ILMU DAN FILSAFAT
I.
PENGERTIAN
ILMU
1.
Menurut M. IZUDDIN TAUFIQ
Ilmu adalah penelusuran data atau informasi melalui
pengamatan, pengkajian dan eksperimen, dengan tujuan menetapkan hakikat,
landasan dasar ataupun asal usulnya.
2.
Menurut
THOMAS KUHN
Ilmu adalah himpunan aktivitas yang menghasilkan banyak
penemuan, bail dalam bentuk penolakan maupun pengembangannya.
3.
Dr.
MAURICE BUCAILLE
Ilmu adalah kunci untuk mengungkapkan segala hal, baik dalam
jangka waktu yang lama maupun sebentar.
4.
NS.
ASMADI
Ilmu merupakan sekumpulan pengetahuan yang padat dan proses
mengetahui melalui penyelidikan yang sistematis dan terkendali (metode ilmiah).
5.
POESPOPRODJO
Ilmu adalah proses perbaikan diri secara bersinambungan yang
meliputi perkembangan teori dan uji empiris.
Kesimpulan:
Ilmu adalah suatu sarana yang menjadikan manusia
sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman dari berbagai
segi kenyataan dalam alam ini dan segala sesuatu yang ada dalam dunia ini agar
manusia menjadi tahu dan mendapatkan pengetahuan lebih luas
II.
PENGERTIAN FILSAFAT
1.
Plato ( 428 -348 SM ) : Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada.
2.
Aristoteles ( (384 –
322 SM) : Bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki
sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum
sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat
dengan ilmu.
3.
Cicero ( (106 – 43 SM
) : Filsafat
adalah sebagai “ibu dari semua seni “( the mother of all the arts“ ia juga
mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae (seni kehidupan )
4.
Johann Gotlich Fickte
(1762-1814 ) : Filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu dari
ilmu-ilmu , yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan
sesuatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat memperkatakan seluruh bidang dan
seluruh jenis ilmu mencari kebenaran dari seluruh kenyataan.
5.
Paul Nartorp (1854 –
1924 ) : Filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar
hendak menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan menunjukan dasar akhir
yang sama, yang memikul sekaliannya .
6.
Imanuel Kant ( 1724 –
1804 ) : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yange menjadi
pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang didalamnya tercakup empat persoalan.
Apakah yang dapat kita kerjakan ?(jawabannya
metafisika )
Apakah yang seharusnya kita kerjakan (jawabannya
Etika )
Sampai dimanakah harapan kita ?(jawabannya Agama )
Apakah yang dinamakan manusia ? (jawabannya Antropologi )
7.
Notonegoro : Filsafat
menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut intinya yang mutlak, yang
tetap tidak berubah , yang disebut hakekat.
8.
Driyakarya : Filsafat sebagai perenungan yang sedalam-dalamnya tentang
sebab-sebabnya ada dan berbuat, perenungan tentang kenyataan yang
sedalam-dalamnya sampai “mengapa yang penghabisan “.
9.
Sidi Gazalba : Berfilsafat ialah mencari
kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran , tentang segala sesuatu yang di
masalahkan, dengan berfikir radikal, sistematik dan universal.
10.
Harold H. Titus (1979
) : (1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan
kepecayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak
kritis. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan
dan sikap yang dijunjung tinggi; (2) Filsafat adalah suatu usaha untuk
memperoleh suatu pandangan keseluruhan; (3) Filsafat adalah analisis logis dari
bahasa dan penjelasan tentang arti kata dan pengertian ( konsep ); Filsafat
adalah kumpulan masalah yang mendapat perhatian manusia dan yang dicirikan
jawabannya oleh para ahli filsafat.
11.
Hasbullah Bakry : Ilmu Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan
mendalam mengenai Ke-Tuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat
menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana sikap manusia itu sebenarnya setelah
mencapai pengetahuan itu.
Kesimpulan:
Filsafat adalah pandangan hidup seseorang
atau sekelompok orang mengenai kehidupan yang bersikap sadar dan dewasa
dalam segala sesuatu secara mendalam dan keinginan untuk melihat dari segi
yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan dalam kehidupan.
III.
KAITAN FILSAFAT DAN ILMU
Hubungan Ilmu dengan Filsafat pada
mulanya ilmu yang pertama kali muncul adalah filsafat dan ilmu-ilmu khusus
menjadi bagian dari filsafat. Dan filsafat merupakan induk dari segala ilmu
karena berbicara tentang abstraksi/sebuah yang ideal.
Filsafat tidak terbatas, sedangkan
ilmu terbatas sehingga ilmu menarik bagian filsafat agar bisa dimengerti oleh
manusia.
Filsafat berusaha untuk mengatur
hasil-hasil dari berbagai ilmu-ilmu khusus ke dalam suatu pandangan hidup dan
pandangan dunia yang terstu padukan, komprehensip (tidak ada sesuatu bidang
yang berada di luar bidang filsafat) dan konsisten 9uraian kefilsafatan tidak
menyusun pendapat-pendapat yang saling berkontardiksi).
Pada hakikatnya filsafat dan ilmu
saling terkait satu sama lain, keduanya tumbuh dari sikap refleksi, ingin tahu,
dan dilandasi kecintaan pada kebenaran. Filsafat dengan metodenya mampu
mempertanyakan keabsahan dan kebenaran ilmu, sedangkan ilmu tidak mampu
mempertanyakan asumsi, kebenaran, metode, dan keabsahannya sendiri.
Ilmu merupakan masalah yang hidup
bagi filsafat dan membekali filsafat dengan bahan-bahan deskriptif dan faktual
yang sangat perlu untuk membangun filsafat. Filsafat dapat memperlancarr
integrasi antara ilmu-ilmu yang dibutuhkan. Filsafat adalah meta ilmu,
refleksinya mendorong peninjauan kembali ide-ide dan interpretasi baik dari
ilmu maupun bidang-bidang lain.
Ilmu merupakan konkritisasi dari
filsafat. Filsafat dapat dilihat dan dikaji sebagai suatu ilmu, yaitu ilmu
filsafat. Sebagai ilmu, filsafat memiliki objek dan metode yang khas dan bahkan
dapat dirumuskan secara sistematis. Ilmu filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
mengkaji seluruh fenomena yang dihadapi manusia secara kritis refleksi,
integral, radikal, logis, sistematis, dan universal (kesemestaan).
Sebagai fenomena ilmu filsafat dapat
dilihat dari tema besarnya, yaitu, ontologi (Definisi, pengertian, konsep,
mengkaji keberadaan sesuatu, membahas tentang ada, yang dapat dipahami baik
secara konkret, faktual, transendental, atau pun metafisis), epistemologi
(Substansi, membahas pengetahuan yang akan dimiliki manusia apabila manusia itu membutuhkannya), dan aksiologi (manfaat, membahas kaidah norma dan nilai yang ada pada
manusia).
Untuk
melihat hubungan antara filsafat dan ilmu, ada baiknya kita lihat pada
perbandingan antara ilmu dengan filsafat dalam bagan di bawah ini, (disarikan
dari Drs. Agraha Suhandi, 1992)
Ilmu
|
Filsafat
|
Segi-segi yang dipelajari dibatasi
agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti
|
Mencoba merumuskan pertanyaan atas
jawaban. Mencari prinsip-prinsip umum, tidak membatasi segi pandangannya
bahkan cenderung memandang segala sesuatu secara umum dan keseluruhan
|
Obyek penelitian yang terbatas
|
Keseluruhan yang ada
|
Tidak menilai obyek dari suatu sistem
nilai tertentu.
|
Menilai obyek renungan dengan suatu
makna, misalkan: religi, kesusilaan, keadilan dsb.
|
Bertugas memberikan jawaban
|
Bertugas mengintegrasikan ilmu-ilmu
|
|
|
KAITAN FILSAFAT DAN ILMU-ILMU LAIN
1. Hubungan Filsafat dengan Ilmu
Administrasi
Ilmu administrasi negara disebut juga
ilmu administrasi publik yaitu ilmu yang mempelajari seluruh aspek-aspek yang
berjalan dalam setiap kegiatan birokrasi di negara ini. Hubungannya dengan
filsafat adalah dalam menjalankan kegiatan negara diperlukan nilai-nilai
pengambilan keputusan publik yang realistis (filsafat) yaitu menurut kenyataan,
kebenaran dan sesuatu yang pasti sehingga dapat mencapai tujuan yang di
inginkan.
2. Hubungan Filsafat dengan Ilmu
Sosial
Hubungan ilmu filsafat dengan ilmu
sosial sangat erat kaitannya karena ilmu sosial menelaah atau mempelajari
masalah-masalah sosial yang timbul dan berkembang dalam masyarakat. Oleh karena
itu, Dalam menelaah masalah-masalah tersebut kita harus mempunyai pengetahuan
tentang segala yang ada dan merupakan kebenaran yang asli (Plato).
3. Hubungan Filsafat dengan Ilmu
Pengetahuan Alam
Hubungan ilmu filsafat dengan Ilmu
Pengetahuan Alam yaitu saling melengkapi karena sama-sama merupakan ilmu
pengetahuan yaitu sama-sama melakukan penyelidikan dalam rangka mencari
penjelasan (realitas) tentang gejala-gejala alam melalui ilmu pengetahuan. Ilmu
Pengetahuan Alam mengisi filsafat dengan sejumlah besar materi yang aktual
(benar-benar terjadi/ada) dan deskriptif yang sangat perlu dalam
pembinaan suatu filsafat. Dalam melakukan penyelidikan harus ada kebenaran yang
didalamnya terkandung ilmu metafisika, logika, retorika, etika dan estetika
(Aristoteles). Dengan kata lain fungsi filsafat dalam Ilmu Pengetahuan Alam
adalah mengembangkan pengertian tentang strategi dan taktik Ilmu Pengetahuan
Alam.
Persamaan
Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Agama
1. Baik ilmu, filsafat dan agama bertujuan
sekurang-kurangnya berusaha berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran.
2. Ketiganya mencari rumusan yang
sebaik-baiknya menyelidiki obyek selengkap-lengkapnya sampai ke-akar-akarnya.
3. Ketiganya memberikan pengertian mengenai
hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan
mencoba menunjukkan sebab-akibatnya.
4. Ketiganya hendak memberikan sistesis, yaitu
suatu pandangan yang bergandengan.
5. Ketiganya
mempunyai metode dan sistem.
6. Ketiganya hendak memberikan penjelasan
tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia (obyektivitas), akan
pengetahuan yang lebih mendasar.
Berikut
beberapa titik persamaan dari filsafat, ilmu pengetahuan dan agama :
a.
Filsafat dan Imu Pengetahuan
1.
Didasarkan pada rasio, maksudnya sama-sama berdasarkan akal budi
2.
Mempunyai metode, menempuh suatu jalan untuk mencapai kebenaran
3.
Bersifat sistematis, memberikan suatu uraian atau penjelasan yang menyeluruh
dan bagian-bagian yang saling berhubungan.
b.
Filsafat dan Agama
1.
Filsafat dan Agama adalah sama-sama mengandung suatu pemandangan yang luas.
Perbedaan
Filsafat, Ilmu Pengtahuan dan Agama
1. Gambaran
umum
a.
Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan (mengembarakan atau
mengelanakan ) akal budi secara radikal (mengakar) dan integral, serta
universal (mengalam), tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh
ikatan tangannya sendiri yang bernama logika.
b.
Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset, research),
pengalaman (empiri), dan percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian.
c.
Manusia mencari dan menemukan kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan
mempertanyakan (mencari jawaban tentang) berbagai masalah asasi dari atau
kepada kitab suci, kodifikasi firman ilahi untuk manusia
2. Obyek
material (lapangan)
a.
Filsafat itu bersifat universal (umum), yaitu segala sesuatu yang ada realita).
b.
Ilmu (pengetahuan ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris juga bersifat
eksperimental. Artinya, ilmu hanya terfokus pada disiplin bidang masing-masing
secara kaku dan terkotak-kotak, sedangkan kajian filsafat tidak terkotak-kotak
dalam disiplin tertentu.
c.
Agama dipraktekkan oleh orang yang beriman
3. Obyek
formal (sudut pandangan)
a.
Filsafat itu bersifat non fragmentaris, karena mencari pengertian dari segala
sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mendasar.
b.
Ilmu pengetahuan bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif. Di
samping itu, obyek formal itu bersifat teknik, yang berarti bahwa cara ide-ide
manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita.
c.
Agama memberikan kejelasan tentang fenomena yang terjadi
4. Cara
mendapatkan sesuatu
a.
Filsafat dilaksanakan dalam suasana pengetahuan yang menonjolkan daya
spekulasi, kritis, dan pengawasan, kegunaan filsafat timbul dari nilainnya
b.
Ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan trial and error. Oleh karena itu,
nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis.
c.
Agama dilakukan dengan melihat sumber-sumber hukum agama yang terkait yang
sudah dipastikan kebenarannya karena bersumber dari Tuhan.
5. Isi
yang dimuat
a.
Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada
pengalaman realitas sehari-hari,
b.
Ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan secara logis, yang dimulai dari
tidak tahu menjadi tahu.
c.
Agama, memperjelas tentang semua yang terjadi di alam ini bahwa semua itu
adalah kehendak Tuhan yang sudah digariskan oleh Tuhan
6. Hal
yang ditunjukan
a.
Filsafat memberikan penjelasan yang terakhir, yang mutlak, dan mendalam sampai
mendasar (primary cause)
b.
Ilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu mendalam, yang lebih dekat, yang
sekunder (secondary cause).
c.
Agama memberikan kejelasan tentang semua yang terjadi
7. Sumber
a.
Filsafat bersumber pada kekuatan akal,
b.
Ilmu bersumber pada kekuatan akal
c.
Agama bersumber pada wahyu.
8. Sebab
terjadinya
a.
Filsafat didahului oleh keraguan,
b.
Ilmu didahului oleh keingintahuan,
c.
Agama diawali oleh keyakinan dan keimanan
9. Hal
yang diungkap
a.
Filsafat mengungkapkan makna dan kebenaran hidup
b.
Ilmu pengetahuan mengungkapkan kebenaran hidup
10. Metode Pencapaian Kebenaran
a.
Filsafat dengan wataknya sendiri yang menghampiri kebenaran, baik tentang alam
maupun tentang manusia (yang belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu, karena
diluar atau di atas batas jangkauannya), ataupun tentang tuhan.
b.
Ilmu pengetahuan dengan metodenya sendiri mencari kebenaran tentang alam dan
manusia.
c.
Agama dengan karakteristiknya memberikan jawaban atas segala persoalan asasi
yang dipertanyakan manusia ataupun tentang tuhan.
IV. MANFAAT MEMPELAJARI FILSAFAT
Filsafat menggiring manusia
kepengertian yang terang dan pemahaman yang jelas. Kemudian, filsafat itu juga
menuntun manusia ketindakan dan perbuatan yang konkret berdasarkan pengertian
yang terang dan pemahaman yang jelas.
Secara umum manfaat filsafat :
a. Filsafat membantu kita memahami bahwa sesuatu tidak selalu tampak seperti
apa adanya.
b. Filsafat membantu kita mengerti tentang diri kita sendiri dan dunia kita,
karena
filsafat
mengajarkan bagaimana kita bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar.
c. Filsafat membuat kita lebih kritis. Filsafat mengajarkan pada kita bahwa
apa yang mungkin kita terima begitu saja ternyata salah atau menyesatkan atau
hanya merupakan sebagian dari kebenaran.
d.
Filsafat mengembangkan kemampuan kita dalam:
Ø
menalar secara jelas
Ø
membedakan argumen yang baik dan
yang buruk.
Ø
menyampaikan pendapat (lisan dan
tertulis) secara jelas
Ø
melihat sesuatu melalui kacamata
yang lebih luas.
Ø
melihat dan mempertimbangkan
pendapat dan pandangan yang berbeda.
.
Secara khusus manfaat filsafat ilmu :
a. Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
b. Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap
pandangan filsafat lainnya.
c. Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan
dunia.
d. Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan.
e. Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek
kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Menurut
Agraha Suhandi (1989).
f. Filsafat ilmu bermanfaat untuk
menjelaskan keberadaan manusia di dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang merupakan alat untuk membuat hidup menjadi lebih baik.
g.
