PAJAK PENGHASILAN (PPH) PASAL 21
1. Pengertian
PPh Pasal 21
PPh Pasal 21 merupakan pajak atas
penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa,
dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri.
2. Subjek Pajak PPh Pasal 21 (Wajib
Pajak PPh Pasal 21)
Wajib pajak yang dipotong PPh pasal
21 dan/atau PPh pasal 26 adalah orang pribadi yang merupakan :
a.
Pegawai.
b.
Penerima
uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua termasuk ahli warisnya.
c.
Bukan
pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, atau kegiatan.
3. Tidak Termasuk Subjek Pajak PPh
Pasal 21 (Bukan Wajib Pajak PPh Pasal 21).
a.
Pejabat
perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat lain dari Negara asing dan
orang – orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pa da dan bertempat tinggal bersama
mereka, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak
menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya
tersebut, serta Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
b.
Pejabat
perwakilan organisasi internasional dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) huruf c
Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau
kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
4. Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal
21 (Objek Pajak PPh Pasal 21)
a.
Penghasilan
yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang
bersifat teratur maupun tidak teratur;
b.
Penghasilan
yang diterima atau diperoleh Penerima paensiun secara teratur berupa uang
pensiun atau penghasilan sejenisnya;
c.
Penghasilan
sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan
pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat
pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua dan pembayaran lain jenis;
d.
Penghasilan
pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan,
upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
e.
Imbalan
kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan;
f.
Imbalan
kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang
rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun,
dan imbalan sejenis dengan nama apapun;
g.
Penerimaan
dalam bentuk antara dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang diberikan oleh :
-
Bukan
Wajib Pajak;
-
Wajib
Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
-
Wajib
Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus
(deemed profit).
5. Penghasilan Yang Tidak Dipotong PPh
Pasa 21 (Bukan Objek PPh Pasal 21 menurut KEP -
545/PJ./2000)
a.
Pembayaran klaim asuransi dari perusahaan asuransi,
baik asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna,
maupun asuransi beasiswa.
b.
Imbalan dalam bentuk natura, kecuali : yang diberikan
oleh bukan subyek pajak, diberikan di daerah terpencil, atau diberikan oleh
pemerintah.
c.
Iuran pensiun yang dibayar pemberi kerja kepada dana
pensiun, iuran taspen yang dibayar pemberi kerja kepada Badan Penyelenggara
Taspen, iuran THT/tunjangan hari tua yang dibayar pemberi kerja kepada dana
pensiun, iuran jamsostek yang dibayar pemberi kerja kepada Badan Penyelenggara
Jamsostek. (pengenaan pajaknya akan dilakukan pada saat penerimaan uang pensiun
atau tunjangan hari tua).
d.
Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi
kerja
e.
Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya
dengan nama apapun yang diberikan oleh Pemerintah.
f.
Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak
dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
6. Penghasilan yang PPh pasal 21-nya
Ditanggung Pemerintah
a.
PPh
yang terutang atas penghasilan teratur atau gaji yang diterima oleh Pegawai
Negeri Sipil.
b.
PPh
yang terutang atas penghasilan yang diterima oleh karyawan asing yang bekerja
pada kontraktor ,konsultan, dan pemasok utama atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh karena pekerjaan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek
pemerintah yang dibiayai dengan hibah.
c.
PPh
atas penghasilan pekerja pada kategori usaha tertentu.
7. Pemotong Pajak
Penghasilan Pasal 21
Pemotong
PPh pasal 21 adalah setiap orang pribadi atau badan yang diwajibkan oleh UU No.
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan UU No.
17 tahun 2000 dan terakhir UU No 36 tahun 2008 untuk memotong PPh Pasal 21.
Termasuk pemotong PPh Pasal 21 dalam peraturan Menteri Keuangan No.
252/KMK.03/2008 adalah :
a.
Pemberi
kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun
cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan
dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan
pegawai.
b.
Bendahara
atau pemegang kas pemerintah termasuk bendahara atau pemegang kas yang
membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama
dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan
kegiatan.
c.
Dana
pensiun, badan penyelenggara jaminan social tenaga kerja dan badan – badan lain
yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
d.
Orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang
membayar:
-
Honorarium
atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan atau kegiatan
yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status subjek pajak dalam negeri,
termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk
dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.
-
Honorarium
atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang
dilakukan oleh orang pribadi dengan status subjek pajak luar negeri.
-
Honorarium
atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan dan magang.
-
Penyelenggara
kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan
internasional, perkumpulan, orang pribadi, serta lembaga lainnya yang
menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah atau penghargaan
dalam bentuk apapun kepada wajib pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan
dengan suatu kegiatan.
Tidak termasuk sebagai pemberi kerja
yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan pajak adalah :
a.
Kantor
Perwakilan Negara Asing.
b.
Organisasi
– organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c
Undang – Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
c.
Pemberi
kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang semata – mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah
tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas.
d.
Dalam
hal organisasi internasional tidak memenuhi kebutuhan tersebut,organisasi
internasional dimaksud merupakan pemberi kerja yang berkewajiban melakukan
pemotongan pajak.
8. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak PPh
Pasal 21
Kewajiban Wajib
Pajak PPH Pasal 21 :
a.
Kewajiban Mendaftarkan diri
Sesuai
dengan sistem self assessment maka Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk
mendaftarkan diri ke KPP atau KP2KP yang wilayahnya meliputi tempat tinggal
atau kedudukan Wajib Pajak untuk diberikan Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP). Disamping melalui KPP atau KP2KP, pendaftaran NPWP
juga dapat dilakukan melalui e-registration
(e-reg), yaitu suatu cara pendaftaran NPWP melalui media elektronik on-line
(internet).
Bagi Wajib
Pajak yang telah memiliki NPWP, wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
(PKP) oleh KPP atau KP2KP apabila telah memenuhi persyaratan tertentu. Syarat
untuk dikukuhkan sebagai PKP adalah pengusaha orang pribadi atau badan tersebut
melakukan penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak dengan jumlah
peredaran bruto/penerimaan bruto (omzet) melebihi Rp. 4.800.000.000,- setahun.
Wajib Pajak yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, dapat juga melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Bagi
pengusaha yang telah diukuhkan sebagai PKP, diwajibkan untuk memungut PPN dari
setiap pembeli/pemakai jasanya dengan menerbitkan faktur pajak. PPN yang sudah
dipungut, kemudian dilaporkan dalam laporan bulanan (SPT Masa) dan apabila
ternyata ada PPN yang harus disetor ke bank atau kantor pos, maka harus disetor
terlebih dahulu sebelum dilaporkan ke ke KPP tempat Wajib Pajak tersebut
terdaftar. KPP atau KP2KP akan melakukan penelitian mengenai keberadaan dan
kegiatan usaha di tempat usaha Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai PKP
tersebut.
Wajib Pajak
(orang pribadi atau badan) dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya harus
sesuai dengan sistem self assessment, yaitu wajib melakukan sendiri
penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak terutang.
c.
Kewajiban dalam hal diperiksa
Untuk
menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, Direktur
Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak. Pelaksanaan
pemeriksaan dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan terhadap Wajib
Pajak yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Kewajiban
Wajib Pajak yang diperiksa adalah :
-
Memenuhi panggilan untuk datang menghadiri Pemeriksaan
sesuai dengan waktu yang ditentukan khususnya untuk jenis Pemeriksaan Kantor.
-
Memperlihatkan
dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang Menjadi dasarnya, dan
dokumen lain termasuk data yang dikelolah secara elektronik, yang berhubungan
dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak,
atau objek yang terutang pajak. Khusus untuk Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak
wajib memberikan kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang
dikelolah secara elektronik.
-
Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang
yang dipandang perlu dan memberi bantuan lainnya guna kelancaran pemeriksaan.
-
Menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat
Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan.
-
Meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh
Akuntan Publik khususnya untuk jenis Pemeriksaan Kantor.
-
Memberikan keterangan lain baik lisan maupun tulisan
yang diperlukan.
d.
