikian hanya Tuhan yang merdeka dan bebas, tidak bergantung kepada siapapun dan apapun.

B.      NASTIKA
Nastika adalah kelompok ini tidak mengakui otoritas Veda sebagai sumber ajarannya. Terdiri dari Carwaka, Jaina, dan Buddha.

1.        ALIRAN CARVAKA
1.          Pengertian Carvaka
Secara etimologi kata Carvaka sendiri berasal dari kata ‘caru’ yang berarti manis dan ‘vak’ yang berarti ujaran, sehingga Carvaka berarti kata-kata yang manis. Carvaka mengajarkan tentang kenikmatan indrawi yang merupakan tujuan tertinggi hidup. Carvaka juga berarti seseorang yang materialis yang mempercayai manusia terbentuk dari materi, dan tidak mempercayai adanya Atman dan Tuhan. Pengetahuan yang valid hanya didapatkan dengan pratyaksa (persepsi), yaitu melalui kontak langsung dengan indriya. Alam hanya terbentuk oleh 4 bhuta elemen zat, yaitu : udara, api, air, dan tanah. Filsafat India aliran Carvaka ini digolongkan dalam aliran materialisme, karena mereka ini menganggap bahwa hanya apa yang bisa dilihat hanya itulah merupakan sumber pengetahuan yang paling dapat dipercaya. Mereka menyatakan bahwa semua apa yang tidak bisa dilihat atau apa yang di dapat hanya dengan mendengar perbandingan saja adalah sumber pengetahuan yang sering menyesatkan. Oleh karena itu tidak bisa dipercaya sepenuhnya. Mereka hanya percaya kepada apa yang dilihat pada waktu dan tempat itu juga. Carvaka memandang bahwa hanya persepsi sajalah satu-satunya pramana atau sumber pengetahuan yang dapat dipercaya.
2. Otoritas Tuhan yang Dipuja aliran Carvaka
 Kaum Carvaka tidak pernah mengenal keberadaan Tuhan mereka menyatakan bahwa unsur-unsur material seperti uadara, api, air dan tanah telah memiliki sifat-sifat yang pasti (Svabhawa). Bahwa dengan sifat dan hukum-hukum pembawaannya sendiri mereka bergabung bersama untuk membentuk dunia ini. Tak diperlukan tangan Tuhan disini. Tak ada bukti bahwa obyek-obyek dunia ini merupakan hasil dari rencana apapun. Mereka dapat dijelaskan lebih rasional sebagai hasil secara kebetulan dari unsure-unsur tersebut. Jelas disini bahwa kaum Carvaka lebih condong pada atheisme. Mereka hanya percaya pada kenyataan positif atau fenomena yang dapat diamati saja.
 3.        Penemu Aliran atau Fisafat Carvaka
Filsafat Carvaka didirikan oleh Brhaspati yang ajarannya tertuang dalam Brhaspati Sutra. Pandangan ini didasarkan pada kenyataan-kenyataan berikut: Beberapa buah puji-pujian Weda. Yang secara tradisi dilukiskan Brhaspati sebagai putra loka ditandai oleh semangat revolusi dan kebebasan berfikir. Bahwa dalam kitab Mahabrata dan dimanapun juga pandangan materialistis dikatakan Brhaspati. Bahwa kira-kira selusin sutra dan seloka dikutip dan diambil sebagai refrensi oleh berbagai penyusun yang berbeda-beda sebagai ajaran materialistic dari Brhaspati. Sumber sastra aliran Carvaka adalah Brhaspati sutra, ada dijelaskan mengenai pembebasan. Dimana dalam pembebasan itu berarti pembebasan sepenuhnya dari segala penderitaan hanya berarti kematian (‘Maranam eva apavargah’- Brhaspati Sutra). Mereka yang mencoba untuk mencapai keadaan bebas dari kesenangan dan penderitaan dalam kehidupan ini dengan menekan keinginan yang dialami secara ketat dengan berfikir bahwa segala kesenangan yang muncul dari pemuasannya bercampur dengan penderitaan, telah bertindak seperti orang-orang tolol. Karena, tak seorang bijaksanapun akan menolak daging buah hanya karena ada kulit kerasnya. Kita hendaknya jangan melepaskan kesempatan menikmati kehidupan ini, dan berharap dengan sia-sia akan menikmati kehidupan nantinya. ‘lebih baik seekor burung merpati sekarang ini ketimbang burunng merak besok paginya’. ‘sekeping uang receh yang pasti ada ditangan lebih baik ketimbang kepingan uang emas yang meragukan perolehannya’. ‘siapakah yang sedemikian bodoh mempercayakan pengelolaan uangnya ditangan orang lain’. (Kama Sutra bab 2). Karena itu tujuanmkehidupan manusia adalah untuk mencapai kesenangan sebanyak mungkin. Kehidupan yang baik adalah yang membawa pada keseimbanagan, kesenangan dan kegiatan yang buruk adalah yang memberikan penderitaan lebih banyak ketimbang kesenangannya. Oleh karenanya ini dapat disebut hedonism atau teori bahwa kesengan adalah tujuan tertinggi.