Filsafat ilmu bermanfaat untuk membangun diri kita
sendiri dengan berpikir secara radikal (berpikir sampai ke akar-akarnya), kita
mengalami dan menyadari keberadaan kita.
h. Filsafat ilmu memberikan kebiasaan dan
kebijaksanaan untuk memandang dan memecahkan persoalan-persoalan dalam
kehidupan sehari-hari. Orang yang hidup secara dangkal saja, tidak mudah
melihat persoalan-persoalan, apalagi melihat pemecahannya.
i. Filsafat ilmu memberikan pandangan yang luas, sehingga
dapat membendung egoisme dan ego-sentrisme (dalam segala hal hanya melihat dan
mementingkan kepentingan dan kesenangan diri sendiri).
j. Filsafat ilmu mengajak untuk berpikir secara radikal, holistik
dan sistematis, hingga kita tidak hanya ikut-ikutan saja, mengikuti pada
pandangan umum, percaya akan setiap semboyan dalam surat-surat kabar, tetapi
secara kritis menyelidiki apa yang dikemukakan orang, mempunyai pendapat
sendiri, dengan cita-cita mencari kebenaran.
k. Filsafat ilmu memberikan dasar-dasar, baik untuk hidup kita
sendiri (terutama dalam etika) maupun untuk ilmu-ilmu pengetahuan dan lainnya,
seperti sosiologi, ilmu jiwa, ilmu mendidik, dan sebagainya.
Sejalan dengan
definisi filsafat di atas, adapun ciri-ciri dari unsur di dalamnya yaitu:
1. Filsafat
sebagai ilmu, yaitu bahwa filsafat berusaha untuk mencari hakekat atau inti
dari suatu hal. Hakekat ini sifatnya sangat dalam dan hanya dapat dimengerti
oleh akal.
2. Filsafat
sebagai cara berpikir, yaitu cara berpikir yang sangat mendalam (radikal)
sehingga akan sampai pada hakekat sesuatu.
3. Filsafat sebagai
pandangan hidup, yaitu bahwa filsafat pada hakekatnya bersumber pada hakekat
kodrat diri manusia, yang berperan sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan
makhluk Tuhan.
Dengan mempelajari
filsafat, ada tiga hal yang dapat diperoleh yaitu:
1.
Filsafat telah mengajarkan kita untuk mengenal diri sendiri secara totalitas,
sehingga dengan pemahaman tersebut dapat dicapai hakkat manusia itu sendiri dan
bagaimana sikap manusia itu sebenarnya.
2. Filsafat
mengajarkan tentang hakekat alam semesta. Pada dasarnya berpikir filsafat ialah
bersedia menyusun suatu sistem pengetahuan yang rasional dalam rangka memahami
segala sesuatu, termasuk diri manusia itu sendiri.
3. Filsafat
mengajarkan tentang hakekat Tuhan. Studi tentang filsafat seyogyanya dapat membantu
manusia untuk membangun keyakinan keagamaan atas dasar yang matang secara
intelektual. (Bakhtiar, 2004:20).
Penggolongan
lapangan-lapangan filsafat menurut Kattsoff menjadi cabang-cabang filsafat
sebagai berikut :
1. Logika, adalah ilmu yang mempelajari
teknik-teknik untuk memperoleh kesimpulan dari suatu perangkat bahan tertentu.
2. Metodologi, ialah sebagaimana yang ditunjukkan
oleh pernyataan, yakni ilmu pengetahuan atau mata pelajaran tentang metode dan
khususnya metode ilmiah.
3. Metafisika, yaitu hal-hal yang terdapat
sesudah fisika, hal-hal yang terdapat di balik yang tampak.
4. Ontologi
dan kosmologi, ontologi membicarakan azas-azas rasional dari yang ada,
sedangkan kosmologi membicarakan azas-azas rasional dari yang ada yang teratur.
5. Epistemologi, yaitu cabang filsafat yang
menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan.
6. Biologi kefilsafatan, membicarakan mengenai
persoalan-persoalan biologi.
7. Psikologi
kefilsafatan, memberikan pernyataan-pernyataan psikologi yang meliputi apakah
itu jiwa, ide, ego, akal, perasaan dan kehendak.
8. Sosiologi
kefilsafatan, mengemukakan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat masyarakat
dan hakekat negara.
9.
Antropologi kefilsafatan, mengemukakan pertanyaan-pertanyaan tentang manusia.
10. Etika, adalah cabang filsafat yang membicarakan
tentang baik dan buruk.
11.
Estetika, adalah cabang filsafat yang membicarakan definisi, susunan dan
peranan seni.
12. Filsafat agama
adalah cabang-cabang filsafat yang membicarakan jenis-jenis pertanyaan yang
berbeda mengenai agama.
Ruang lingkup
kajian filsafat meliputi bidang-bidang sebagai berikut:
1. Kosmologi yaitu
suatu pemikiran dalam permasalahan yang berhubungan dengan alam semesta, ruang
dan waktu, kenyataan hidup manusia sebagai ciptaan Tuhan.
2.
Ontologi yaitu suatu pemikiran tentang asal-usul kejadian alam semesta.
3. Phylosophy of
mind yaitu pemikiran tentang jiwa dan bagimana hubungannya dengan jasmani
dan kebiasaan kehendak manusia.
4.
Efistemologi yaitu pemikiran tentang apa dan bagaimana sumber pengetahuan
manusia diperoleh.
5.
Aksiologi, yaitu suatu pemikiran tentang masalah-masalah nilai. (Bakhtiar, 2004:24).
Pengertian istilah filsafat secara etimologis tentunya belum
cukup untuk mewakili pengertian filsafat, namun pemahaman secara etimologi
merupakan pondasi dasar untuk memahami kata filsafat. Dalam proses
perkembangannya, filsafat banyak mendapat isi dan sekaligus
pengertian-pengertian baru, antara lain:
1.
Filsafat sebagai suatu sikap: filsafat sebagai suatu sikap terhadap kehidupan
dan alam semesta.
2. Filsafat sebagai suatu metode: filsafat
sebagai cara berpikir secara reflektif (mendalam), penyelidikan yang
menggunakan alasan, berpikir secara hati-hati dan teliti.
3. Filsafat sebagai kelompok persoalan: berarti
banyak persoalan atau permasalahan-permasalahan abadi dan para filsuf berusaha
untuk mencari jawabannya, antara lain: apakah kebenaran itu?, mengapa manusia
ada di dunia ? apa makna kehadiran manusia di dunia?, apakah manusia mempunyai
kehendak bebas untuk menentukan nasib di dunia, atau sudah ditentukan oleh
Tuhan ?.
4.
Filsafat sebagai sekelompok teori atau sistem pemikiran: sejarah filsafat
ditandai dengan pemunculan teori-teori dan sistem-sistem pemikiran yang
terlekat pada nama-nama filsuf besar.
5.
Filsafat sebagai analisis logis tentang bahasa dan penjelasan makna istilah:
kebanyakan para filsuf menggunakan analisis untuk menjelaskan suatu istilah dan
pemakaian bahasa. Menganalisis berarti menetapkan arti secara tepat dan
memahami saling hubungan diantara arti-arti tersebut.
6.
Filsafat sebagai usaha untuk memperoleh pandangan yang menyeluruh: filsafat
sebagai ilmu yang mencoba menggabungkan kesimpulan-kesimpulan dari berbagai
ilmu dan pengalaman manusia.
Persoalan filsafat tentunya
sangat berbeda dengan permasalahan non filsafat,
perbedaan
yang mendasar terletak pada materi dan ruang lingkupnya. Adapun ciri-ciri permasalahan
filsafat antara lain:
1. Bersifat sangat umum: objek kefilsafatan
tidak menyangkut objek-objek khusus, dalam artian masalah kefilsafatan
berkaitan dengan idea-idea besar
2.
Bersifat spekulatif: persoalan yang dihadapi melampaui batas-batas pengetahuan
ilmiah (empiris)
3. Bersangkutan dengan
nilai-nilai (values): persoalan kefilsafatan bertalian dengan keputusan tentang
pernilaian moral, estetis, agama, dan sosial.
4. Bersifat
kritis: filsafat merupakan analisis secara kritis terhadap konsep-konsep dan
arti-arti yang biasanya diterima dengan begitu saja oleh ilmuwan tanpa
pemeriksaan secara kritis.
5. Bersifat
sinoptik : pandangan sinoptik berarti meninjau hal-hal atau benda-benda secara
menyeluruh.
6. Bersifat
implikatif : apabila persoalan kefilsafatan sudah dijawab, maka dari jawaban
tersebut muncul permasalahan baru yang saling berhubungan.
FILSAFAT DARSANA
Pertumbuhan
filsafat dimulai Sejak
zaman Upanisad yang bibitnya sudah ada pada zaman Weda, maka dari itu dalam
perkembangannya tidak lepas dari Weda sebagai induknya. Perkembangan filsafat
dimulai pada tahun 2000 SM sampai tahun 1000 M (Sumawa, 1996:11). dari zaman
yang sangat panjang tersebut dibagi menjadi empat zaman yaitu zaman Weda, Zaman
Wiracarita, Zaman Sutra dan Zaman Skholastik diantaranya yaitu:
a.
Zaman Weda
Zaman Weda
diperkirakan berlangsung tahun 1500 SM sampai dengan 600 SM, pada zaman ini
tumbuhlah sumber-sumber keagamaan dari kitab-kitab yang isinya diwahyukan yaitu
diantaranya kitab Weda Samhita, Kitab Brahmana dan Kitab Upanisad dinantaranya
yang pertama yaitu zaman Weda Samhita yang pada intinya terpusat pada pemujaan
kepada para dewa-dewa yang jumlahnya cukup banyak. Para Dewa dipandang sebagai
kekuatan-kekuatan yang nyata dan berpribadi, maka dipuja dengan sesajen yang
dilakukan dengan cara berpariasi baik sehari-hari maupun sewaktu-waktu tertentu
yang disertai dengan mantra-mantra pujian. (Sumawa, 1996:12).
b.
Zaman Wiracarita
Zaman ini penuh dengan kejadian-kejadian penting yang
mengoyangkan pemikiran orang India karena krisis politik. Pada zaman ini adanya kitab Ramayana dan
Mahabharata di mana aliran filsafat bersifat atheistis yaitu carwaka,
jaina dan budha. Carwaka dinamakan Lokayatika tidak mengakui adanya
Tuhan, Atman, Karma, Punarbawa dan moksa dan tujuan tertingginya adalah
terpenuhnya kepuasan indriyanya tetapi aliran ini mengakui adanya kehidupan di
akhirat. Ajaran filsafat Jaina menekankan pada ahimsa dan karma
yang mengajurkan pengikutnya bila berjalan menutup mulut dan membawa sapu,
sedangkan kelompok Budha yang menekankan pada ahimsa dan karma.
c.
Zaman Sutra
Setelah zaman
Wiracarita muncul zaman Sutra yang ditandai dengan adanya susunan kitab-kitab
Sutra sekitar tahun 500 SM sampai dengan 500 M. Kitab-kitab Sutra pada umumnya
berisi uraian prosa yang disusun secara singkat dengan maksud agar mudah
dihapal dan mudah dipergunakan sebagai buku pegangan. Kitab Sutra inilah yang
menjadi sumber sistem-sistem filsafat yang tinggal pada masa ini, seperti Brama
Sutra oleh Badarayana, Yogasutra oleh Patanjali, Samkhya Sutra oleh Kapila,
Nyayasutra oleh Gautama, Waisasikasutra oleh Kanda dan Mimamsasutra oleh
Jaimini.
d.
Zaman Skholastik
Zaman ini
sekitar tahun 200 M yang disebut zaman kemajuan dengan munculnya tokoh-tokoh
besar seperti Sankaracarya, Ramanuja dan Madhwa. Zaman ini tidak dapat dipisahkan dengan zaman Sutra
karena tokoh-tokoh besar yang berhasil menyusun kembali ajaran-ajaran kuna
berhasil memberi angin baru dalam perkembangan pemikiran India.
I.
Pengertian
Filsafat Darsana
Filsafat
Darsana merupakan suatu pandangan tentang kebenaran yang di dalamnya terdiri
dari berbagai pandangan yang setiap pandangan memiliki definisi dan
pembenarannya masing-masing. Di sini, jika seorang tidak memahami arti dari
sebuah pandangan maka akan timbul keraguan dan kebingungan dalam memberikan
pemahaman dan pengetahuan kepada dirinya sendiri dan orang lain.
Keraguan-keraguan seperti ini tentunya juga akan terjadi pada setiap umat Hindu
yang mengetahui dan membaca ajaran agama Hindu. Setiap aliran filsafat Darsana di atas
yang termasuk dalam kelompok Astika maupun Nastika memiliki tokoh-tokoh pendiri
dan penekanan ajaran yang berbeda, lebih jelasnya dipaparkan berikut ini:
A.
BAGIAN ASTIKA
1.
Nyaya, pendirinya adalah Gotama dan penekanan
ajarannya pada aspek logika.
2. Vaisasika,
pendirinya adalah Kanada dan penekanannya ajarannya pada pengetahuan yang dapat
menuntun seseorang untuk merealisasikan sang diri.
3. Samkhya,
menurut tradisi pendirinya adalah Kapila dan penekanan ajarannya tentang proses
perkembangan dan terjadinya alam semesta.
4. Yoga,
pendirinya adalah Patanjali dan penekanan ajarannya adalah pada pengendalian
jasmani dan pikiran untuk mencapai samadhi.
5. Mimamsa,
pendirinya adalah Jaimini dengan penekanan ajarannya pada pelaksanaan ritual
dan susila menurut konsep Weda.
6. Vedanta, kata ini
berarti akhir Weda. Vedanta merupakan puncak dari filsafat India. Pendirinya
adalah Sankara, Ramanuja dan madhawa, penekanan ajarannya yaitu pada hubungan
Atman dengan Brahman dan tentang kelepasan.
B. BAGIAN NASTIKA
1.
Carwaka,
pendirinya ialah Bhagawan Wrhaspati dengan penekanan ajarannya pada aspek material
sebagai tujuan hidup tertinggi dan tidak percaya terhadap kehidupan akhirat.
2.
Jaina,
pendirinya adalah Mahawira, penekanan ajarannya aialah pada aspek ahimsa dan karma.
3.
Budha, pendirinya
ialah Sidharta Gautama dengan penekanan ajarannya pada ahimsa dan ketidakterikatan. (Sumawa,
1996:5-6).
II. Tujuan
Mempelajari Filsafat Darsana
Pada
garis besarnya pengertahuan filsafat Darsana dapat memberikan keterangan yang
seluas-luasnya terhadap hal-hal yang bersifat keduniawian dan kerohanian yang
menjadi tujuan hidup manusia, sehingga akan terwujud kebijaksanaan dan cara
berpikir. Inti filsafat Darsana yaitu berusaha untuk mengungkapkan berbagai
gejala-gejala duniwai sampai pada kesimpulan yaitu tercapainya kebenaran dan
tercapai juga kebahagiaan, karena manusia dihadapkan pada dualisme yang berbeda
yang dapat membingungkan dan menyesatkan, yaitu tepatnya tercapainya tujuan
hidup tentang Dharma, artha, kama dan moksa. Filsafat Darsana akan mencoba
memahami secara lebih umum tentang dirinya sendiri, alam semesta, tentang Tuhan
yang tertuang dalam filsafat Darsana. Jika dilihat dari Weda maka Filsafat
Darsana termasuk dalam kitab Sruti yang sama artinya dengan wahyu yang mana
filsafat Darsana mengandung hal-hal
penting menjadi tujuan pembelajarannya
yaitu:
1.
Ajaran yang mencakup aspek filsafati atau keilmuan
yang menjelaskan hakekat mengenai ketuhanan, Atman, Karma, Punarbawa dan moksa
atau kelepasan.
2. Ajarannya
mencakup aspek ritual atau yajna yang dibahas secara luas, mengadung ajaran
etika atau susila.
3. Untuk menemukan
kebenaran tentang hakekat Tuhan, manusia dan alam semesta.
4. Untuk mengembangkan
kebijaksanaan pada diri sediri pribadi dan persepsi seorang terhadap berbagai
masalah yang sedang dan yang akan dihadapi.
5. Untuk memberikan
atau memudahkan jalan bagi setiap orang dalam usaha mereka mencapai
kesempurnaan hidup sesuai dengan konsep ajaran Agama Hindu.
Filsafat India yaitu filsafat Darsana
dapat dibagi dua golongan besar, yaitu (1) astika yang berpaham
ortodoks; dan (2) nastika yang berpaham heterodoks. Disebut astika,
golongan ini secara langsung maupun tidak langsung mengakui otoritas Veda
sebagai sumber ajarannya yang terdiri dari enam filsafat yaitu: Nyaya,
Vaisesika, Samkhya, Yoga, Mimamsa dan Vedanta. Disebut juga Nastika, golongan
ini tidak mengakui otoritas Veda sebagai sumber ajaranya terdiri dari Carwaka,
Buddha dan Jaina.