Kewajiban memberi data
Setiap
instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data
dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak
yang ketentuannya diatur pada Pasal 35A UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah Dengan UU Nomor 16 Tahun
2009.
Dalam rangka
pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan sebagai konsekuensi
penerapan sistem self assessment, data dan informasi yang berkaitan dengan
perpajakan yang bersumber dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan
pihak lain sangat diperlukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Data dan informasi
dimaksud adalah data dan informasi orang pribadi atau badan yang dapat
menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran usaha, penghasilan dan/atau
kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi mengenai nasabah debitur, data
transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan keuangan
dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada instansi lain di luar
Direktorat Jenderal Pajak.
Setiap orang
yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban memberikan data dan informasi yang
berkaitan dengan perpajakan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah). Sedangkan untuk setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak
terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain (kewajiban memberikan data dan
informasi yang berkaitan dengan perpajakan) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp.
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Hak Wajib Pajak PPh Pasal 21 ;
a.
Hak atas kelebihan membayar pajak
Dalam hal
pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah
kredit pajak, atau dengan kata lain pembayaran pajak yang dibayar atau dipotong
atau dipungut lebih besar dari yang seharusnya terutang, maka Wajib Pajak
mempunyai hak untuk mendapatkan kembali kelebihan tersebut. Pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan dalam waktu 12 (dua belas) bulan
sejak surat permohonan diterima secara lengkap.
Untuk Wajib
Pajak masuk kriteria Wajib Pajak Patuh, pengembalian kelebihan pembayaran pajak
dapat dilakukan paling lambat 3 bulan untuk PPh dan 1 bulan untuk PPN sejak
permohonan diterima. Perlu diketahui pengembalian ini dilakukan tanpa
pemeriksaan. Wajib Pajak dapat melakukan permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak melalui dua cara :
-
Melalui Surat Pemberitahuan (SPT)
-
Dengan mengirimkan surat permohonan yang ditujukan
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
Apabila Direktorat Jenderal Pajak terlambat mengembalikan kelebihan
pembayaran yang semestinya dilakukan, maka Wajib Pajak berhak menerima bunga 2%
per bulan maksimum 24 bulan.
b.
Hak dalam hal wajib pajak dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan
Direktorat
Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan dengan tujuan menguji kepatuhan
Wajib Pajak dan tujuan lain yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Dalam hal
dilakukan pemeriksaan, Wajib Pajak berhak :
-
Meminta Surat Perintah Pemeriksaan
-
Melihat Tanda Pengenal Pemeriksa
-
Mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan
pemeriksaan
-
Meminta rincian perbedaan antara hasil pemeriksaan dan
SPT
-
Untuk hadir
dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.
Berdasarkan ruang lingkupnya jenis-jenis pemeriksaan sebagaimana disebutkan
di atas dapat dibedakan menjadi pemeriksaan lapangan dan pemeriksaan kantor.
Pemeriksaan Kantor dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan dan
dapat diperpanjang menjadi 6 (enam) bulan yang dihitung sejak tanggal Wajib
Pajak datang memenuhi surat panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor sampai
dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan. Pemeriksaan
Lapangan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan dan dapat
diperpanjang menjadi paling lama 8 (delapan) bulan yang dihitung sejak tanggal
Surat perintah Pemeriksaan sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan.
c.
Hak untuk mengajukan keberatan, banding dan peninjauan kembali
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Pajak, maka akan diterbitkan suatu surat ketetapan pajak,
yang dapat mengakibatkan pajak terutang menjadi kurang bayar, lebih bayar, atau
nihil. Jika Wajib Pajak tidak sependapat maka dapat mengajukan keberatan atas
surat ketetapan tersebut. Selanjutya apabila belum puas dengan keputusan
keberatan tersebut maka Wajib Pajak dapat mengajukan banding. Langkah terakhir
yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak dalam sengketa pajak adalah peninjauan
kembali ke Mahkamah Agung.
Penetapan pajak dapat dilakukan oleh Direktur Jenderal
Pajak. Jenis-jenis ketetapan yag dikeluarkan adalah : Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar (SKPLB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Ketetapan Pajak Nihil
(SKPN). Disamping itu dapat diterbitkan pula Surat Tagihan Pajak (STP) dalam
hal dikenakannya sanksi administrasi dapat berupa denda, bunga, dan kenaikan.
d.