4.         Inti Aliran atau Filsafat Carvaka
            Filsafat Carwaka yang merupakan reaksi atas otoritas Weda mengatakan tidak ada surga, tidak ada neraka, tidak ada Tuhan. Tidak ada reinkarnasi. Kita hanya memiliki satu kelahiran, yaitu saat ini. Dengan hanya menerima logika sebagai sumber pengetahuan, carwaka menolak kehadiran Tuhan. Tuhan dan Weda adalah imajinasi para pendeta, untuk menghaturkan sesaji, dan membuat orang-orang patuh dengan adanya hukuman bagi mereka yang tidak percaya. Filsafat Carwaka menolak otoritas Weda, kemudian mengungkap ketidak konsistenan ketika disatu kesempatan ajaran Weda mengajak umat menghindari kekerasan, tapi disisi lain mengorbankan binatang untuk mencapai kemulian. Aliran Carvaka yang selalu menganggap kenikmatan indrawi yang merupakan tujuan tertinggi hidup. Carwaka juga berarti seorang materialis yang mempercayai manusia terbentuk dari materi, dan tidak mempercayai adanya atman dan Tuhan, membuat aliran Carvaka ini memiliki beberapa inti ajran atau otoritas aliran Carvaka yaitu:
a)          Dunia Terbentuk Dari Empat Unsur
Dengan menganggap sifat-sifat dari dunia material, kebanyakan para pemikir India lain berpendapat bahwa ia tersusun atas lima unsur (panca maha bhuta), yaitu: ether (akasa), udara (vayu), api (agni), air (apah) dan tanah (ksiti). Tetapi kaum carvaka menolak anggapan tersebut, karena unsur ether keberadaannya tidak dapat dirasakan. Mereka menganggap bahwa dunia material ini hanya tersusun atas empat unsur saja, yaitu : udara, api, air, dan tanah yang semuanya dapat dirasakan. Bukan hanya obyek-obyek material mati saja, tetapi organisme hidup seperti tumbuh-tumbuhan dan badan binatang, semuanya tersusun dari empat unsur yang berkombinasi sehingga mereka dapat hidup dan yang nantinya terurai kembali ketika mati.
b)                 Tak Ada Yang Namanya Jiva/Roh
Kaum Carvaka tidak percaya akan adanya roh/ jiwa, karena mereka tak melihat dan merasakan adanya roh/ jiwa. Jika seseorang menyatakan “saya gemuk”, “saya pincang”, “saya buta” dan sebagainya semuanya ini bertalian dengan badan yang terbuat dan terjadi dari material. Ketika ada pertanyaan mungkinkah kumpulan dari benda – benda materi itu menjelmakan sesuatu yang hidup? Mereka menjawab bahwa sifat-sifat tersebut aslinya tak ada pada setiap komponen, namun akan segera muncul apabila komponen-komponen tersebut menyatu. Umpamanya: daun sirih, kapur, gambir, pinang, tak satu pun dari padanya asalnya berwarna merah, namun secara bersama-sama mereka akan menghasilkan warna merah bila ditumbuk atau dikunyah jadi satu. Atau, benda yang sama pun dalam kondisi berbeda dapat menimbulkan sifat yang berbeda dengan aslinya. Umpamanya, gula tebu yang aslinya manis tak beralkohol akan menjadi beralkohol apabila ia dibiarkan berfermentasi. Berhubung adanya kemungkinan demikian, dengan cara yang sama kita dapat berpikir bahwa unsur-unsur material yang berkombinasi dalam cara khusus akan menimbulkan sesuatu benda hidup. Karena ketidak percayaan mereka akan adanya roh/jiwa maka sudah sewajarnya mereka tidak percaya akan adanya kehidupan masa lalu, kehidupan nanti, kelahiran kembali, menikmati buah perbuatan di surga atau neraka semuanya tidak ada artinya sama sekali. Dan oleh karena itu pula mereka tidak berusaha untuk hidup secara baik, dan bermoral tinggi, karena mereka tidak percaya akan adanya phala (hukuman) setelah mereka mati. Bagi kaum Carvaka kematian dari badan adalah akhir dari segalanya.