III. PEMBAHASAN
BAGIAN-BAGIAN FILSAFAT DARSANA
A. ASTIKA
Sad darsana artinya enam pemikiran
filsafat yang diterima dan diakui sebagai bagian yang tidak dapat dilepaskan
dari system kepercayaan agama hindu. Bagian-bagian Astika adalah sebagai
berikut :
1.
Filsafat samkhya
Pengertian
Samkhya
Samkhya
adalah salah satu system filsafat India, yang mengakui Veda sebagai otoritas
tertinggi. Oleh sebab itu Samkhya dikelompokkan kedalam Astika (ortodok). Jika
dilihat dari bentuk katanya, Samkhya berasal dari dua urat kata yaitu “sam” dan “Khya”. Sam diartikan
sebagai bersama-sama dan Khya
diartikan sebagai bilangan, jadi secara harfiah Samkhya berarti
bilangan bersama-sama. Kata Samkhya digunakan dalam Sruti dan Smerti, dimana
masing-masing digunakan dalam pengertian pengetahuan
dan tindakan, sehingga
kata Samkhya ini juga memiliki arti pengetahuan yang benar. Dalam Sarva Darsana
Samgraha, yaitu suatu system filsafat Hindu mengatakan kata Samkhya (sankhya)
itu artinya adalah jumlah. Dan system ini memberikan 25 prinsip terjadinya alam
semesta setelah dua asas yaitu purusa
dan prakerti
sehingga berkembanglah sebagai penyusun alam semesta dan tubuh
manusia itu sendiri. Kadangkala system ajaran Samkhya dikatakan sebagai ajaran
yang bersifat atheistic
atau Nir Iswara Sankhya (Samkhya tanpa Tuhan), yaitu suatu ajaran
yang tidak mempercayai adanya Tuhan, karena dalam ajaran Samkhya ini sama
sekali tidak menyebut-nyebut nama Tuhan, dengan alasan Tuhan itu sangat sulit
untuk bias dibuktikan keberadaannya. Tapi ajaran Samkhya jika dilihat dari
pengakuannya terhadap otoritas Veda, nyatanya system ini termasuk ke dalam
kelompok Astika yang mengakui Veda sebagai sumber ajaran kebenaran Hindu.
System Samkhya ini tidak menentang Tuhan, hanya saja Samkhya menunjukkan bahwa
Purusa dan Prakrti sudah cukup untuk menjelaskan alam semesta ini, jadi tidak
ada alas an untuk merumuskan hipotesa tentang keberadaan Tuhan.
a. Pendiri/Penemu/Pencetus Ajaran Samkhya
System ajaran Samkhya ini dicetuska
oleh Maha Rsi Kapila. Rsi Kapila ini lahir dari ibu yang bernama Devahuti dan
ayahnya adalah Kardama. Dari ibunyalah Rsi Kapila ini mendapatkan ajaran-ajaran
filsafat, dan apa yang menjadi konsep system ini ditulis dalam sebuah buku
Samkhya Sutra. Rsi Kapila sering dipanggil dengan sebutan Rsi Kapila Muni,
dikatakan sebagai Putra Brahma dan Avatara Visnu.
b. Sumber/Kitab Ajaran Samkhya
Meskipun Samkhya kadangkala
dikatakan sebagai ajaran yang bersifat atheistic namun Samkhya menggunakan Veda
sebagai otoritas tertingginya. Samkhya menggunakan Veda sebagai dasar
pengembangan kebenaran Hindu. Selain Veda, Samkhya juga menggunakan Chandogya
Upanisad, Prashna Upanisad, Katha Upanisad, dan Svetasvatara Upanisad. Dan yang
tidak kalah penting dalam ajaran Samkhya adalah Mahabharata yang termuat dalam
kitab Bhagawadgita.
c.
Isi Pokok
dan Pandangan Samkhya Terhadap Makrocosmos dan Mikrocosmos
Samkhya merupakan suatu kelompok
filsafat yang tergolong Astika,dalam ajarannya secara metafisis mengemukakan
pokok-pokok ajaran prakerti, purusa,tri guna,penciptaan alam semesta dan
atheistic.
Ø Prakerti
Samkhya dalam ajarannya menerima 2
ultimasi,yakni Purusa (spirit) dan Prakerti (Matter), sebagai 2 asas rohani dan
kebendaan, dari 2 asas inilah terciptanya alam semesta. Prakerti adalah sebab
terakhir dari alam semesta sebab prakerti merupakan awal dari semua yang ada
dalam alam semesta ini, maka prakerti harus bersifat kekal dan abadi. Karena
tidak mungkin yang tidak kekal menjadi sebab pertama dari semua yang ada pada
alam semesta ini. Dalam bahasa sansekerta prakerti berasal dari urat kata “pra”
yang berarti sebelum atau pertama dan akar kata “kr” yang artinya membuat atau
menghasilkan. Jadi Prakerti diartikan sebagai yang ada sebelum segala
sesuatunya dihasilkan / disebabkan, sumber pertama dari semua benda, bahan asal
darimana semua benda menyebar dan ke dalam mana semua benda pada akhirnya
akan kembali.
Ø Purusa
Purusa merupakan jenis kesadaran
tertinggi. Samkhya menyebut purusa sama dengan roh /jiwa. Purusa ini bersifat tak
terikat yang meresapi segala yang abadi. Teori Samkhya menyatakan bahwa roh itu
ada karena ia menjelma, ketidakadaan roh tidak dapat dinyatakan dengan apapun
juga. Roh itu berbeda dengan indria, pikiran, dan akal.roh bersifat langgeng,
tanpa sebab menyusupi segala namun bebas dari segala ikatan dan pengaruh dunia.
Ø Tri Guna
Agama Hindu mengajarkan adanya Tri
Guna yang terdiri atas Sattvam, Rajas, dan Tamas. Sattvam bersal dari kata
“sat” yang berarti benar dan “tva” yang berarti mempunyai sifat. Jadi Sattva
berarti sifat yang benar, yang dimaksudkandalam pernyataan ini adalah sifat
ringan bagi benda, dan baik bagi makhlik hidup(manusia). Sattva adalah hakekat
segala sesuatu yang memiliki sifat-sifat terang yang menerangi. Rajas merupakan
aktivitas yang dinyatakan sebagai raga-dvesa yakni suka atau tidak
suka, cinta atau benci, menarik atau memuakkan. Rajas adalah unsure yang
menggerakkan guna sattva dan guna tamas. Tamas berasal dari kata “tam” yang
berarti susah atau gelap. Dalam hal ini, tamas berarti sifat yang menyebabkan
semua makhluk berdiam dalam kegelapan atau kemalasan.
Ø Penciptaan
alam semesta.
Sebagai suatu pandangan dan istilah
umum, darsana dipergunakan untuk menunjuk system filsafat india, yang terbagi
atas 2 kelompok yaitu: Astika dan Nastika. Secara metafisis, prakerti hanya
bergantung pada aktifitas dari unsure pokok gunanya sendiri. Ia terbentuk dari
3 guna yang tidak pernah terpisah, saling menunjang satu sama lain, dan saling
bercampur. Prakerti mengalami perkembangan apabila berhubungan dengan purusa.
Melalui perhubungan ini, prakerti dipengaruhi oleh purusa seperti halnya
anggota badan kita dapat bergerak karena hadirnya pikiran. Evolusi alam semesta
tidak akan terjadi hanya karena purusa juga tidak terjadi hanya karena
prakerti, tapi pertemuan kedua unsur tersebutlah yang menyebabkan alam semesta
beserta isinya dapat terjadi. Dari hubungan purusa dan prakerti timbulah mahat
atau budhi,yang nantinya menimbulkan ahamkara, yaitu asas individual, yaitu
asas yang menimbulkan induvidu-individu. Dengan ahamkara diri akan merasa
dirinya yang bertindak yang berkeinginan, dan yang memiliki. Setelah ahamkara
berkembang, prakerti menuju 2 jurusan yaitu, jurusan yang bersifat kejiwaan dan
jurusan jasmani. Perkembangan kejiwaan yang kedua adalah panca jnani indria
yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba. Sedangkan
perkembangan kejiwaan yang ketiga adalah panca karmendria yaitu indria untuk
berbuat yang terdiri dari daya berbicara, daya untuk memegang, daya untuk
berjalan, daya untuk membuang kotoran dan daya untuk mengeluarkan sperma.
Perkembangan jasmani atau fisik menghasilkan asas dunia yang ada diluar
manusia, yang disebut panca tan mantra( sari-sari benih suara, sentuhan, warna,
rasa, dan bau ).dari benih suara timbullah akasa (ether)dari gabungan benih
sentuhan dan suara terjadilah udara, dari gabungan benih warna, suara, dan
sentuhan terjadilah cahaya atau api, dari benih suara,sentuhan, dan warna
terjadilah air dan dari benih baud an empar tan mantra yang lain terjadilah
bumi (pertiwi). Dari anasir kasar itu berkembanglah alam semesta beserta
isinya, namun perkembangan ini tidak menimbulkan asas-asas baru lagi seperti
perkembangan mahat. Terbentukjnya alam semesta tidaklah sempurna sampai disitu
sebab ia memerlukan satu asas lagi yaitu roh. Perkembangan prakerti menjadi
alam semesta merupakan perkembangan yang terakhir.
Ø Atheistik
Masalah
ketuhanan menurut pandangan samkya sangat bertentangan dengan tradisi yang ada
dalam masyarakat india. Filosof berpandangan bahwa samkhya menganut theisme
atau atheism. Samkya menjadi atheistic karena pengaruh materialisme, jainisme
dan budhisme. System ini tidak membangun ketidakadaan tuhan ia hanya
menunjukkan bahwa purusa dan prakerti sudah cukup untuk menjelaskan alam
semesta tanpa harus merumuskam hipotesa tentang keberadaan tuhan.
d.
Tujuan Akhir
Ajaran Samkhya
Tujuan akhir
dari Ajaran Samkhya adalah kelepasan. Kelepasan dapat dicapai oleh seseorang
bila orang tersebut menyadari bahwa purusa tidak sama dengan alam pikiran,
perasaan, dan badan jasmani. Bila seseoarng belum menyadari hal itu, maka ia
tidak akan dapat mencapai kelepasan, akibatnya ia mengalami kelahiran yang
berulang-ulang. Jalan untuk mencapai kelaepasan adalah melalui pengetahuan yang
benar, latihan kerohanian yang terus menerus,merealisasikan perbedaan purusa
dan prakerti serta cinta kasih terhadap semua makhluk. Dengan demikian samkhya
menekankan pada jalan jnanadalam wujud wiweka dan kebijaksanaan untuk
melepaskan purusa dari jebakan prakerti.
2. Filsafat
Mimamsa
a.
Pendiri dan
Sumber Ajarannya
Sembah
sujud kepada Sri Jaimini, pendiri sistem filsafat Purwa Mimamsa, murid dari
Bhagawan Sri Wyasa. Purwa Wiwamsa atau Karma Mimamsa adalah penyelidikan ke
dalam bagian yang lebih awal dari kitab suci Weda. Suatu pencarian ke dalam ritual-ritual
Weda atau bagian weda yang hanya berurusan dengan masalah mantra dan Brahmana
saja. Purwa wimamsa disebut demikian karena ia lebih awal (purwa) dari pada
Uttara Mimamsa, dalam pengertian logika, yang tidak demikian banyak dalam
pengertian kronologis. Filsafat Mimamsa yang akan dibahas adalah Purwa Mimamsa
Yang umum disebut dengan Mimamsa saja. Kata Mimamsa, berarti penyelidikan yang
sistematis terhadap Veda. Purwa Mimamsa secara khusus mengkaji bagian Veda,
yakni kitab-kitab Brahmana dan Kalpasutra, sedang bagian yang lain(Aranyaka dan
Upanisad) dibahas oleh uttara Mimamsa yang dikenal pula dengan nama yang
popular yaitu Vedanta. Purwa Mimamsa sering disebut Karma Mimamsa sedangkan
Uttara Mimamsa sering disebut dengan Jnana Mimamsa. Sumber utama adalah
keyakinan akan kebenaran dan kemutlakan upacara d dalam kitab Veda (Brahmana
dan Kalpasutra). Sumber ajaran tertulis dalam jaiminisutra, karya Maharesi
Jaimini. Kitab ini terdiri dari 12 Adhyaya (bab) terbagi kedalam 60 'pada' atau
bagian. Isinya adalah aturan atau tata cara dalam Weda ( menurut Weda ).
Komentar tertua terhadap kitab Jaimisutra dikemukakan oleh Sabara Swanin,
selanjutnya oleh dua orangtokoh yang berbeda pandangan, yakni Kumarila Bhatta
dan Prabhakara, yang mengembangkannya kemudian.
b. Sifat dan Pokok – Pokok Ajaran Mimamsa
Ajaran
( Purwa ) Mimamsa disebut bersifat pluralistis dan realistis. Pluralis karena
mengakui adanya banyak Jiwa dan penggandaan asas badani yang membenahi alam
semesta, sedang realistis karena mengakui bahwa obyek-obyek pangamatan adalah
nyata. Bagi Mimamsa alat pengetahuan yang terpenting adalah kesaksian
(kebenaran) Veda. Mimamsa mengajarkan bahwa tujuan terakhir umat manusia adalah
Moksa, jalan untuk mencapai adalah dengan melaksanakan upacara keagamaan seperti
tersebut dalam Veda. Sebagai telah disebutkan diatas sumber pokok ajaran
Mimamsa adalah Veda terutama bagian Brahmana dan Kalpasutra. Baginya kitab Veda
adalah Dharma. Tata cara serta perintah-perintah tentang upacara yang terdapat
didalam Veda hendaknya dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Serta tidak
mengharapkan hasil karena melaksanakannya semuanya itu sebagai suatu kewajiban.
Kebebasan dalam filsafat ini adalah kebebasan yang terhingga yang terkenal
dengan sebutan sorga. Salah satu aliran dalam filsafat Mimamsa yang dipimpin
oleh Maharesi Prabhakara yang mengemukakan adanya 5 sumber pengetahuan
(Pramana) antara lain :
1) Pratyaksa, yaitu pengamatan atau penglihatan
secara langsung.
2) Anumana, yaitu menarik suatu kesimpulan.
3) Upamana, yaitu mengadakan suatu perbandingan.
4) Sabda, yaitu melakukan pembuktian melalui sumber
yang dipercaya.
5) Arthapatti, yaitu perumpamaan.
Satu
sampai dengan empat adalah sama dengan Pramana pada filsafat Nyaya, hanya ada
tambahan terutama didalam Upamana. Dalam filsafat Mimamsa dijelaskan hal ini
sebagai berikut : seseorang yang ingin melihat harimau pergi ke hutan, dan
dalam hal inii dijelaskan dijelaskan bahwa kucing sebagai perbandingan. Ketika
yang bersagkutan tiba dihutan melihat seekor harimau, maka ia seketika itu
membandingkannya dengan seekor kucing,kesimpulan ini disebut Upamana. Berbeda
dengan pengetahuan yang ditarik dengan / melalui Arthapatti. Dalam Arthapatti penjelasannya
bertentangan. Misalnya bila kita melihat seekor ular tidur saja pada siang
hari, tidak pernah makan pada waktu siang hari, tetapi ular itu tetap hidup,
kesimpulan Arthapati adalah pasti ular tersebut makan pada malam hari. Aliran
Mimamsa yang lain diajarkan oleh Maharsi Kumarila Bhatta dengan teori
pengethuannya diperoleh melalui 6 pramana. Lima Pramananya sama seperti
tersebut diatas (spt.Prabhakara), dengan menambahkan yang ke-6 Anuphalabhi
pramana, yakni tidak dapat diamati, karena memang bendanya tidak ada. Cotohnya
: Di kamar tidur tidak ada jam tembok, ketiadaan jam tembok itu didalam kamar
itu memang tidak dapat diamati. Inilah yang disebut Anupalabhi. Filsafat
Mimamsa lebih jauh menjelaskan bila setiap orang melakukan sedikit saja upacara
agama, maka jiwa yang bersangkutan, akan diangkat oleh sesuatu kekuatan yang
bernama Apurwa, yang dikemudian hari akan menghasilkan buah yang baik.