Hak Kerahasiaan Bagi Wajib
Pajak
Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapat perlindungan kerahasiaan atas
segala sesuatu informasi yang telah disampaikannya kepada Direktorat Jenderal
Pajak dalam rangka menjalankan ketentuan perpajakan. Disamping itu pihak lain
yang melakukan tugas di bidang perpajakan juga dilarang mengungkapkan
kerahasiaan Wajib Pajak, termasuk tenaga ahli, sepert ahli bahasa, akuntan,
pengacara yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan
undang-undang perpajakan. Kerahasiaan Wajib Pajak antara lain
:
-
Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan dokumen
lainnya yang dilaporkan oleh Wajib Pajak;
-
Data dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
-
Dokumen atau rahasia Wajib Pajak lainnya sesuai
ketentuan perpajakan yang berlaku.
Namun demikian dalam rangka penyidikan, penuntutan atau dalam rangka
kerjasama dengan instansi pemerintah lainnya, keterangan atau bukti tertuils
dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak
tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
e.
Hak Untuk Pengangsuran atau
Penundaan Pembayaran
Dalam hal-hal atau kondisi tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan
permohonan menunda pembayaran pajak.
f.
Hak Untuk Penundaan
Pelaporan SPT Tahunan
Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat menyampaikan perpanjangan
penyampaian SPT Tahunan baik PPh Badan maupun PPh Orang Pribadi.
g.
Hak Untuk Pengurangan PPh
Pasal 25
Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan pengurangan
besarnya angsuran PPh Pasal 25.
h.
Hak Untuk Pengurangan PBB
(Pajak Bumi dan Bangunan)
Wajib Pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak
yang ada hubungannya dengan subjek pajak atau karena sebab-sebab tertentu
lainnya serta dalam hal objek pajak yang terkena bencana alam dan juga bagi Wajib
Pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan,
dapat mengajukan permohonan pengurangan atas pajak terutang. Khusus untuk Pajak
Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) yang sudah dialihkan ke
Pemerintah Daerah (Kota/Kabupaten), pengurusan untuk pengurangan PBB tidak lagi
di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tetapi di Kantor Dinas Pendapatan
Kota/kabupaten setempat.
i.
Hak Untuk Pembebasan Pajak
Dengan alasan-alasan tertentu
wajib pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan atas pemotongan/pemungutan
Pajak Penghasilan.
j.
Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pembayaran Pajak
Wajib Pajak yang telah memenuhi kriteria tertentu sebagai Wajib Pajak Patuh
dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dalam
jangka waktu paling lambat 1 bulan untuk PPN dan 3 bulan untuk PPh sejak
tanggal permohonan.
k.
Hak Untuk Mendapatkan Pajak
Ditanggung Pemerintah
Dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau
dana pinjaman luar negeri PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima oleh
kontraktor, konsultan dan supplier utama ditanggung oleh pemerintah.
l.
Hak Untuk Mendapatkan
Insentif Perpajakan
Di bidang PPN, untuk Barang Kena Pajak tertentu atau kegiatan tertentu
diberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPN Tidak Dipungut. BKP tertentu yang
dibebaskan dari pengenaan PPN antara lain Kereta Api, Pesawat Udara, Kapal
Laut, Buku-buku, perlengkapan TNI/POLRI yang diimpor maupun yang penyerahannya
di dalam daerah pabean oleh Wajib Pajak tertentu. Perusahaan yang melakukan
kegiatan di kawasan tertentu seperti Kawasan Berikat mendapat fasilitas PPN
Tidak Dipungut antara lain atas impor dan perolehan bahan baku.
9. Hak dan Kewajiban Pemotong Pajak PPh
Pasal 21.
a.
Pemotong pajak berhak untuk
memperhitungkan kelebihan setoran PPh 21 dalam satu bulan takwin dengan PPh 21
yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan.
b.