c)                  Tak Ada Tuhan
Tuhan yang keberadaannya  tak dapat dipersepsikan, tak jauh berbeda dengan keberadaan roh/jiva tadi. Kaum Carvaka menyatakan bahwa unsur-unsur material itu sendiri telah memiliki sifat-sifat yang pasti (svabhava). Bahwa dengan sifat dan hukum-hukum pembawaannya sendiri mereka bergabung bersama untuk membentuk dunia ini. Tak diperlukan tangan Tuhan disini. Tak ada bukti bahwa obyek-obyek dunia ini merupakan hasil dari rencana apapun. Mereka dapat dijelaskan lebih rasional sebagai hasil secara kebetulan dari unsur-unsur tersebut. Jelas disini bahwa kaum Carvaka lebih condong pada atheisme. Karena sejauh ini teori carvaka mencoba untuk menjelaskan dunia hanya dengan sifatnya saja, maka ia kadang-kadang disebut natularisme (svabhava-vada). Ia juga disebut mekanisme (yadrcch-vada), karena menolak keberadaan keperluan sadar dibalik dunia ini dan menjelaskannya sebagai kombinasi unsur-unsur secara kebetulan atau mekanikal saja. Teori Carvaka secara keseluruhan juga dapat disebut positifisme, karena ia hanya percaya pada kenyataan positif atau penomena yang dapat diamati saja. 
d)                 Pandangan Macrokosmos dan Microkosmos Ajaran Carvaka
Tuhan yang maha segalanya mengetahui perbedaan karakter, watak, tabiat dan kecerdasan setiap ciptaan-Nya. Oleh karena guna dan karmanya, ada orang yang dilahirkan dengan kondisi serba kekuarangan, lemah secara fisik dan mental serta bodoh secara spiritual dan material. Ada juga yang dilahirkan dengan kecerdasan ekstra, dengan mudah dapat mengerti semua kitab suci dan sadar akan adanya Tuhan dengan sendirinya. Ajaran Carvaka didalam pandangan Macrokosmos ini mereka hanya menggangap Veda adalah sebuah imajinasi seorang Pendeta. Jadi dalam ajaran Carvaka ini lebih menekankan bahwa Microkosmos itu tercipta dengan unsure-unsur material tanpa adanya campur tangan dari Sang Pencipta.
e)                 Ajaran Etika dalam Ajaran Carvak
Inti ajaran Hindu dikonsepkan kedalam “Tiga Kerangka Dasar” dan “Panca Sradha”. Tiga kerangka dasar tersebut terdiri dari Tattwa (Filsafat) Susila (Etika) Upacara (Yadnya).        Ajaran Hindu kaya akan Tattwa atau dalam ilmu modern disebut filsafat , secara khusus filsafat disebut Darsana. Dalam perkembangan agama Hindu atau kebudayaan veda terdapat Sembilan cabang filsafat yang disebut Nawa Darsana. Pada masa Upanishad , akhirnya filsafat dalam kebudayaan veda dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu astika (kelompok yang mengakui veda sebagai ajaran tertinggi) dan nastika ( kelompok yang tidak mengakui Veda ajaran tertinggi ). Terdapat enam cabang filsafat yang mengakui veda yang disebut Sad Darsana (Sakhya, Yoga, Mimamsa, Nyaya, Vaisiseka, dan Vedanta ) dan tiga cabang filsafat yang menentang veda yaitu Jaina, Carvaka dan Budha (agama Budha). Secara harfiah susila diartikan sebagai etika . hal-hal yang tekandung yang dikelompokan kedalam susila memuat tata aturan kehidupan bermasyarakat yang pada intinya membahas perihal hukum agama. Mulai dari hukum dalam kehidupan sehari-sehari hingga hukum pidana ( Kantaka Sodhana ) dan hukum perdata ( Dharmasthiya ). Yang dimaksud upacara dalam agama Hindu adalah ritual keagamaan , sarana ritual keagamaan disebut Upakara , upakara di Bali disebut Banten. Upacara ini dapat dikelompok kedalam beberapa bentuk korban suci ( Yajna ) yang disebut Panca Yadnya ( Panca Maha Yadnya ). Ada banyak jenis panca Yadnya tergantung dari kitab mana uraian dari panca yadnya tersebut, artinya meskipun Panca Yadnya sama-sama terdiri dari lima jenis yadnya namun bagian-bagian yang disebutkan berbeda-beda masing – masing uraian kitab suci