Perhitungan dari Apurwa Mimamsa ini secara menyeluruh terhadap jiwa hendaknya
dilakukan dengan bentuk Upacara yadnya, yang nantinya akan memberikan hasil
yang sangat memuaskan. Jadi Apurwa mewujudkan suatu jembatan yang menghubungkan
waktu antara sebuah upacara yadnya dengan buahnya. Mula-mula Mimamsa
mengajarkan bahwa tujuan hidup adat Sorga, tetapi kemudian menyesuaikan dengan
sistem filsafat yang lain, yaitu Moksa atau kalepasan.
c.
Mimamsa
Sebagai Suatu Sistem Penafsiran Weda
Mimamsa
bukanlah cabang dari suatu sistem filsafat. Ia lebih tepatnya merupakan satu
sistem penafsiran Weda, di situ diskusi filosofinya sama dengan semacam
komentar kritis pada Brahmana atau bagian ritual dari Weda, yang menafsirkan
kitab weda dalam pengertian berdasarkan arti sebenarnya masalah utama dari
Purwa Mimamsa adalah ritual. Jaimini telah mensistematiskan aturan-aturan dari
mimamsa dan menetapkan keabsahannya dalam karyanya itu. Aturan-aturan dari
mimamsa sangat penting guna menafsirkan hukum-hukum hindu. Jaimini menerima 3
pramana tentang pengamatan (pratyaksa), penyimpulan (anumana), dan otoritas
pembuktian (sabda atau weda). Jaimini menganggap bahwa satu hubungan yang abadi
antara satu kata dengan artinya dan bahwa suara tersebut adalah abadi.
d. Keabadian Weda Yang Ada Dengan Sendirinya
Jaimini
adalah seorang lawan dari rasionalisme dan theisme. Baginya kitab suci weda
secara praktis hanyalah tuhan semata. Weda yang abadi tidak memerlukan dasar
apapun untuk sandarannya. Tak ada pewahyu tuhan, karena weda itu sendiri
merupakan otoritasnya yang merupakan satu-satunya sumber pengetauan dharma
kita. Tuhan tidak diperlukan dalam sistem mereka. Ia mengatakan bahwa weda itu
sendiri merupakan otoritasnya. Dharma itu sendiri memberikan ganjaran. Tujuan
purwa mimamsa adalah untuk meneyelidiki ke dalam sifat dari dharma. Purwa
mimamsa memiliki sejumlah dewata. Persembahan mungkin diperuntukan baginya.
Pelaksaan dharma weda tidak memerlukan suatu keberadaan tertinggi atau Tuhan.
Agama weda tidak mencari bantuan Tuhan. Weda abadi yang ada dengan sendirinya,
melayani segala keperluan atau Jaimini beserta para pengikut filsafat purwa
mimamsa. Jaimini tidak begitu mengingkari adanya tuhan seperti tak
menghiraukannya.
e. Pelaksaan Dharma Weda sebagai Kunci Menuju
Kebahagiaan
Dharma
yang di perintahkan oleh kitab suci weda, dikenal sebagai Sruti yang
pelaksaanya membawa pada kebahagiaan. Bila kitab smrti tidak setuju dengan
sruti, maka yang pertama smrti dapat diabaikan. Pelaksaan oleh orang-orang
saleh atau kebiasaan-kebiasaan, muncullah belakangan di dalam smrti. Seorang
hindu hendaknya menjalani kehidupannya sesuai dengan aturan-aturan kitab suci weda.
Ia harus melaksanakan nitya karma. Ini merupakan kewajiban tanpa syarat, bila
ia lalai dalam melakukan hal ini , ia terkena dosa kelalalian (pratyawaya
dosa). Ia melaksanakan kamya karma untuk mencapai akhir yang istimewa. Bila ia
menghindari perbuatan yang dilarang ( nisiddha karma), ia akan terhindar dari
neraka. Bila ia melaksanakan kewajiban tanpa syarat ia mencapai kelepasan. Beberapa
orang pengikut filsafat mimamsa yang kemudian menetapkan bahwa semua pekerjaan
seharusnya dilaksanakan sebagai suatu persembahan kepaa tuhan atau mahluk
tertinggi. Lalu mereka menjadi penyebab atau cara pembebasan. Bila pekerjaan
atau upacara kurban dilakukan dalam suatu cara mekanis tanpa perasaan, sraddha
(keyakinan) dan kepatuhan, mereka tak dapat membantu seseorang untuk mencapai
kelepasan. Seseorang boleh saja melaksakan sejumlah upacara kurban, namun
mungkin tak ada suatu perubahan dalam hati, bila ia dilaksanakan tanpa moral
yang benar atau prilaku yang benar serta kemauan yang benar, apa yang
sesungguhnya dikehendaki bukanlah upacar kurban, tetapi pengorbanan kepentingan
diri sendiri, keakuan dan raga dwesa (suka-benci).
f.
Ajaran Dari
Apurwa
Hasil
atau ganjaran dari upacara kurban tidak ditentukan oleh suatu kemanfaatkan
Tuhan. Apurwa memberi ganjaran pada si pelaksana kurban. Apurwa merupakan mata
rantai atau hubungan yang diperlukan antara kerja dengan hasil atau buahnya.
Apurwa adalah adrsta yang merupakan kekuatan yang tak terlihat yang sifatnya
positif yang di ciptakan oleh kegiatan yang membawa pencapain buah perbuatan.
Inilah pandangan dari Rsi Jaimini. Para penulis lainnya mengkritik sama sekali
bahwa apurwa tanpa kesadaran atau tanpa kecerdasan tak dapat memberikan
ganjaran. Sistem filsafat mimamsa tak dapat memuaskan orang-orang bijak dan
orang-orang yang cerdas. Karena itu para pengikut filsafat mimamsa yang
belakangan secara perlahan-lahan memasukkan masalah tuhan. Mereka menyatakan
bahwa bila upacara kurban dilaksanakan untuk menghormati keberadaan tertinggi,
ia akan membawa pada pencapaian kebiasaan tertinggi. Apurwa tak dapat berbuat
kecuali ira digerakkan oleh tuhan atau keberadaan tertinggi. Yang membuat
apurwa berfungsi adalah Tuhan.
g. Sang Diri Dan Ciri – Ciri-Nya
Sang
diri berbeda dengan badan, indriya dan intelek. Sang diri merupakan si penikmat
atau yang mengalami. Badan merupakan tempat untuk mengalami. Indriya-indriya
adalah peralatan-peralatan untuk mengalami. Sang diri merasakan bila ia menyatu
dengan pikiran ia mengalami kesenangan dan penderitaan di bagian dalam dan
mengalami obyek-obyek luar seperti pepohonan, sungai-sungai, tanam-tanaman dsb.
Sang diri bukanlah indriya-indriya, karena ia tetap ada walaupun indriya
dihancurkan atau dilukai. Badan tersebut dari materi. Yang meresahkan, berbeda
dengan badan dan justru sang diri mengarahkan badan. Badan merupakan pelayan
dari sang diri ada beberapa keberadaan yang menirukan berbagai data-data
indriya. Keberadaan atau kesatuan tersebut adalah sang diri, yang meresapi
segalanya dan tak dapat dihancurkan serta jumlahnya tak terhingga.
h. Para Pengikut Filsafat Mimamsa Berikutnya,
Prabhakara dan Kumarila
Rsi
Jaimini menunjukkan cara untuk mencapai kebahagian di swarga atau surga. Tetapi
ia tidak mengatakan apapun tentang masalah pembebasan akhir. Para penulis yang
belakangan seperti Prabhakara dan Kumarila, bagaimanapun juga tak dapat
menghindari masalah pembebasan akhir ini, karena ia menarik perhatian para
pemikir alairan filsafat lainnya. Manusia membuang kegiatan dan perbuatan yang
dilarang yang membawanya kepada kebahagiaan di surga. Ia melakukan penebusan
dosa yang diperlukan guna melepaskan timbunan karma masa lalunya. Ia melaksakan
pengetahuan diri dan mendisiplinkan diri dan mengembangkan sifat-sifat
kebajikan. Ia membebaskan dirinya dari kelahiran kembali dengan pengetahuan
yang sesungguhnya tentang sang diri. Seseorang tak dapat mencapai kelepasan
hanya dengan pengetahuan semata. Pelepasan/pembuangan karma hanya dapat
menghasilkan pelepasan. Pengetahuan menghalangi kelanjutan timbunan dari
kebajikan dan kejahatan. Dengan karma itu sendiri tak dapat untuk mencapai
pembebasan akhir. Pandangan Kumarila mendekati pandangan dari Adwaita Wedanti
yang menetapkan bahwa weda disusun oleh tuhan dan merupakan brahman dalam wujud
suara. Moksa adalah suatu keadaan yang positif baginya, yang merupakan realisasi
dari atman.
i.
Filsafat
Jaimini Dalam Sebuah Kulit Kacang
Menurut
Jaimini, pelaksanaan kegiatan yang di larang dalam kitab suci weda. Merupakan
sadhana atau cara pencapain surga. Karma kanda merupakan bagian pokok dari
weda. Penyebab belenggu adalah pelaksanaan dari nisiddha krma atau kegiatan
yang dilarang. Sang diri adalah jada-cetana gabungan dari tanpa perasaan dan
kecerdasan. Roh jumlahnya tak terhingga dan merupakan sipelaku dan si penikmat.
Ia meresapi segalanya. Jaimini tidak percaya akan penciptaan alam dunia ini. Ia
percaya akan derajat kebahagiaan di surga dan pada sadacara atau perilaku yang
benar.
j.
Kritik
Terhadap Filsafat Jaimini
Sistem
filsafat Mimamsa dikatakan menjadi tak memuaskan dan tak sempurna karena ia tidak
memperlakukan masalah-masalah realitas akhir dan hubungannya dengan roh serta
materi. Tak ada pandangan filosofis tentang dunia ini . Gambaran utamanya
adalah pelaksanaan upacara kurban. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat
mendasar dan utama ‘’laksanakan upacara kurban dan nikmati hasilnya di surga’’
ini merupakan kesimpulan dan isi pokok-pokok dari ajaran Jaimini. Inilah
moksanya atau tujuan akhir. Hal ini tidak memberikan kepuasan terhadap para
pemikir yang mengetahui bahwa kenikmatan di surga bersifat sementara tidak
sempura dan duniawi.
3. Filsafat
Yoga
a.
Pengertian
Yoga
Secara etimologi, kata yoga
diturunkan dari kata yuj ( sansekerta), yoke (Inggris), yang
berarti ‘penyatuan’ (union). Yoga berarti penyatuan kesadaran manusia dengan
sesuatu yang lebih luhur, trasenden, lebih kekal dan ilahi. Menurut Panini,
yoga diturunkan dari akar sansekerta yuj yang memiliki tiga arti yang
berbeda, yakni: penyerapan, samadhi (yujyate) menghubungkan (yunakti),
dan pengendalian (yojyanti). Namun makna kunci yang biasa dipakai
adalah ‘meditasi’ (dhyana) dan penyatuan (yukti).
b. Tokoh Yoga
Pendiri dari
sistem Yoga adalah Hiranyagarbha dan Yoga yang didirikan oleh Maharsi
Patanjali merupakan cabang atau tambahan dari filsafat Samkhya, yang
memiliki daya tarik tersendiri bagi para murid yang memiliki temperamen mistis
dan perenungan. Tulisan pertama tentang ajaran Yoga karya Maharsi Patanjali
adalah kitab Yoga Sutra, walaupun unsur-unsur ajarannya sudah ada jauh sebelum itu.
Ajaran yoga sebenarnya sudah terdapat di dalam kitab Smrti, demikian pula dalam
Itihasa dan Purana. Setelah buku-buku Yoga Sutra muncullah kitab-kitab Bhasya
yang merupakan komentar terhadap karya patanjali, diantaranya Bhasya Nitti oleh
Bhojaraja dan lain-lain. Komentar-komentar ini menguraikan ajaran Yoga karya
Patanjali yang berbentuk Sutra berupa kalimat pendek yang padat isinya. Sistem
filsafat yang dipakai untuk mendasari Yoga ini terang diambil dari ajaran
Samkhya, karena memang filsafat Yoga ini berhubungan erat sekali dengan Samkhya.
Di dalam buku Filsafat Hindu yang di susun oleh I Wayan Maswinara dikatakan
bahwa Yoga bersifat lebih Orthodox dari pada filsafat Shamkhya, karena Yoga
secara langsung mengakui keadaan Isvara, sehingga sistem filsafat
Patanjali ini merupakan Sa-Isvara. Samkhya, karena adanya Isvara atau
Purusa istimewa (khusus) didalamnya, yang tak tersentuh oleh kemalangan,
penderitaan, kerja keinginan dan sebagainya. Patanjali mendirikan sistem
filsafat ini dengan latar belakang metafisika dan Samkhya menerima 25 prinsip
atau Tattva dari Samkhya. Yoga menerima pandangan metafisika dari
prinsip Samkhya, tetapai lebih menekankan pada sisi praktisnya
guna realisasi dari penyatuan mutlak Purusa atau sang Diri. Kata
Yoga artinya ialah hubungan. Hubungan antara roh yang berpribadi dengan roh
yang Universal yang tidak berpribadi. Tetapi patanjali mengartikan Yoga sebagai
cittawrtti nirodha yaitu menghentikan geraknya fikiran. Roh
pribadi dalam sistem Yoga memiliki kemerdekaan yang lebih besar dan dapat
mencapai pembebasan dengan bantuan Tuhan. Kalau sistem samkhya
menetapkan bahwa pengetahuan merupakan cara untuk mencapai pembebasan, maka
dalam sistem Yoga menganggap bahwa konsentrasi, meditasi, dan Samadhi akan
membawa kepada Kaivalya atau terkandung dalam kesan-kesan dari
keanekaragaman fungsi mental dan konsentrasi dari energi mental pada Purusa
yang mencerai dirinya. Menurut Patanjali, Tuhan merupakan Purusa
istimewa atau Roh khusus yang tak terpengaruh oleh kemalangan, karma, hasil
yang diperoleh dan cara memperolehnya, pada-Nya merupakan batas tertinggi dari
benih ke-Maha Tahuan. Yang tak terkondisikan oleh waktu, yang selamanya bebas
dan merupakan Guru bagi para bijak jaman dulu.
c. Yoga Sutra
Seluruh
kitab Yoga Sutra karya Patanjali terdiri atas 4 bagian yang terdiri
diri 194 Sutra. Yaitu:
a.
Samadhipada. Samadhipada
isinya
memuat penjelasan tentang sifat dan tujuan melaksanakan Samadhi juga menerangkan tentang
perubahan-perubahan pikiran dan pelaksanaan ajaran Yoga.
b.
Sadhanapada. Sadhanapada isinya memuat
tentang cara pelaksanaan yoga seperti cara mencapai Samadhi, tentang
kedudukan, tentang karma phala dan sebagainya.
c.
Virbutipada. Virbutipada
isinya
memberikan uraian tentang daya-daya supra alami atau Siddhi yang adapat dicapai
melalui pelaksanaan Yoga.
d.
Kaivalyadapa. Kaivalyapada isinya melukiskan
tentang alam kelepasan dan kenyataan rokh yang mengatasi alam duniawi atau
menggambarkan sifat dari pembebasan.
Ajaran filsafat Yoga yang terpenting
adalah citta (pikiran) citta dipandang sebagai hasil pertama dari prakrti yang
juga meliputi Ahamkara dan Manas. Didalam citta ini Purusa dipantulkan
dengan penerimaan pantulan Purusa Citta ini menjadi sadar dan berfungsi. Tiap
citta berhubungan dengan satu tubuh sehingga dengan demikian Purusa dibebaskan
dari belenggu badan dalam kehidupan sehari-hari citta disamakan dengan wrtti,
yaitu bentuk-bentuk perubahan citta dalam penyesuaian diri dengan objek
pengamatan. Melalui aktifitas citta ini, purusa tampak bertindak, bergirang
atau menderita.
Prubahan
citta dapat diklasifikasikan kedalam lima macam, yaitu:
a. Pramana,
alat
pengenalan yang meluputi pengamatan, penyimpulan, dan kesaksian yang benar.
b. Wiparyaya,
pengetahuan
yang palsu, yang didasarkan atas gambaran yang keliru atas hal yang diamati,
yang slalu tampak sebagai Awidya.
c. Wikalpa,
pengetahuan
yang berdasarkan sabda, bukan berdasarkan kenyataan. Sehingga juga mewujudkan
pengetahuan yang tidak nyata.
d. Nidra,
tidur dan mimpi
e. Smerti,
ingatan
atau kenangan yang keduanya bekerja tanpa bahan-bahan baru.