Pemotong Pajak berhak untuk
memperhitungkan kelebihan setoran pada SPT Tahunan dengan PPh 21 yang terutang
untuk bulan pada waktu dilakukan perhitungan tahunan dan jika masih ada sisa
kelebihan, maka diperhitungkan untuk bulan-bulan lainnya dalam tahun
berikutnya.
c.
Pemotong pajak berhak membetulkan
sendiri SPT atas kemauan sendiri dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam
jangka waktu 2 tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak
atau Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan
tindakan pemeriksaan.
d.
Pemotong Pajak berhak untuk mengajukan
surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Nihil Kurang Bayar.
e.
Pemotong Pajak berhak mengajukan
permononan banding secara tertulis dalam dengan alasan yang jelas kepada badan
peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak. Permohonan banding ini dilakukan dalam jangka waktu 3
bulan sejak keputusan diterima, dilampiri dengan salinan surat keputusan
tersebut.
f.
Pemotong pajak dapat mengajukan
permohonan untuk mengajukan permohonan untuk memperpanjang jangka waktu
penyampaian SPT Tahunan Pasal 21. Permohonan diajukan secara tertulis
selambat-lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya dengan menggunakan
formulir yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak disertai surat pernyataan
mengenai perhitungan sementara PPh 21 yang terutang dan bukti pelunasan
kekurangan pembayaran PPh 21 yang terutang untuk tahun takwin yang
bersangkutan.
g.
Setiap pemotong pajak wajib mendaftarkan
diri ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat. Kewajiban
sebagai pemotong pajak berlaku juga terhadap organisasi internasional yang
tidak dikecualikan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
h.
Pemotong pajak mengambil sendiri
formulir-formulir yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban
perpajakannya pada Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak
setempat.
i.
Pemotong pajak wajib menghitung, memotong,
dan menyetorkan PPh 21 yang terutang untuk setiap bulan takwim. Penyetoran
pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Kantor Pos atau
Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah, atau
Bank-bank lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran,
selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya.
j.
Pemotong pajak wajib melaporkan
penyetoran tersebut sekalipun nihil dengan menggunakan Surat Pemberitahuan
(SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat,
selambat-lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim berikutnya. Apabila dalam satu
bulan takwim terjadi kelebihan penyetoran PPh 21, maka kelebihan tersebut dapat
diperhitungkan dengan PPh 21 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun
takwim yang bersangkutan.
k.
Pemotong pajak wajib memberikan Bukti
Pemotongan PPh 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan
pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerimaan uang
tembusan pensiun, penerimaan Jaminan Hari Tua, penerima uang pesangon, dan
penerima dana pensiun.
l.
Pemotong pajak wajib memberikan Bukti
Pemotongan PPh 21 Tahunan kepada pegawai tetap, termasuk penerima pensiun
bulanan, dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh Direktur Jenderal
Pajak dalam waktu 2 bulan setelah tahun takwim berakhir. Apabila pegawai tetap
berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim, maka bukti pemotongan
diberikan oleh pemberi pekerja selambat-lambatnya 1 bulan setelah pegawai yang
bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun.
m.
Dalam waktu 2 bulan setelah tahun takwim
berakhir, pemotong pajak berkewajiban menghitung kembali jumlah PPh 21 yang
terutang oleh pegawai tetap dan penerimaan pensiun bulanan menurut tarif yang
berlaku.
n.
Setiap pemotong pajak wajib mengisi,
menandatangani dan menyampaikan SPT Tahunan PPh 21 ke Kantor Pelayanan Pajak
tempat pemotong pajak terdaftar atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat. Surat
Pemberitahuan Tahun PPh 21 harus disampaikan selambat-lambatnya tanggal 31
Maret tahun takwim berikutnya. Ketentuan tersebut berlaku juga bagi pemotong
pajak yang tahun pajak atau tahun bukunya tidak sama dengan tahun takwim.
o.
Pemotong pajak wajib menyetor kekurangan
PPh 21 yang berutang apabila jumlah PPh 21 yang terutang dalam suatu tahun
takwim lebih besar daripada PPh 21 yang telah disetor. Penyetoran tersebut
harus dilakukan sebelum penyampaian SPT Tahunan PPh 21 selambat-lambatnya pada
tanggal 25 Maret tahun takwim berikutnya.
p.