5.         Tujuan Akhir Aliran Carvaka
Beberapa aliran filsafat India umpama Mimamsa, percaya bahwa tujuan tertinggi dari manusia adalah mencapai sorga yaitu tempat yang serba sukha yang bisa dicapai dengan Upacara menurut ajaran Weda. Tetapi orang Carwaka menolak teori ini karena Mimamsa itu tidak bisa membuktikan adanya hidup sesudah mati. Surga dan Neraka itu hanyalah buatan para Pendeta untuk memaksa agar rakyat melakukan upacara – upacara. Pendapat Mimamsa itu tidak diakui kebenarannya oleh aliran – aliran filsafat lainnya; karena mereka percaya bahwa tujuan hidup tertinggi adalah Moksa yaitu mendapat tempat dimana semua penderitaan – penderitaan menjadi sirna (hilang). Tetapi golongan Carwaka menentang pendapat ini; karena Moksa berarti terlepasnya jiwa dari belenggu lingkaran lahir mati (incarnasi). Sedangkan Carwaka tidak percaya akan adanya jiwa itu sendiri. Sehingga tidak percaya juga akan adanya Moksa. Surga dan Neraka itu dicapai semasa hidup sekarang ini. Orang – orang Carwaka itu percaya bahwa badan manusia itu sudah terikat oleh perasaan senang ataupun sedih, tidak bisa dilepaskan lagi yang mengakibatkan bertemunya dengan Surga atau Neraka. Yang dapat diusahakan oleh manusia yaitu mempersedikit perasaan sedih/ sakit, karena menghabiskan sama sekali sedih/ sakit sama dengan kematian. Mereka yang mengatakan bahwa Moksa itu bisa dicapai semasih hidup dengan jalan mematikan (menghabiskan) perasaan senang itu adalah manusia tolol. Carwaka percaya bahwa sedih dan senang itu tiada dapat dipisahkan. Tetapi adalah ketololan belaka bila kita membuang semua itu karena takut akan kesedihan. Mereka percaya bahwa hidup mereka adalah untuk hari ini belaka. Maka dengan demikian mereka mencemoohkan orang yang mau dengan harapan untuk mendapatkan kebahagiaan untuk hari depan. Mereka menyatakan lebih baik menjadi burung kecil sekarang daripada menjadi burung merak besok (itupun kalau ada penjelmaan hari esok). Menurut tanggapan Carwaka, tujuan hidup utama/ tujuan tertinggi dari hidup kita ini ialah: Kesenangan. Oleh karena itu, pendapat Carwaka ini di dunia barat dinamai Hedonisme (teori bahwa kesenangan adalah tujuan hidup tertinggi). Hal ini dengan sendirinya bertentangan dengan ideal hidup filsafat lainnya di India, yang percaya bahwa tujuan hidup manusia ada 4 macam:
1) Artha (membutuhkan harta kekayaan).
2) Kama (memenuhi keinginan – keinginan).
3) Dharma (melakukan tugas kebajikan).
4) Moksha (mencapai kebahagiaan yang kekal).
Menurut ini tujuan hidup kaum Carwaka hanyalah Kama belaka sedangkan artha hanya merupakan suatu alat untuk kama atau kekayaan hanyalah alat untuk mencapai kesenangan. Golongan kaum Carwaka ini ada dua yaitu:
1) Durta artinya licik/ tak terpelajar.
2) Susiksita artinya terpelajar.
Kedua – duanya menganggap bahwa kesenangan memang menjadi tujuan hidup, tetapi pengikut – pengikut Susiksita, Carwaka mencapai kesenangan itu dengan mempelajari kesenian – kesenian dan lain – lain sebagainya yang 64 macam cabangnya, salah seorang pengikut Susiksita Carwaka ini ialah Vatsyayana yang mengarang “Kama Sutra”, yaitu ilmu percintaan, yang mengajarkan di samping rasa dan tingkah laku cinta juga filsafat cinta.