Pengamatan yang benar
hanya melalui Tripramana aktifitas citta menimbulkan kecendrungan yang
terpendam, yang selanjutnya menimbulkan kecendrungan yang lain. Demikianlah Samsara
berputar, manusia ditaklukan oleh klesa yang terdiri dari:
a.
Awidya, yaitu
pengetahuan yang salah seperti menganggap yang tidak kekal, yang bukan rokh
sebagai rokh, yang tidak suci sebagai yang suci, dan sebagainya.
b.
Asmita
(keakuan), aitu
pandangan yang salah yang memandang Rokh itu sama dengan buddhi atau manah.
c.
Raga (keterikatan), raga
atau nafsu keinginan dan alat-alat pemuasnya.
d.
Dwesa (dendam), dwesa
ialah kebencian atau dendam.
e.
Abhiniwesa (takut terhadap
kematian), yaitu
rasa takut pada kematian semua makhluk.
Untuk dapat
terlepasnya Purusa dari ikatan Prakirti, seorang harus dapat melepaskan writti
yaitu dengan melepaskan klesa, sebab klesa merupakan dasar
tebentuknya karma yang menimbulkan awidya. Jadi dalam hidup
manusia terdapat satu rangkaian yang tiada putusnya, yaitu perputaran writti
dan klesa. Lepasnya ikatan dapat tercapai melalui pengendalian diri
(wairagya), sehingga dapat membedakan yang pribadi dan yang bukan
pribadi.
d. Raja Yoga dan Hatha Yoga
Yoganya Maharsi Patanjali merupakan
astaga Yoga atau Yoga dengan delapan anggota, yang mengandung disiplin pikiran dan
tenaga fisik. Hatha Yoga membahas tentang cara-cara mengendalikan badan dan
pengaturan pernafasan, yang memuncak pada Raja-Yoga, melalui sadhana yang
progresif dalam Hatha Yoga sehingga hatha Yoga merupakan tangga untuk mendaki
menuju tahapan Raja-yoga. Bila gerakan nafas dihentikan dengan cara Kumbhaka,
pikiran menjadi tak tertopang dan pemurnian badan melalui say-karma (6 kegiatan
pemurnian badan) yaitu Dhauti (pembersihan perut), Basti (bentuk
alami pembersihan usus), Neti (pembersihan lubang hidung) Trataka (penatapan
tanpa kedip terhadap sesuatu objek), Nauli (pengadukan isi perut) dan kapalabhati
(pelepasan lendir melalui semacam pranayama tertentu), serta
pengendalian pernafasan merupakantujuan langsung dari Hatha-yoga. Badan akan
diberikan kesehatan, kemudahan, kekuatan dan kemantapan melaksanakan Asana,
bandha dan Mudra.
e. Tujuan Yoga
Tujuan
utama Yoga ialah membebaskan manusia dari ketiga jenis penderitaan, yaitu:
a.
Yang
timbul dari kelemahan, kesalahan tingkah laku dan penyakitnya.
b. Yang timbul dari
perhubungannya dengan makhluk-makhluk lain, seperti Harimau, pencuri dan
sebagainya.
c. Yang timbul dari
perhubungannya dengan Alam diluar, seperti elemen-elemen dan daya-daya abstrak,
halus dan sukar diketahui.
d. Hal tersebut bisa
dicapai dengan cara berikut:
· Dengan jalan tanpa
pelekatan serta tidak terikat pada dunia, tapi tidak berarti harus
mengisolasikan dirinya.
· Dengan jalan
mengendalikan fikiran serta kreasi-kreasinya, agar dengan demikian sekaligus
membersihkan kesadaran yang nyata.
· Berusaha mencapai
penggabungan roh individu dengan roh univeral secara positif dan mutlak.
Kondisi ini dikenal sebagai samadhi dan merupakan tujuan sejati dari
Yoga.
Yogi (pengikut Yoga) berusaha mencapai
keadaan bebas seluruhnya dari roda hidup dan mati. Ia memandang Alam sebagai
suatu daya kekuatan yang bekerja dalam dua jurusan. Dari dalamnya ia berjuang
untuk memisahkan, dari dalamnya ia berjuang untuk menggabungkan kembali.
Kekuatan dalam disebut Hidup, kekuatan luar disebut mati. Tujuan Yoga adalah menggabungkan
kedua kekuatan tersebebut.
4. Filsafat Nyaya
A. Pengertian Nyaya
Nyaya darsana merupakan merupakan
dasar dan pengantar dari seluruh pengajaran filsafat Hindu. Nyaya Sutra yang
digunakan sebagai sumber dari filsafat Nyaya ditulis oleh Rsi Gautama atau
sering pula dikenal dengan nama Aksapada atau Dirghatapas kurang lebih pada
abad ke-4 SM. Nyaya berarti ‘argumentasi’, sehingga sering pula disebut sebagai
Tarka vada atau diskusi tentang suatu darsana atau pandangan filsafat. Didalam
Nyaya darsana sendiri terkandung ilmu perdebatan (Tarka vidya) dan ilmu diskusi
(vada vidya) yang berarti bersifat analitik dan logis. Dari konsep ini maka
dapat diketahui bahwasannya Nyaya menekankan pada aspek logika dan nalar dengan
pendekatan ilmiah dan realisme. Nyaya merupakan alat utama untuk meyakini
sesuatu dengan penyimpulan yang tak terbantahkan, yang dilalui dengan pengujian
dengan berbagai argumentasi dan melewati berbagai perbantahan sehingga
membentuk suatu keyakinan yang penuh. Selanjutnya
sistem Nyaya mengemukakan ada 16 pokok pembicaraan (padartha) yang perlu
diamati dengan teliti, yaitu : pramana, prameya, samsaya, prayojana, drstanta, siddhanta, awayaya, tarka, nirnaya, wada, jalpa,
witanda, hetwabhawa, chala, jati, dan nigrahastana. Penjelasan singkat dari
setiap padartha ini adalah sebagai berikut :
a. Pramana adalah suatu jalan
untuk mengetahui sesuatu secara benar.
b. Prameya adalah sesuatu
yang berhubungan dengan pengetahuan yang benar atau obyek dari pengetahuan yang
benar, yaitu kenyataan.
c.
Samsaya atau keragu-raguan terhadap suatu pernyataan yang tidak
pasti. Keragu-raguan ini terjadi karena pandangan yang berbeda terhadap suatu
obyek, sehingga pikiran tidak dapat memutuskan tentang wujud obyek itu dengan
jelas.
d. Prayojana yaitu akhir
penglihatan seseorang terhadap suatu benda yang menyebabkan kegagalan
aktivitasnya untuk mendapatkan benda tersebut.
e. Drstanta atau suatu contoh
yang berasal dari fakta yang berbeda sebagai gambaran yang umum. Hal ini biasa
digunakan dan diperlukan dalam suatu diskusi untuk mendapatkan kesamaan
pandangan.
f.
Siddhanta atau cara mengajarkan sesuatu melalui satu sistem
pengetahuan yang benar. Sistem pengetahuan yang benar adalah sistem Nyaya yang
mengajarkan bahwa Atman atau jiwa itu adalah substansi yang memiliki kesadaran yang
berbeda dengan hal-hal yang bersifat keduniawian.
g. Awaya atau berfikir
yang sistematis melalui metode-metode ilmu pengetahuan. Berfikir yang
sistematis akan melahirkan suatu kesimpulan yang dapat diterima oleh rasio dan
mendekati kenyataan.
h. Tarka atau alasan yang
dikemukakan berdasarkan suatu hipotesa untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang
benar. Ini adalah suatu perkiraan, sehingga kadang kala kesimpulan yang
diperoleh bertentangan atau mendekati kenyataan yang sebenarnya.
i.
Nirnaya adalah pengetahuan yang pasti tentang sesuatu yang
diperoleh melalui metode ilmiah pengetahuan yang sah.
j.
Wada adalah suatu diskusi yang didasari oleh perilaku yang
baik dan garis pemikiran yang rasio untuk mendapatkan suatu kebenaran.
k. Jalpa adalah suatu
diskusi yang dilakukan oleh suatu kelompok yang hanya untuk mencapai kemenangan
atas yang lain, tetapi tidak mencoba untuk mencari kebenaran.
l.
Witanda adalah sejenis perdebatan dimana lawan berdebat itu
tidak mempertahankan posisi tetapi hanya melakukan penyangkalan atas apa yang
dikatakan oleh lawan debatnya itu.
m. Hetwabhasa adalah suatu
alasan yang kelihatannya masuk akal tetapi sebenarnya tidak atau dapat
diartikan sebagai suatu kesimpulan yang salah.
n. Chala adalah suatu
penjelasan yang tidak adil dalam suatu usaha untuk mempertentangkan suatu
pernyataan antara maksud dan tujuan,jadi sesuatu yang perlu dipertanyakan.
o. Jati adalah suatu
jawaban yang tidak adil yang didasarkan pada analogi yang salah.
p. Nigrahasthana adalah sesuatu
kekalahan dalam berdebat.
Nyaya
darsana yang bertindak pada garis ilmu pengetahuan, menghubungkan Vaisesika
pada tahapan dimana materi-materi spiritual (adhyatmika) seperti: jiwa (roh
pribadi), jagat (alam semesta), Isvara (Tuhan), dan Moksa (pembebasan), yang
disbut Apawarga oleh Vaisesika. Nyaya dan Vaisesika mempercayai
Tuhan yang berpribadi, kejamakan dari roh dan alam semesta yang berupa
atom-atom. Nyaya Darsana mendiskusikan kebenaran mendasar melalui bantuan 4
cara pengamatan (Catur Pramana) :
a.
Pratyaksa pramana
Pratyaksa pramana atau pengamatan
secara langsung melalui panca indriya dengan obyek yang diamati, sehingga
memberi pengetahuan tentang obyek-obyek, sesuai dengan keadaannya.Pratyaksa
pramana terdiri dari 2 tingkat pengamatan, yaitu :
a) Nirwikalpa
pratyaksa
(pengamatan yang tidak menentukan) pengamatan terhadap suatu obyek tanpa
penilaian, tanpa asosiasi dengan suatu subyek.
b) Savikalpa
pratyaksa
(pengamatan yang menentukan) pengamatan terhadap suatu obyek dibarengi dengan
pengenalan cirri-ciri, sifat-sifat dan juga subyeknya.
b.
Anumana pramana
Anumana pramana merupakan hasil yang
diperoleh dengan adanya suatu perantara diantara subyek dan obyek, dimana
pengamatan langsung dengan indra tidak dapat menyimpulkan hasil dari
pengamatan. Perantara merupakan suatu yang sangat berkaitan dengan sifat dari
obyek.Proses penyimpulan melalui beberapa tahapan, yaitu :
a) Pratijna :
memperkenalkan obyek permasalahan tentang kebenaran pengamatan.
b) Hetu : alasan
penyimpulan
c) Udaharana :
menghubungkan dengan aturan umum itu dengan suatu masalah.
d) Upanaya : pemakaian
aturan umum pada kenyataan yang dilihat.
e) Nigamana :
penyimpulan yang benar dan pasti dari seluruh proses sebelumnya.
c.
Upamana pramana
Upamana pramana merupakan cara
pengamatan dengan membandingkan kesamaan-kesamaan yang munkin terjadi atau
terdapat dalam suatu obyek yang di amati dengan obyek yang sudah ada atau
pernah diketahui.
d.
Sabda pramana
Sabda pramana merupakan pengetahuan
yang diperoleh melalui kesaksian dari orang-orang yang dipercaya kata-katanya,
ataupun dari naskah-naskah yang diakui kebenarannya. Kesaksian terdiri dari 2
jenis :
a) Laukika
sabda
: kesaksian yang didapat dari orang-orang terpercaya dan kesaksiannya dapat
diterima akal sehat,
b) Vaidika
sabda
: kesaksian yang didasarkan pada naskah-naskah suci Veda sruti.
Tuhan,
Jiwa dan Alam Semesta
Dalam konsep Nyaya, seluruh
perbuatan manusia di dunia menghasilkan buah dari perbuatan yaituadrsta.
Adrsta berada dibawah pengawasan langsung dari Tuhan, dan sekaligus berperan
pada nasib setiap individu. Tuhan merupakan kepribadian yang terbebas dari
pengetahuan palsu (mithya jnana), kesalahan (adharma), kelalaian
(pramada). Beliau adalah esa memiliki pengetahuan abadi (nitya
jnana), kehendak kegiatan (iccha kriya), beliau pula bersifat
meresapi segala (wibhu). Jiwa merupakan keberadaan nyata yang
keseluruhan dan kesatuannya abadi. Sifat-sifat jiwa adalah keengganan, kemauan,
kesenangan, derita, kecerdasan, dan intuisi. Obyek yang menyatakan ‘aku’ adalah
jiwa, dan ia bersifat abadi walau badannya telah hancur. Alam semesta merupakan
gabungan atom-atom yang abadi (paramanu), yang terdiri dari unsur-unsur
fisik, yaitu : tanah (prthiwi), air (apah), api (tejas),
dan udara (vayu). Didalam
usahanya untuk mengetahui dunia ini, pikiran dibantu oleh indriya. Karena pendiriannya yang demikian, maka sistem Nyaya disebut sistem yang realistis. Menurut Nyaya tujuan hidup tertinggi adalah kelepasan
yang akan dicapai melalui pengetahuan yang benar. Apakah pengetahuan itu benar
atau tidak hal itu tergantung dari alat-alat yang dipakai untuk mendapatkan
pengetahuan tadi.
B. Metafisika
Nyaya
Dalam metafisika Nyaya membicarakan tentang terjadinya alam semesta dan
ketuhanan dalam ajaran Nyaya. Alam semesta menurut Nyaya terjadi dari gabungan
atom-atom catur bhuta yaitu tanah, air, udara, dan api serta ditambah dengan
akasa, waktu dan ruang yang merupakan substansi yang abstrak. Tuhanlah yang
menciptakan alam semesta beserta isinya dengan menggabungkan atom-atom catur
bhuta dengan substansi yang abstrak itu. Tuhan bukan saja sebagai pencipta
tetapi juga sebagai pemelihara dan pelabur alam semesta. Tujuan diciptakan alam
semesta ini menurut Nyaya adalah untuk tempat sang jiwa menikmati karmawasananya
yang berupa kedukaan dan kesenangan. Keberadaan Tuhan oleh Naiyayikas disebutkan bahwa Tuhan bersifat pribadi
atau imanen dalam artian wujud Tuhan dapat ditangkap oleh pikiran, perasaan dan
dapat diberi atribut. Dengan adanya Tuhan sebagai pencipta, pemelihara dan
pelebur semua ini termasuk sifat Tuhan yang berpribadi (Personal God). Untuk
meykinkan tentang keberadaan Tuhan itu Nyaya menunjuk beberapa bukti tentang
hal tersebut yaitu; adanya sebab dan akibat, adanya adrsta, dan adanya
pernyataan dari kitab suci Weda. Semua yang ada didunia ini merupakan akibat
yang sebabnya adalah Tuhan. Adanya perbedaan nasib seseorang di dunia ini
disebabkan oleh pahala perbuatan dari suatu kehidupan ke kehidupan yang lain
yang mesti mereka nikmati, semua ini merupakan adrsta, pernyataan kitab suci
Weda yang dipandang sebagai wahyu Tuhan adalah sangat meyakinkan bahwa Tuhan
itu benar-benar ada, walupun dajam wujud yang sangat rahasia. Semua yang ada di
alam semesta ini dan sesudahnya tidaklah dapat dilepaskan dari Tuhan sebagai
yang maha tahu, maha kuasa dan maha mulia.
C. Epistemologi
Nyaya
Dalam sistem Nyaya ada empat alat untuk mendapatkan pengetahuan yang benar
yaitu, pratyaksa, anumana, upamana dan sabda. Pratyaksa atau pengamatan memberi
pengetahuan kepada kita tentang sasaran yang diamati menurut ketentuan dari
sasaran itu masing-masing. Umpamanya, pohon itu tinggi, bola itu bulat dan
sebagainya. Pengetahuan semacam itu ada karena adanya hubungan indriya dengan
sasaran yang diamati. Pengamatan dapat pula terjadi tanpa pertolongan indria,
hal semacam ini disebut pengamatan yang bersifat transenden. Pengamatan
transenden hanya dimiliki oleh yogi yang sempurna yoganya, dengan demikian ia
memiliki kekuatan gaib yang memungkinkan ia dapat berhadapan dengan sasaran yang
membatasi indriya. Pengamatan ada dua macam yaitu nirwikalpa dan sawikalpa.