Pemotong pajak wajib melampiri SPT
Tahunan PPh 21 dengan lampiran-lampiran yang ditentukan dalam Petunjuk
Pengisian SPT Tahunan PPh 21 untuk Tahun Pajak yang bersangkutan
10. Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal
21 Final
a.
Penghasilan
dari transaksi penjualan saham di bursa efek
b.
Penghasilan
atas bunga deposito dan tabungan
c.
Penghasilan
dari hadiah atas undian
d.
Penghasilan
dari pengalihan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
e.
Penghasilan
dari persewaan tanah dan/atau Bangunan.
f.
Penghasilan
atas bunga atau diskonto obligasi yang diperdagangkan dibursa efek
g.
Penghasilan
atas jasa konstruksi
h.
Penghasilan
atas perusahaan pelayaran dalam negeri
i.
Penghasilan
atas perusahaan pelayaran/penerbangan luar negeri.
j.
Penghasilan
BUT perwakilan dagang asing di Indonesia
k.
Penghasilan
atas selisih lebih revaluasi aktiva tetap
l.
Penghasilan
atas penjualan hasil produksi pertamina
m.
Penghasilan
atas bunga simpanan anggota koperasi
n.
Penghasilan
perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha.
o.
Penghasilan
atas diskonto surat perbendaharaan negara
p.
Penghasilan
atas transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa.
q.
Penghasilan
atas deviden yang diterima oleh Orang Pribadi dalam negeri.
11. Perhitungan PPh Pasal 21
PPh Pasal 21 yang dipotong oleh
Pemotong Pajak secara umum diformulasikan sebagai berikut :
1)
Tarif
PPh Pasal 21
Beberapa tarif berikut ini digunakan
sebagai dasar menghitung PPh Pasal 21 :
a. Tarif Pasal 17 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2008, dengan ketentuan sebagai berikut :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
-
s/d Rp50.000.000,00 5%
-
Rp50.000.000,00
s/d Rp250.000.000,00 15%
-
Rp250.000.000,00
s/d Rp500.000.000,00 25%
-
Rp500.000.000,00 30%
b. Tarif 5% (lima persen)
c. Tarif 15% (lima belas persen)
d. Tarif khusus
Tarif
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) menjadi lebih tinggi 20% (dua puluh
persen) daripada tariff yang ditetapkan terhadap wajib Pajak yang dapat
menunjukkan NPWP.
Contoh
:
Penghasilan
Kena Pajak sebesar Rp75.000.000,00
Pajak
Penghasilan yang harus dipotong bagi Wajib Pajak yang memiliki NPWP adalah :
5%
x Rp50.000.000,00 Rp
2.500.000,00
15%
x Rp25.000.000,00 Rp
3.750.000,00 (+)
Jumlah Rp
6.250.000,00
Pajak
Penghasilan yang harus dipotong jika Wajib Pajak tidak memiliki NPWP adalah :
5%
x 120% x Rp50.000.000,00 Rp
3.000.000,00
15%
x 120% x Rp25.000.000,00 Rp
4.500.000,00 (+)
Jumlah Rp
7.500.000,00
12. Dasar Pengenaan PPh Pasal 21
Dasar pengenaan dan pemotongan PPh
Pasal 21 ditentukan sebagai berikut :
1)
Penghasilan
Kena Pajak, yang berlaku bagi :
a. Pegawai Tetap,
b. Penerima pensiun berskala,
c. Pegawai tidak tetap yang
penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang
diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp1.320.000,00 (satu juta
tiga ratus dua puluh ribu rupiah)
d. Bukan pegawai selain tenaga ahli,
yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan
2)
Jumlah
penghasilan yang melebihi Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) sehari,
yang berlaku bagi pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, upah mingguan,
upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima
dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus
dua puluh ribu rupiah)
3)
50%
(lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi tenaga
ahli yang melakukan pekerjaan bebas
4)
Jumlah
penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima penghasilan selain penerima
peghasilan nomor 1, 2, dan 3.