Berbeda dengan Dhurta Carwaka yang menganggap bahwa Artha dan Dharma itu semata – mata untuk Kama. Vatsyayana mengajarkan bahwa ketiga tiganya itu harus berkembang dengan harmonis. Ia mengganggap bahwa kesenangan manusia tanpa seni adalah kesenangan ala binatang. Vatsyayana hidup dalam abad – 1 Masehi dan “Kama Sutra” – nya ialah kumpulan dari buku – buku dan tulisan – tulisan dari masa sebelumnya. Aliran filsafat Carvaka punah setelah tahun 1400. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan tertinggi dari aliran Carvaka  adalah mencapai kenikmatan yang sebenar-benarnya di dunia, dan menghindari penderitaan.
2.        Jaina
Filsafat jaina merupakan sistem filsafat yang mengembangkan tradisi atheisme namun spiritual, kata jaina sendiri berarti ‘penakluk spiritual’. Pengikut jaina mempercayai 24 tirthangkara (pendiri keyakinan), tirthangkara pertama adalah Rsabhadeva dan yang terakhir adalah Mahavira. Sistem ini menekankan pada aspek etika yang ketat, yang terutama adalah ahimsa. Jaina mengklasifikasikan pengetahuan menjadi 2, yaitu :
  1. Aparoksa : pengetahuan langsung, terdiri dari avadhi (kemampuan melihat hal-hal yang tidak nampak oleh indra), manahparyaya (telepathi), dan kevala (kemahatahuan).
  2. Paroksa : pengetahuan antara, terdiri dari mati (mencakup pengetahuan perseptual dan inferensial) dan sruta (pengetahuan yang diambil dari otoritas)
Jaina menerima tiga jenis pramana, yaitu pratyaksa (persepsi), anumana (inferensi), dan sruta(otoritas). Jaina meyakini tentang adanya pluralisme roh, terdapat roh-roh sesuai dengan banyaknya tubuh. Tidak hanya roh dalam manusia, binatang, dan tumbuhan, tapi meyakini hingga roh-roh yang ada dalam debu. Roh memiliki kualifikasi tinggi dan rendah, namun semuanya mengalami belenggu dalam pengetahuan yang terbatas. Belenggu dapat dihilangkan dengan :
  1. keyakinan yang sempurna terhadap ajaran guru-guru jaina.
  2. Pengetahuan benar dalam ajaran-ajaran tersebut.
  3. Perilaku yang benar. Perilaku ini meliputi, tidak menyakiti dan melukai seluruh mahluk hidup, menghindari kesalahan mencuri, sensualitas, dan kemelekatan objek-objek indriya.
Dengan tiga hal tersebut maka perasaan akan dikendalikan, dan karma yang membelenggu roh akan hilang, hingga roh mencapai kesempurnaan alamiahnya yang tak terbatas. Jaina tidak mempercayai dengan adanya Tuhan, para tirthangkara menggantikan tempatNya. Jaina mengenal lima disiplin spiritual, yang terdiri dari :
  1. Ahimsa (non kekerasan)
  2. Satya (kebenaran)
  3. Asteya (tidak mencuri)
  4. Brahmacarya (berpantang dari pemenuhan nafsu, baik pikiran, kata-kata, dan perbuatan)
  5. Aparigraha (kemelekatan dengan pikiran, kata-kata, dan perbuatan)
3.         Buddha
Filsafat Buddha lahir dari ajaran-ajaran Buddha Gautama pada abad 567 sm, ajarannya dapat dikatakan bersifat atheisme dan spiritual. Buddha menekankan pada etika, cinta kasih, persaudaraan, menolak sistem kasta (penympangan sistem Varna), dan menolak otoritas Weda dan pelaksanaan yajna. Tujuan akhir perjalanan hidup manusia adalah nirwana, bukan sebagai karunia Tuhan dan Dewa-Dewa, namun diperoleh melalui usaha diri sendiri. Pencerahan yang didapatkan oleh Sidharta Gautama meliputi empat kebenaran utama (catvari arya-satyani), yaitu :