Nirwikalpa ialah pengamatan yang hanya sebagai sasaran tanpa penilaian,
sedangkan sawikalpa ialah pengamatan yang disertai dengan penilaian. Sesuatu
yang diamati bukan saja sifat-sifatnya, jenisnya, bahkan juga hal yang tidak
berada (abhawa).
Anumana adalah pengetahuan yang diperoleh dengan
penyimpulan. Pengetahuan yang diperoleh melalui anumana memerlukan sesuatu yang
berada diantara yang mengamati dan sasaran yang diamati. Dengan kata lain
pengetahuan dari anumana memerlukan bantuan pengetahuan lain, tanpa itu tidak
mungkin ia dapat mengenukakan suatu kebenaran. Tujuan dari kesimpulan yang
diambil adalah untuk meyakinkan orang lain atau diri sendiri. Upamana adalah alat pengetahuan yang menyebabkan
seseorang tahu adanya kesamaan antara dua hal. Perbandingan menghasilkan
pengetahuan tentang adanya hubungan nama dengan sasaran yang diberi nama itu. Sabda atau kesaksian merupakan pramana keempat dari
Nyaya. Kesaksian ada dua macam yaitu kesaksian manusia atau laukika dan
kesaksian waidika atau Weda. Diantara kedua kesaksian ini, kesaksian Weda
dipandang sebagai yang paling sempurna dan tidak dapat salah. Disamping pramana ada pula yang disebut dengan apramana
yaitu, smrti(ingatan), samsaya(keragu-raguan), bhrama atau wiparyaya
(kesalahan), dan tarka (hipotesa). Yang menjadi obyek dari pengetahuan yang
benar itu adalah jiwa atau Atman, badan, indriya, budhi, pikiran (manas),
perasaan, dosa (perbuatan yang tidak baik), pratyabhawa (kelahiran kembali),
phala (buah perbuatan), dukha (penderitaan) dan apawarga (bebas dari
penderitaan).
D. Relevansi Etika Nyaya Dalam Kehidupan
Dalam etikanya Nyaya mengajarkan agar seseorang berbuat baik dalam hidupnya
sehingga dengan demikian akan terwujud hidup yang harmonis. Mengenai ajaran ini
telah diwujudkan melalui pelaksanaan Tri Hita Karana yang pembagiannya adalah
parhyangan, pawongan dan palemahan. Parhyangan merupakan hubungan yang harmonis dengan Tuhan. Hal ini
diwujudkan dengan dibangunnya tempat suci untuk melakukan pemujaan terhadap
Tuhan yang maha esa / Ida Sang hyang
Widhi Wasa yang disebut dengan Pura. Hubungan yang harmonis juga dilakukan
dengan pemujaan melalui upacara yang dilaksanakan. Pawongan merupakan hubungan harmonis yang dilakukan antara
manusia dengan manusia. Wujudnya adalah dengan pembentukan organisasi Desa
Pekraman, Sekaa Teruna dan sekaa-sekaa yang lainnya yang merupakan wadah
untuk melakukan interaksi antar manusia di Bali. Hal lain yang dilakukan
sebagai wujud dari pawongan adalah adanya tradisi suka-dukha. Palemahan merupakan hubungan harmonis yang dilakukan oleh
manusia dengan lingkungan/alam. Wujudnya adalah dengan adanya penyelenggaraan
tumpek wariga, dimana tumpek ini merupakan hari untuk melaksanakan upacara
penghormatan terhadap tumbuh-tumbuhan. Nyaya mengakui adanya Atman atau jiwa perorangan yang jamak,dan suci,
tetapi setelah mereka berhubungan dengan tubuh dan dunia ini maka terjadilah
karma wasana. Karmawasana ini akan dinikmati dalam hidup di dunia ini yang
berupa kesengsaraan dan kesenangan. Maka atas dasar itulah dunia ini diciptakan
dengan tujuan agar jiwa perorangan dapat menikmati pahala dari karma yang baik
dan buruk sesuai dengan perbuatannya masing-masing. Tujuan tertinggi dari ajaran Nyaya adalah untuk mencapai
kebebasan atau kelepasan. Jalan yang ditempuh untuk sampai kepada hal tersebut
adalah melalui upacara keagamaan yang sesuai dengan petunjuk kitab suci Weda,
perilaku yang baik dan meditasi kepada Tuhan. Kebebasan dapat pula dicapai
semasih manusia hidup di dunia yang disebut dengan mukti, tetapi kebebasan yang
mutlak akan dicapai setelah Atman atau jiwa meninggalkan badan jasmani. Hanya
dengan perilaku yang baik, melakukan upacara keagamaan dan meditasi seseorang
akan melepaskan diri dari Mithya jnana yaitu kebodohan terhadap
kebenaran, raga, dvesa, dan moha yang muncul dari pikiran. Maka dari itu
pikiran harus selalu diawasi dan disucikan. Upacara keagamaan ini sangat
relevan di Bali. Hal ini dapat dilihat dari cara-cara masyarakat Bali yang
beragama Hindu dalam mendekatkan diri dengan Tuhan adalah melalui upacara
yadnya. Upacara yadnya yang dilaksanakan di Bali terbagi atas lima macam yadnya
yang disebut dengan panca yadnya. Pembagian dari panca yadnya ini yaitu ; Dewa
yadnya, yaitu korban suci secara tulus iklas kehadapan Tuhan ; Pitra yadnya,
yaitu korban suci secara tulus iklas kepada para leluhur ;Rsi yadnya, yaitu
korban suci secara tulus iklas yang ditujukan kepada guru spiritual ;manusa
yadnya, yaitu korban suci secara tulus iklas yang ditujukan kepada sesama
manusia ;Bhuta yadnya,yaitu korban suci secara tulus iklas kepada para bhuta (
kekuatan alam, dan mahluk yang derajatnya dibawah manusia).
5. Filsafat Vaisesika
Waisesika muncul pada abad ke-4 SM,
System ajaran filsafat ini dipelopori oleh Maharsi Kanada. Adapun sebagai
sumber ajarannya adalah waisesikasutra karangan Maharsi Kanada Sendiri yang
merupakan sumber dari dengan Nyaya, sehingga banyak para
filosof menyebutnya Nyaya-Waisesika. Tujuan pokok
filsafat waisesika bersifat metafisis. Isi pokok ajarannya menjelaskan tentang
dharma yaitu apa yang memberikan kesejahteraan didunia ini dan yang memberikan
kelepasan yang menentukan. Waisesika mengambil pengertian dasar filsafat
tradisional tentang ruang, waktu, sebab, materi, pikiran, jiwa dan pengetahuan,
mengeksplorasi arti bagi pengalaman dan menyusun hasilnya menjadi sebuah teori
tentang alam semesta. sistem waisesika memiliki tujuan untuk
menganalisis pengalaman. Sistem filsafat vaisesika mengambil
nama dari kata Visesa yang
artinya kekhususan, yang merupakan ciri-ciri pembeda dari
benda-benda. Jadi pokok permasalahan yang diuraikan didalamnya dalah kekhususan Padartha.
Vaisesika merupakan salah satu aliran filsafat India yang agaknya lebih tua
dibandingkan dengan filasafat Nyaya-Vaisesika, fiolasafat ini muncul pada abad
ke 4 SM, denagn tokohnya ialah Kananda (ulaka). Buah karyanya adalah
Vaisesika Sutra yang merupakan sumber dari ajaran Vaisesika. Secara umum
Vaisesika membicarakan soal dharma yaitu apa yang memberikan kesejahteraan di
dunia ini dan dapat emmberikan kelepasan. Ajarannya yang terpenting ialah
tentang kategori (unsur) yang menjadikan segala sesuatu yang ada di alam ini.
Vaisesika menyatakan ada tujuh unsur (kategori) yang menjadikan alam ini yaitu:
a)
Subtansi (drawya)
Subtansi adalah zat yang ada dengan
sendirinya dan bebas dari pengaruh unsur-unsur lain. Namun unsur lain tidak
dapat ada tanpa subtansi. Subtansi (drawiya) dapat menjadi sebab yang melekat
pada apa yang dijadikannya. Atau drawiya dapat menjadi tidak ada pada apa yang
dihasilkannya.
Contoh:
tanah sebagai subtansi telah terdapat pada periuk yang terjadi dari tanah.
Jadi, tanah itu selalu dan telah ada pada apa yang dihasilkannya, sedangkan
periuk itu tidak dapat terjadi tanpa subtansi (tanah). Hal ini berlaku pada
semua subtansi. Ada Sembilan subtansi yang dinyataklan oleh Vaisesika yaitu[1][10]:
·
Bumi
(tanah)
·
Api
(panas)
·
Air
(zat cair)
·
Udara
(hawa)
·
Akasa
(ether)
·
Waktu
(kala)
·
Ruang (tempat)
·
Akal (manas)
·
Pribadi
(jiwa(atma)
Semua subtansi tersebut diatas,
riil, tetap, dan kekal, namun hanya hawa, waktu, dan akasa bersifat tak
terbatas. Kombinasi dari sembilan subtansi itulah membentuk alam semesta
beserta isinya menjadikan hukum-hukumnya yang berlaku terhadap semua yang ada
di ala mini baik bersifat physic maupun yang bersifat rohaniah. Pandangan
Vaisesika terhadap jiwa jiwa adalah riil dan pluralis yaitu jiwa itu
benar-benar ada dan tak terbatas jumlahnya. Pandangan terhadap dunia Vaisesika
menyatakan bahwa dunia dengan segala isinya terjadi dari kumpulan atom-atom
yang riil dan tetap.
b)
Kwalitas
(guna)
Guna ialah keadaan atau sifat dari
suatu subtansi. Guna sesungguhnya nyata dan terpisah dari benda (subtansi)
namun tidak dapat dipisahkan secara mutlak dari subtansi yang diberi sifat.
Pada subtansi terdapat lima kwalitas kebendaan yaitu: bau, rasa, warna, raba,
dan rasa. Sedangkan kwalitas rohaniah terdiri dari duapuluh empat kwalitas
yakni:
1.
Kesenangan 7. Rasa 13.
Perbedaan 19. Kepekatan
2.
Kesediha 8. Bau 14. Hubungan 20. Pengetahuan
3.
Keinginan 9. Sentulan
15. Kejauhan 21. Perjuangan
4.
Dharma 10.
Bunyi 16. Kedekatan/ pertemuan 22. Kecenderungan
5.
Adharma 11. Bilangan
17. Tak berhubungan 23. Kesegaran
6.
Warna 12. Besar 18. Kecairan 24. Kebahagiaan
Hubungan kwalitas dengan subtansi
sangat erat dan tidak mungkin dipisahkan karena keduanya senantiasa mewujudkan
satu kesatuan.
c)
Aktivitas
(karma)
Vaisesika meyakini bahwa Tuhan
secara anumana. Diyakini bahwa Tuhan adalah maha tahu, menjadi sumber kesadaran
tertinggi dan Vaisesika meyakini bahwa Tuhan menciptakan alam ini dengan jalan
mengatur komposisi atom-atom yang ada. Karena Tuhan sebagai sumber gerakan alam
ini maka Tuhan Maha mengetahui segala gerak dan perilaku benda-benda di ala ini
termasuk mengetahui benar perilaku (karma) manusia.
d)
Sifat umum
(samanya)
Sifat umum (samaya) ialah sifat
terdapat pada sekelompok atom yang sudah tentu berbeda-beda dengan sifat atom
lain, seperti sifat kelompok atom air akan berbeda dengan sifat kelompok atom
bumi maupun dengan sifat kelompok atom manas. Samaya menyebabkan adanya
kelompok-kelompok subtansi yang berbeda-beda di alam ini. Namun disamping sifat
umum, maka setiap benda termasuk atom-atom memiliki sifat perorangan yang
kekal, yang membedakan satu atom dengan atom lain.
e)
Sifat
Perorangan (wisesa)
Sifat perorangan ada banyak dan
beraneka ragam karena setiap benda atau orang memiliki sifat tersendiri dan
berbeda antara yang satu dengan yang lain. Karena setiap subtansi memiliki
wisesa maka, wisesa ini bersifat kekal, oleh karena ala mini terjadi dari
subtansiyang kekal.
f)
Pelekatan
(samawaya)
Pelekatan juga bersifat kekal dan
hanya ada satu yang disebut Samawaya. Pelekatan dikatakan kekal karena
pelekatan itu trjadi pada benda-benda yakni pelekatan antara benda (zat) dengan
kwalitasnya seperti: api-panas, kapur-putih, tinta-hitam, dan sebagainya. Sifat
kelekatan itu hanyalah satu walaupun terdapat pada bermacam-macam subtansi.
g)
Ketidak
adaan (abhawa)
Abhawa dikatakan katagori yang
bersifat negatif karena abhawa menyatakan ketidak-adaan dari sesuatu. Jadi,
abhawa menyebabkan terjadinya sesuatu yakni ketidak-adaan. Abhawa dibedakan
atas dua yaitu:
a.
Samsargabhawa adalah ketidak adaan suatu benda karena memang belum pernah
dibuat.
b.
Anyonyabhawa adalah ketidak adaan dari suatu benda karena rusak (hancur).
6. Filsafat Wedanta
a. Pengertian Wedanta
Wedanta
berasal dari kata weda-anta,artinya bagian terakhir dari weda. Kitap Upanishad
juga disebut dengan Wedanta, karena kitab-kitab ini mewujudkan bagian akhir
dari Weda yang bersifat mengumpulkan. Disamping itu ada tiga faktor yang
menyebabkan Upanishad disebut dengan Wedanta yaitu:
a)
Upanishad adalah hasil karya terakhir dari
jaman Weda.
b)
Pada jaman Weda program pelajaran yang disampaikan
oleh para Resi kepada sisyanya, Upainishad juga merupakan pelajaran yang
terakhir. Para Brahmacari pada mulanya diberikan pelajaran shamhita yakni
koleksi syair-syair dari zaman weda. Kemudian dilanjutkan dengan pelajaran
Brahmana yakni tata cara untuk melaksanakan upacara keagamaan, dan terakhir
barulah sampai pada filsafat dari Upanisad.
c)
Upainishad adalah merupakan kumpulan
syair-syair yang terakhir dari pada jaman Weda.
Jadi
pengertian Wedanta erat sekali hubungannya dengan Upanishad hanya saja
kitab-kitab Upanishad tidak memuat uraian-uraian yang sistimatis. Usaha pertama
untuk menyusun ajaran Upanishad secara sistimatis diusahakan oleh Badrayana,
kira-kira 400 SM. Hasil karyanya disebut dengan Wedanta-Sutra.
Sebelum
Badrayana telah ada orangg-orang yang berusaha menyusun ajaran Upanishad, akan
tetapi paling terkenal adalah Badrayana, dalam Bhadgawadgita hasil karya beliau
disebut Brahma Sutra.
Kitab Brahma Sutra/Wedanta Sutra, Upanishad
dan Bhagawadgita, ketiga buku tersebut menjadi dasar filsafat Wedanta.
b. Pokok- Pokok Ajaran Wedanta
Wedanta
mengajarkan bahwa nirvana dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini,tak perlu
menunggu setelah mati untuk mencapainya.nirvana adalah kesadaran terhadap diri
sejati.dan sekali mengetahui hal itu,walau sekejap,maka seseorang tak
akan pernah lagi dapat di perdaya oleh kabut individualitas.terdapat dua
tahap pembedaan dalam kehidupan, yaitu: yang pertama, bahwa orang yang
mengetahui diri sejatinya tak akan di pengaruhi oleh hal apapun. Yang kedua
bahwa hanya dia sendirilah yang dapat melakukan kebaikan pada dunia
Seperti
yang telah disebutkan tadi bahwa filsafat Wedanta bersumber dari Upanishad.
Brahma Sutra/Wedanta Sutra dan
Bhadgawadgita. Masing-masing buku tersebut memberikan ulasan isi filsafat itu
berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh sudut pandangannya yang berbeda. Walaupun
obyeknya sama, tentu hasilnya akan berbeda. Sama halnya dengan orang buta yang
merabah gajah dari sudut yangg berbeda, tentu hasilnya akan ber beda pula.
Demikian pula halnya dengan filsafat
tentang dunia ini, ada yang memberikan ulasan bahwa dunia ini maya
(bayangan saja), dilain pihak menyebutkan dunia ini betul-betul ada, bukan
palsu sebab diciptakan oleh Tuhan dari diriNya sendiri. Karena perbedaan
pendapat ini dengan sendirinya menimbulkan suatu teka-teki,apakah dunia ini
benar-benar ada ataukah dunia ini betul-betul maya.