  1. Kebenaran bahwa ada penderitaan.
  2. Kebenaran bahwa ada penyebab penderitaan.
  3. Kebenaran bahwa ada penghentian penderitaan.
  4. Kebenaran bahwa ada yang menghilangkan penderitaan.
Ajaran Buddha sering pula disebut dengan ‘jalan tengah’ (madhyama marga), ajaran-ajaran pokoknya dibukukan dalam tiga kitab suci (tripitaka yang berarti tiga keranjang pengetahuan), yang terdiri dari : Vinaya pitaka yang membahas tata laksana bagi masyarakat umum, Sutta pitaka yang membahas upacara-upacara dan dialog berkaitan dengan etika, dan Abhidhamma pitaka yang berisi eksposisi teori-teori filsafat Buddha. Kebenaran bahwa ada yang menghilangkan penderitaan, terdiri dari 8 jalan utama, yaitu :
  1. Pandangan yang benar (samyagdrsti)
  2. Determinasi yang benar (samyaksamkalpa)
  3. Perkataan yang benar (samyalgwak)
  4. Perilaku yang benar (samyakkarmanta)
  5. Cara hidup yang benar (samyagajiva)
  6. Usaha yang benar (samyagvyayama)
  7. Sikap pikiran yang benar (samyaksmrti)
  8. Konsentrasi yang benar (samyaksamadhi)
Doktrin Buddha tidak mengakui eksistensi Atman dan Tuhan, namun mengadopsi bentuk keyakinan seperit hukum karma, reinkarnasi, dan pembebasan (nirwana).

KESIMPULAN
1.        Pengertian  ilmu dan filsafat.
a.      Ilmu adalah suatu sarana yang menjadikan manusia sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman dari berbagai segi kenyataan dalam alam ini dan segala sesuatu yang ada dalam dunia ini agar manusia menjadi tahu dan mendapatkan pengetahuan lebih luas.
b.      Filsafat  adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang  mengenai kehidupan yang bersikap sadar dan dewasa dalam segala sesuatu secara mendalam dan keinginan untuk melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan dalam kehidupan. 
2.       Perbedaan ilmu dan filsafat
a.      Ilmu:
·         Segi-segi yang dipelajari dibatasi agar dihasilkan rumusan- rumusan yang pasti.
·         Obyek penelitian yang terbatas
·         Tidak menilai obyek dari suatu sistem nilai tertentu
·         Bertugas memberikan jawaban
b.      Filsafat:
·         Tidak membatasi segi pandangannya
·         Obyek penelitian yang tidak terbatas
·         Menilai obyek renungan dengan suatu makna.
·         Bertugas mengintegrasikan ilmu-ilmu
3.       Filsafat Darsana
Filsafat Darsana merupakan suatu pandangan tentang kebenaran yang di dalamnya terdiri dari berbagai pandangan yang setiap pandangan memiliki definisi dan pembenarannya masing-masing. Di sini, jika seorang tidak memahami arti dari sebuah pandangan maka akan timbul keraguan dan kebingungan dalam memberikan pemahaman dan pengetahuan kepada dirinya sendiri dan orang lain. Keraguan-keraguan seperti ini tentunya juga akan terjadi pada setiap umat Hindu yang mengetahui dan membaca ajaran agama Hindu. Setiap aliran filsafat Darsana di atas yang termasuk dalam kelompok Astika maupun Nastika memiliki tokoh-tokoh pendiri dan penekanan ajaran yang berbeda, lebih jelasnya dipaparkan berikut ini:
A.   Bagian Astika, kelompok filsafat darsana yang mengakui sepenuhnya otoritas Weda.
1.        Nyaya, pendirinya adalah Gotama dan penekanan ajarannya pada aspek logika.
2.       Vaisasika, pendirinya adalah Kanada dan penekanannya ajarannya pada pengetahuan yang dapat menuntun seseorang untuk merealisasikan sang diri.
3.       Samkhya, menurut tradisi pendirinya adalah Kapila dan penekanan ajarannya tentang proses perkembangan dan terjadinya alam semesta.
4.       Yoga, pendirinya adalah Patanjali dan penekanan ajarannya adalah pada pengendalian jasmani dan pikiran untuk mencapai samadhi.
5.       Mimamsa, pendirinya adalah Jaimini dengan penekanan ajarannya pada pelaksanaan ritual dan susila menurut konsep Weda.
6.       Vedanta, kata ini berarti akhir Weda. Vedanta merupakan puncak dari filsafat India. Pendirinya adalah Sankara, Ramanuja dan madhawa, penekanan ajarannya yaitu pada hubungan Atman dengan Brahman dan tentang kelepasan.
B.   Bagian Nastika, kelompok filsafat darsana yang tidak mengakui sepenuhnya otoritas Weda.
7.    Carwaka, pendirinya ialah Bhagawan Wrhaspati dengan penekanan ajarannya pada aspek material sebagai tujuan hidup tertinggi dan tidak percaya terhadap kehidupan akhirat.
8.    Jaina, pendirinya adalah Mahawira, penekanan ajarannya aialah pada aspek ahimsa dan karma.
9.    Budha, pendirinya ialah Sidharta Gautama dengan penekanan ajarannya  pada ahimsa dan ketidakterikatan. (Sumawa, 1996:5-6).