Hal ini
menyebabkan timbulnya penafsiran yangg bermacam-macam pula. Akibat dari
penapsiran tersebut menghasilkan aliran-aliran filsafat Wedanta. Secara umum
aliran filsafat Wedanta ada tiga ya ng terkenal yakni: aliran Adwaita oleh
Sankara, Wasistadwaita oleh Ramanuja dan aliran Dwaita oleh Madhwa.
Pokok
dari agama Weda seperti yang tampak pada kitab-kitab Weda itu tetap besar
pengaruhnya didalam perkembangan agama Hindu. Tetapi walaupun kitab-kitab Weda
itu masih tetap menjadi kitab-kitab tersuci orang-orang Hindu, kitab-kitab itu
sudah tidak mempunyai arti yang besar lagi bagi praktek agama. Bahkan di jawa
nampaknya kitab-kitab Weda itu tidak pernah dikenal. Bahasa yang digunakan
didalam weda-weda itu tak lama kemudian tidak terbaca lagi oleh kebanyakan
orang. Oleh karena itu tidak berselang lama sudah ditulis orang berbagai
tafsiran(komentar) tentang Weda-Weda itu. Komentar-komentar ini dimulai pada
apa yang disebut “Brahmana “.[2][2]
a.
b.
c. Aliran Filsafat Wedanta
Filsafat
ini sangatlah kuno;yang berasal dari kkumpulan literatur bangsa Arya yang
dikenal dengan nama Veda. Vedanta ini merupakan bunga diantara semua spekulasi,
pengalaman dan analisa yang terbentuk dalam demikian banyak literatur yang
dikumpulkan dan dipilih selama berabad-abad. Filsafat vedanta ini memiliki
kekhususan. Yang pertama, ia sama sekali impersonal, ia bukan dari seseorang
atau Nabi.[3][3]
Sistem
filsafat wedanta juga disebut uttara Mimamsa kata”wedanta” berarti”akhir dari
weda. Sumber ajarannya adalah kitab upainishad. Maharsi V yasa menyusun kitab
yang bernama Wedantasutra. Kitab ini dalam Bhagavad Gita disebut Brahmasutra.
Oleh karna kitab Wedanta bersumber pada kitab-kitab Upanishad, Brahmasutra dan
Bhagavad Gita, maka sifat ajarannya adalah absolutisme dan teisme. Absolutisme
maksudnya adalah aliran yang meyakini bahwa Tuhan yang Maha Esa adalah
mutlak dan tidak berpribadi (impersonal God), sedangkan teisme
mengajarkan Truhan yang berpribadi (personal God).
1.
Adwaita
Adwaita artinya
“tidak dualisme” maksudnya Adwaita menyangkal bahwa kenyataan ini lebih dari
satu (Brahman), walaupun demikian sistim ini bukan bersifat monistis yang
mengajarkan bahwa segala sesuatu dialirkan dari satu asas saja, melainkan
disamping dari Brahman masih ada Atman yang merupakan sumber kekuatan. Tokoh
aliran ini adalah Sankara (788 - 820 M). sankara ragu-ragu akan ketentuan dari
Upanisad yang menyatakan bahwa dunia ini menciptakan oleh Brahman, akan tetapi
tidak percaya akan keaneragaman di alam ini sebagai yang dianjurkan oleh
Ramanuya. Sankara menyatakan ada secara nyata (sat) adalah kekal. Hanya
Brahmanlah yang disebut Sat, artinya hanya Brahmanlah yang kekal. Di luar
Brahman keadaan adalah a-Sat, artinya di luar Brahman tidak ada sesuatu apapun.
Akan tetapi dunia ini Nampak beraneka ragam. Jadi dunia bukanlah sat, dunia ini
bukan Brahman. Sankara juga menyatakan bahwa dunia ini bukan a-sat, tidak ada
sama sekali. Sebab dunia ini Nampak benar-benar ada, dapat kita amati. Oleh
karena itu harus dikatakan bahwa dunia adalah betul-betul ada dan maya, karena
tidak kekal. Menurut Sankara bahwa Brahman, disatu pihak sama dengan jiwa
perorangan dan dengan dunia, akan tetapi dilain pihak dibedakannya.
2.
Wasistadwaita
Tokoh filsafat ini
ialah Ramanuya (1050-1137), ia menulis buku berjudul Sri Bhasya dan menulis
komentar tentang Bhagawadgita. Alirannya disebut Wasistadwaita. Wasistadwaita
berasal dari kata wasis dan dwaita, wasis berarti yang diterangkan atau yang
ditentukan yaitu oleh sifat-sifatnya. Jadi Brahman yang satu itu diberi
keterangan oleh sifat-sifatnya. Menurut Ramanuya adalah bahwa Brahman Jiwadan
dunia memang berbeda, tetapi tidak dapat dipisah-pisahka, sekalian
ketiga-tiganya adalah kekal.
3.
Dwaita
Tokoh aliran ini
adalah Madva (1199-1278), menurut dwaita pokok-pokok ajaran dwaita adalah
perbedaan (bheda). Sistim ini disebut juga realistis karena mengakui bahwa
dunia ini adalah nyata bukan maya. Akhirnya sistim ini juga bersifat theistis,
karena menerima adanya Tuhan yang berdiri sendiri (swatantra) dengan kata lain
Madva mengakui/ percaya dengan adanya manifestasi dari Tuhan yang beraneka
ragam. Dasar ajaran Madva adalah mengakui adanya kenyataan yang beraneka ragam
di dunia ini, semuanya mempunyai ciri dan sifat tersendiri, sehingga
menimbulkan perbedaan-perbedaan. Pada prinsipnya perbedaan itu adalah segala
sesuatu adalah mempunyai wujud tersendiri. Menurut Madva dunia ini ada lima
macam perbedaan, yaitu:
a.
Perbedaan tentang Tuhan dengan Jiwa manusia,
b.
Perbedaan antara Jiwa dengan Jiwa lainnya,
c.
Perbedaan antara Tuhan dengan benda,
d.
Perbedaan antara Jiwa dengan benda,
e.
Perbedaan antara benda yang satu dengan benda yang lainnya.
Tuhan, Jiwa dan benda ketiganya
sama-sama kekal adanya, sekalipun demikian hanya Tuhan yang merdeka dan bebas,
tidak bergantung kepada siapapun dan apapun.
B. NASTIKA
Nastika adalah kelompok
ini tidak mengakui otoritas Veda sebagai sumber ajarannya. Terdiri dari Carwaka,
Jaina, dan Buddha.
1.
ALIRAN
CARVAKA”
1. Pengertian
Carvaka
Secara
etimologi kata Carvaka sendiri berasal dari kata ‘caru’ yang berarti manis dan
‘vak’ yang berarti ujaran, sehingga Carvaka berarti kata-kata yang manis.
Carvaka mengajarkan tentang kenikmatan indrawi yang merupakan tujuan tertinggi
hidup. Carvaka juga berarti seseorang yang materialis yang mempercayai manusia
terbentuk dari materi, dan tidak mempercayai adanya Atman dan Tuhan.
Pengetahuan yang valid hanya didapatkan dengan pratyaksa (persepsi), yaitu
melalui kontak langsung dengan indriya. Alam hanya terbentuk oleh 4 bhuta
elemen zat, yaitu : udara, api, air, dan tanah. Filsafat India aliran
Carvaka ini digolongkan dalam aliran materialisme, karena mereka ini menganggap
bahwa hanya apa yang bisa dilihat hanya itulah merupakan sumber pengetahuan
yang paling dapat dipercaya. Mereka menyatakan bahwa semua apa yang tidak bisa
dilihat atau apa yang di dapat hanya dengan mendengar perbandingan saja adalah
sumber pengetahuan yang sering menyesatkan. Oleh karena itu tidak bisa dipercaya
sepenuhnya. Mereka hanya percaya kepada apa yang dilihat pada waktu dan tempat
itu juga. Carvaka memandang bahwa hanya persepsi sajalah satu-satunya pramana
atau sumber pengetahuan yang dapat dipercaya.
2. Otoritas Tuhan yang Dipuja aliran Carvaka
Kaum Carvaka tidak pernah mengenal keberadaan
Tuhan mereka menyatakan bahwa unsur-unsur material seperti uadara, api, air dan
tanah telah memiliki sifat-sifat yang pasti (Svabhawa). Bahwa dengan sifat dan
hukum-hukum pembawaannya sendiri mereka bergabung bersama untuk membentuk dunia
ini. Tak diperlukan tangan Tuhan disini. Tak ada bukti bahwa obyek-obyek dunia
ini merupakan hasil dari rencana apapun. Mereka dapat dijelaskan lebih rasional
sebagai hasil secara kebetulan dari unsure-unsur tersebut. Jelas disini bahwa
kaum Carvaka lebih condong pada atheisme. Mereka hanya percaya pada kenyataan
positif atau fenomena yang dapat diamati saja.
3. Penemu Aliran atau Fisafat Carvaka
Filsafat
Carvaka didirikan oleh Brhaspati yang ajarannya tertuang dalam Brhaspati Sutra.
Pandangan ini didasarkan pada kenyataan-kenyataan berikut: Beberapa buah puji-pujian
Weda. Yang secara tradisi dilukiskan Brhaspati sebagai putra loka ditandai oleh
semangat revolusi dan kebebasan berfikir. Bahwa dalam kitab
Mahabrata dan dimanapun juga pandangan materialistis dikatakan Brhaspati. Bahwa
kira-kira selusin sutra dan seloka dikutip dan diambil sebagai refrensi oleh
berbagai penyusun yang berbeda-beda sebagai ajaran materialistic dari
Brhaspati. Sumber sastra aliran Carvaka adalah Brhaspati sutra, ada dijelaskan
mengenai pembebasan. Dimana dalam pembebasan itu berarti pembebasan sepenuhnya
dari segala penderitaan hanya berarti kematian (‘Maranam eva apavargah’-
Brhaspati Sutra). Mereka yang mencoba untuk mencapai keadaan bebas dari
kesenangan dan penderitaan dalam kehidupan ini dengan menekan keinginan yang
dialami secara ketat dengan berfikir bahwa segala kesenangan yang muncul dari
pemuasannya bercampur dengan penderitaan, telah bertindak seperti orang-orang
tolol. Karena, tak seorang bijaksanapun akan menolak daging buah hanya karena
ada kulit kerasnya. Kita hendaknya jangan
melepaskan kesempatan menikmati kehidupan ini, dan berharap dengan sia-sia akan
menikmati kehidupan nantinya. ‘lebih baik seekor burung merpati sekarang ini
ketimbang burunng merak besok paginya’. ‘sekeping uang receh yang pasti ada
ditangan lebih baik ketimbang kepingan uang emas yang meragukan perolehannya’.
‘siapakah yang sedemikian bodoh mempercayakan pengelolaan uangnya ditangan
orang lain’. (Kama Sutra bab 2). Karena itu tujuanmkehidupan manusia adalah
untuk mencapai kesenangan sebanyak mungkin. Kehidupan yang baik adalah yang
membawa pada keseimbanagan, kesenangan dan kegiatan yang buruk adalah yang
memberikan penderitaan lebih banyak ketimbang kesenangannya. Oleh karenanya ini
dapat disebut hedonism atau teori bahwa kesengan adalah tujuan tertinggi.
4. Inti
Aliran atau Filsafat Carvaka
Filsafat Carwaka yang merupakan reaksi atas otoritas Weda mengatakan tidak ada
surga, tidak ada neraka, tidak ada Tuhan. Tidak ada reinkarnasi. Kita hanya
memiliki satu kelahiran, yaitu saat ini. Dengan hanya menerima logika sebagai
sumber pengetahuan, carwaka menolak kehadiran Tuhan. Tuhan dan Weda adalah
imajinasi para pendeta, untuk menghaturkan sesaji, dan membuat orang-orang
patuh dengan adanya hukuman bagi mereka yang tidak percaya. Filsafat Carwaka
menolak otoritas Weda, kemudian mengungkap ketidak konsistenan ketika disatu
kesempatan ajaran Weda mengajak umat menghindari kekerasan, tapi disisi lain
mengorbankan binatang untuk mencapai kemulian. Aliran Carvaka yang
selalu menganggap kenikmatan indrawi yang merupakan tujuan tertinggi hidup.
Carwaka juga berarti seorang materialis yang mempercayai manusia terbentuk dari
materi, dan tidak mempercayai adanya atman dan Tuhan, membuat aliran Carvaka
ini memiliki beberapa inti ajran atau otoritas aliran Carvaka yaitu:
a) Dunia
Terbentuk Dari Empat Unsur
Dengan menganggap
sifat-sifat dari dunia material, kebanyakan para pemikir India lain berpendapat
bahwa ia tersusun atas lima unsur (panca maha bhuta), yaitu: ether (akasa),
udara (vayu), api (agni), air (apah) dan tanah (ksiti). Tetapi kaum carvaka
menolak anggapan tersebut, karena unsur ether keberadaannya tidak dapat
dirasakan. Mereka menganggap bahwa dunia material ini hanya tersusun atas empat
unsur saja, yaitu : udara, api, air, dan tanah yang semuanya dapat dirasakan.
Bukan hanya obyek-obyek material mati saja, tetapi organisme hidup seperti
tumbuh-tumbuhan dan badan binatang, semuanya tersusun dari empat unsur yang berkombinasi
sehingga mereka dapat hidup dan yang nantinya terurai kembali ketika mati.
b)
Tak Ada Yang Namanya Jiva/Roh
Kaum Carvaka tidak
percaya akan adanya roh/ jiwa, karena mereka tak melihat dan merasakan adanya
roh/ jiwa. Jika seseorang menyatakan “saya gemuk”, “saya pincang”, “saya buta”
dan sebagainya semuanya ini bertalian dengan badan yang terbuat dan terjadi
dari material. Ketika ada pertanyaan mungkinkah kumpulan dari benda – benda
materi itu menjelmakan sesuatu yang hidup? Mereka menjawab bahwa sifat-sifat
tersebut aslinya tak ada pada setiap komponen, namun akan segera muncul apabila
komponen-komponen tersebut menyatu. Umpamanya: daun sirih, kapur, gambir,
pinang, tak satu pun dari padanya asalnya berwarna merah, namun secara
bersama-sama mereka akan menghasilkan warna merah bila ditumbuk atau dikunyah
jadi satu. Atau, benda yang sama pun dalam kondisi berbeda dapat menimbulkan
sifat yang berbeda dengan aslinya. Umpamanya, gula tebu yang aslinya manis tak
beralkohol akan menjadi beralkohol apabila ia dibiarkan berfermentasi.
Berhubung adanya kemungkinan demikian, dengan cara yang sama kita dapat
berpikir bahwa unsur-unsur material yang berkombinasi dalam cara khusus akan
menimbulkan sesuatu benda hidup. Karena ketidak percayaan mereka akan adanya
roh/jiwa maka sudah sewajarnya mereka tidak percaya akan adanya kehidupan masa
lalu, kehidupan nanti, kelahiran kembali, menikmati buah perbuatan di surga
atau neraka semuanya tidak ada artinya sama sekali. Dan oleh karena itu pula
mereka tidak berusaha untuk hidup secara baik, dan bermoral tinggi, karena
mereka tidak percaya akan adanya phala (hukuman) setelah mereka mati. Bagi kaum
Carvaka kematian dari badan adalah akhir dari segalanya.
c)
Tak Ada Tuhan
Tuhan yang
keberadaannya tak dapat dipersepsikan, tak jauh berbeda dengan keberadaan
roh/jiva tadi. Kaum Carvaka menyatakan bahwa unsur-unsur material itu sendiri
telah memiliki sifat-sifat yang pasti (svabhava). Bahwa dengan sifat dan
hukum-hukum pembawaannya sendiri mereka bergabung bersama untuk membentuk dunia
ini. Tak diperlukan tangan Tuhan disini. Tak ada bukti bahwa obyek-obyek dunia
ini merupakan hasil dari rencana apapun. Mereka dapat dijelaskan lebih rasional
sebagai hasil secara kebetulan dari unsur-unsur tersebut. Jelas disini bahwa
kaum Carvaka lebih condong pada atheisme. Karena sejauh ini teori carvaka
mencoba untuk menjelaskan dunia hanya dengan sifatnya saja, maka ia
kadang-kadang disebut natularisme (svabhava-vada). Ia juga disebut mekanisme
(yadrcch-vada), karena menolak keberadaan keperluan sadar dibalik dunia ini dan
menjelaskannya sebagai kombinasi unsur-unsur secara kebetulan atau mekanikal
saja. Teori Carvaka secara keseluruhan juga dapat disebut positifisme, karena
ia hanya percaya pada kenyataan positif atau penomena
yang dapat diamati saja.
d)
Pandangan Macrokosmos dan
Microkosmos Ajaran Carvaka
Tuhan yang maha segalanya
mengetahui perbedaan karakter, watak, tabiat dan kecerdasan setiap ciptaan-Nya.
Oleh karena guna dan karmanya, ada orang yang dilahirkan dengan kondisi serba
kekuarangan, lemah secara fisik dan mental serta bodoh secara spiritual dan
material. Ada juga yang dilahirkan dengan kecerdasan ekstra, dengan mudah dapat
mengerti semua kitab suci dan sadar akan adanya Tuhan dengan sendirinya. Ajaran
Carvaka didalam pandangan Macrokosmos ini mereka hanya menggangap Veda
adalah sebuah imajinasi seorang Pendeta. Jadi dalam ajaran Carvaka ini lebih
menekankan bahwa Microkosmos itu tercipta dengan unsure-unsur material
tanpa adanya campur tangan dari Sang Pencipta.
e)
Ajaran Etika dalam Ajaran Carvak
Inti ajaran Hindu dikonsepkan kedalam “Tiga Kerangka Dasar” dan “Panca
Sradha”. Tiga kerangka dasar tersebut terdiri dari Tattwa (Filsafat) Susila
(Etika) Upacara (Yadnya). Ajaran
Hindu kaya akan Tattwa atau dalam ilmu modern disebut filsafat , secara khusus
filsafat disebut Darsana. Dalam perkembangan agama Hindu atau kebudayaan veda
terdapat Sembilan cabang filsafat yang disebut Nawa Darsana. Pada masa Upanishad
, akhirnya filsafat dalam kebudayaan veda dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu
astika (kelompok yang mengakui veda sebagai ajaran tertinggi) dan nastika (
kelompok yang tidak mengakui Veda ajaran tertinggi ). Terdapat enam
cabang filsafat yang mengakui veda yang disebut Sad Darsana (Saṁkhya, Yoga, Mimamsa, Nyaya, Vaisiseka, dan Vedanta ) dan tiga cabang filsafat yang
menentang veda yaitu Jaina, Carvaka dan Budha (agama Budha). Secara harfiah susila diartikan sebagai etika . hal-hal yang
tekandung yang dikelompokan kedalam susila memuat tata aturan kehidupan
bermasyarakat yang pada intinya membahas perihal hukum agama. Mulai dari hukum
dalam kehidupan sehari-sehari hingga hukum pidana ( Kantaka Sodhana ) dan hukum
perdata ( Dharmasthiya ). Yang
dimaksud upacara dalam agama Hindu adalah ritual keagamaan , sarana ritual
keagamaan disebut Upakara , upakara di Bali disebut Banten. Upacara ini dapat
dikelompok kedalam beberapa bentuk korban suci ( Yajna ) yang disebut Panca
Yadnya ( Panca Maha Yadnya ). Ada banyak jenis panca Yadnya tergantung
dari kitab mana uraian dari panca yadnya tersebut, artinya meskipun Panca
Yadnya sama-sama terdiri dari lima jenis yadnya namun bagian-bagian yang
disebutkan berbeda-beda masing – masing uraian kitab suci
5. Tujuan
Akhir Aliran Carvaka
Beberapa aliran filsafat India
umpama Mimamsa, percaya bahwa tujuan tertinggi dari manusia adalah mencapai
sorga yaitu tempat yang serba sukha yang bisa dicapai dengan Upacara menurut
ajaran Weda. Tetapi orang Carwaka menolak teori ini karena Mimamsa itu tidak
bisa membuktikan adanya hidup sesudah mati. Surga dan Neraka itu hanyalah
buatan para Pendeta untuk memaksa agar rakyat melakukan upacara – upacara.
Pendapat Mimamsa itu tidak diakui kebenarannya oleh aliran – aliran filsafat
lainnya; karena mereka percaya bahwa tujuan hidup tertinggi adalah Moksa yaitu
mendapat tempat dimana semua penderitaan – penderitaan menjadi sirna (hilang).
Tetapi golongan Carwaka menentang pendapat ini; karena Moksa berarti
terlepasnya jiwa dari belenggu lingkaran lahir mati (incarnasi). Sedangkan
Carwaka tidak percaya akan adanya jiwa itu sendiri. Sehingga tidak percaya juga
akan adanya Moksa. Surga dan Neraka itu dicapai semasa hidup sekarang ini.
Orang – orang Carwaka itu percaya bahwa badan manusia itu sudah terikat oleh
perasaan senang ataupun sedih, tidak bisa dilepaskan lagi yang mengakibatkan
bertemunya dengan Surga atau Neraka. Yang dapat diusahakan oleh manusia yaitu
mempersedikit perasaan sedih/ sakit, karena menghabiskan sama sekali sedih/
sakit sama dengan kematian. Mereka yang mengatakan bahwa Moksa itu bisa dicapai
semasih hidup dengan jalan mematikan (menghabiskan) perasaan senang itu adalah
manusia tolol. Carwaka percaya bahwa sedih dan senang itu tiada dapat
dipisahkan. Tetapi adalah ketololan belaka bila kita membuang semua itu karena
takut akan kesedihan. Mereka percaya bahwa hidup mereka adalah untuk hari ini
belaka. Maka dengan demikian mereka mencemoohkan orang yang mau dengan harapan
untuk mendapatkan kebahagiaan untuk hari depan. Mereka menyatakan lebih baik
menjadi burung kecil sekarang daripada menjadi burung merak besok (itupun kalau
ada penjelmaan hari esok). Menurut tanggapan Carwaka, tujuan hidup utama/
tujuan tertinggi dari hidup kita ini ialah: Kesenangan. Oleh karena itu,
pendapat Carwaka ini di dunia barat dinamai Hedonisme (teori bahwa kesenangan
adalah tujuan hidup tertinggi). Hal ini dengan sendirinya bertentangan dengan
ideal hidup filsafat lainnya di India, yang percaya bahwa tujuan hidup manusia
ada 4 macam:
1) Artha (membutuhkan harta
kekayaan).
2) Kama (memenuhi keinginan –
keinginan).
3) Dharma (melakukan tugas
kebajikan).
4) Moksha (mencapai kebahagiaan
yang kekal).
Menurut ini tujuan hidup kaum
Carwaka hanyalah Kama belaka sedangkan artha hanya merupakan suatu alat untuk
kama atau kekayaan hanyalah alat untuk mencapai kesenangan. Golongan kaum
Carwaka ini ada dua yaitu:
1) Durta artinya licik/ tak
terpelajar.
2) Susiksita artinya terpelajar.
Kedua – duanya menganggap bahwa
kesenangan memang menjadi tujuan hidup, tetapi pengikut – pengikut Susiksita,
Carwaka mencapai kesenangan itu dengan mempelajari kesenian – kesenian dan lain
– lain sebagainya yang 64 macam cabangnya, salah seorang pengikut Susiksita
Carwaka ini ialah Vatsyayana yang mengarang “Kama Sutra”, yaitu ilmu
percintaan, yang mengajarkan di samping rasa dan tingkah laku cinta juga
filsafat cinta.
Berbeda dengan Dhurta Carwaka yang menganggap
bahwa Artha dan Dharma itu semata – mata untuk Kama. Vatsyayana mengajarkan
bahwa ketiga tiganya itu harus berkembang dengan harmonis. Ia mengganggap bahwa
kesenangan manusia tanpa seni adalah kesenangan ala binatang. Vatsyayana hidup
dalam abad – 1 Masehi dan “Kama Sutra” – nya ialah kumpulan dari buku – buku
dan tulisan – tulisan dari masa sebelumnya. Aliran filsafat Carvaka punah
setelah tahun 1400. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan tertinggi dari aliran Carvaka
adalah mencapai kenikmatan yang sebenar-benarnya di dunia, dan menghindari
penderitaan.
2.
Jaina
Filsafat jaina merupakan sistem
filsafat yang mengembangkan tradisi atheisme namun spiritual, kata jaina
sendiri berarti ‘penakluk spiritual’. Pengikut jaina mempercayai 24
tirthangkara (pendiri keyakinan), tirthangkara pertama adalah Rsabhadeva dan
yang terakhir adalah Mahavira. Sistem ini menekankan pada aspek etika yang
ketat, yang terutama adalah ahimsa. Jaina mengklasifikasikan pengetahuan
menjadi 2, yaitu :
- Aparoksa
: pengetahuan langsung, terdiri dari avadhi (kemampuan melihat hal-hal
yang tidak nampak oleh indra), manahparyaya (telepathi), dan kevala
(kemahatahuan).
- Paroksa
: pengetahuan antara, terdiri dari mati (mencakup pengetahuan
perseptual dan inferensial) dan sruta (pengetahuan yang
diambil dari otoritas)
Jaina menerima tiga jenis pramana,
yaitu pratyaksa (persepsi), anumana (inferensi),
dan sruta(otoritas). Jaina meyakini tentang adanya pluralisme roh,
terdapat roh-roh sesuai dengan banyaknya tubuh. Tidak hanya roh dalam manusia,
binatang, dan tumbuhan, tapi meyakini hingga roh-roh yang ada dalam debu. Roh
memiliki kualifikasi tinggi dan rendah, namun semuanya mengalami belenggu dalam
pengetahuan yang terbatas. Belenggu dapat dihilangkan dengan :
- keyakinan
yang sempurna terhadap ajaran guru-guru jaina.
- Pengetahuan
benar dalam ajaran-ajaran tersebut.
- Perilaku
yang benar. Perilaku ini meliputi, tidak menyakiti dan melukai seluruh
mahluk hidup, menghindari kesalahan mencuri, sensualitas, dan kemelekatan
objek-objek indriya.
Dengan tiga hal tersebut maka perasaan
akan dikendalikan, dan karma yang membelenggu roh akan hilang, hingga roh
mencapai kesempurnaan alamiahnya yang tak terbatas. Jaina tidak mempercayai dengan
adanya Tuhan, para tirthangkara menggantikan tempatNya. Jaina mengenal lima
disiplin spiritual, yang terdiri dari :
- Ahimsa
(non kekerasan)
- Satya
(kebenaran)
- Asteya
(tidak mencuri)
- Brahmacarya
(berpantang dari pemenuhan nafsu, baik pikiran, kata-kata, dan perbuatan)
- Aparigraha
(kemelekatan dengan pikiran, kata-kata, dan perbuatan)
3.
Buddha
Filsafat Buddha lahir dari
ajaran-ajaran Buddha Gautama pada abad 567 sm, ajarannya dapat dikatakan bersifat
atheisme dan spiritual. Buddha menekankan pada etika, cinta kasih,
persaudaraan, menolak sistem kasta (penympangan sistem Varna), dan menolak
otoritas Weda dan pelaksanaan yajna. Tujuan akhir perjalanan hidup manusia
adalah nirwana, bukan sebagai karunia Tuhan dan Dewa-Dewa, namun diperoleh
melalui usaha diri sendiri. Pencerahan yang didapatkan oleh Sidharta Gautama
meliputi empat kebenaran utama (catvari arya-satyani), yaitu :
- Kebenaran
bahwa ada penderitaan.
- Kebenaran
bahwa ada penyebab penderitaan.
- Kebenaran
bahwa ada penghentian penderitaan.
- Kebenaran
bahwa ada yang menghilangkan penderitaan.
Ajaran Buddha sering pula disebut
dengan ‘jalan tengah’ (madhyama marga), ajaran-ajaran pokoknya dibukukan
dalam tiga kitab suci (tripitaka yang berarti tiga keranjang pengetahuan), yang
terdiri dari : Vinaya pitaka yang membahas tata laksana bagi masyarakat umum,
Sutta pitaka yang membahas upacara-upacara dan dialog berkaitan dengan etika,
dan Abhidhamma pitaka yang berisi eksposisi teori-teori filsafat Buddha.
Kebenaran bahwa ada yang menghilangkan penderitaan, terdiri dari 8 jalan utama,
yaitu :
- Pandangan
yang benar (samyagdrsti)
- Determinasi
yang benar (samyaksamkalpa)
- Perkataan
yang benar (samyalgwak)
- Perilaku
yang benar (samyakkarmanta)
- Cara
hidup yang benar (samyagajiva)
- Usaha
yang benar (samyagvyayama)
- Sikap
pikiran yang benar (samyaksmrti)
- Konsentrasi
yang benar (samyaksamadhi)
Doktrin Buddha tidak mengakui
eksistensi Atman dan Tuhan, namun mengadopsi bentuk keyakinan seperit hukum
karma, reinkarnasi, dan pembebasan (nirwana).
KESIMPULAN
1.
Pengertian ilmu dan filsafat.
a.
Ilmu adalah suatu sarana yang menjadikan manusia sadar untuk
menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman dari berbagai segi kenyataan
dalam alam ini dan segala sesuatu yang ada dalam dunia ini agar manusia menjadi
tahu dan mendapatkan pengetahuan lebih luas.
b.
Filsafat
adalah
pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang mengenai kehidupan yang
bersikap sadar dan dewasa dalam segala sesuatu secara mendalam dan
keinginan untuk melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala
hubungan dalam kehidupan.
2.
Perbedaan
ilmu dan filsafat
a.
Ilmu:
·
Segi-segi yang
dipelajari dibatasi agar dihasilkan rumusan- rumusan yang pasti.
·
Obyek penelitian
yang terbatas
·
Tidak menilai
obyek dari suatu sistem nilai tertentu
·
Bertugas memberikan
jawaban
b.
Filsafat:
·
Tidak membatasi
segi pandangannya
·
Obyek penelitian
yang tidak terbatas
·
Menilai obyek
renungan dengan suatu makna.
·
Bertugas
mengintegrasikan ilmu-ilmu
3.
Filsafat
Darsana
Filsafat Darsana merupakan suatu pandangan tentang
kebenaran yang di dalamnya terdiri dari berbagai pandangan yang setiap
pandangan memiliki definisi dan pembenarannya masing-masing. Di sini, jika
seorang tidak memahami arti dari sebuah pandangan maka akan timbul keraguan dan
kebingungan dalam memberikan pemahaman dan pengetahuan kepada dirinya sendiri
dan orang lain. Keraguan-keraguan seperti ini tentunya juga akan terjadi pada
setiap umat Hindu yang mengetahui dan membaca ajaran agama Hindu. Setiap aliran
filsafat Darsana di atas yang termasuk dalam kelompok Astika maupun Nastika
memiliki tokoh-tokoh pendiri dan penekanan ajaran yang berbeda, lebih jelasnya
dipaparkan berikut ini:
A.
Bagian Astika, kelompok filsafat darsana yang
mengakui sepenuhnya otoritas Weda.
1.
Nyaya, pendirinya adalah Gotama dan penekanan
ajarannya pada aspek logika.
2. Vaisasika,
pendirinya adalah Kanada dan penekanannya ajarannya pada pengetahuan yang dapat
menuntun seseorang untuk merealisasikan sang diri.
3. Samkhya,
menurut tradisi pendirinya adalah Kapila dan penekanan ajarannya tentang proses
perkembangan dan terjadinya alam semesta.
4. Yoga,
pendirinya adalah Patanjali dan penekanan ajarannya adalah pada pengendalian
jasmani dan pikiran untuk mencapai samadhi.
5. Mimamsa,
pendirinya adalah Jaimini dengan penekanan ajarannya pada pelaksanaan ritual
dan susila menurut konsep Weda.
6. Vedanta, kata ini
berarti akhir Weda. Vedanta merupakan puncak dari filsafat India. Pendirinya
adalah Sankara, Ramanuja dan madhawa, penekanan ajarannya yaitu pada hubungan
Atman dengan Brahman dan tentang kelepasan.
B. Bagian Nastika, kelompok filsafat darsana yang tidak mengakui sepenuhnya otoritas Weda.
7.
Carwaka,
pendirinya ialah Bhagawan Wrhaspati dengan penekanan ajarannya pada aspek
material sebagai tujuan hidup tertinggi dan tidak percaya terhadap kehidupan
akhirat.
8.
Jaina,
pendirinya adalah Mahawira, penekanan ajarannya aialah pada aspek ahimsa dan
karma.
9.
Budha, pendirinya
ialah Sidharta Gautama dengan penekanan ajarannya pada ahimsa dan ketidakterikatan. (Sumawa,
1996:5-6).